tirto.id - Masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta berakhir pada Oktober 2022. Namun, nama-nama yang diproyeksikan akan menjadi penjabat gubernur menggantikan Anies Baswedan sudah ramai diperbincangkan. Belakangan bahkan sudah mengerucut ke tiga sosok.
Anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Gerindra, M. Taufik menyebut tiga nama yang santer disebut sebagai calon penjabat gubernur DKI. Ketiga nama itu, yaitu: Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono; Sekda DKI Marullah Matali; dan Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Juri Ardiantoro.
“Dari tiga nama calon pejabat gubernur DKI, Heru yang paling tepat,” kata Taufik kepada wartawan, Selasa (17/5/2022).
Taufik mengatakan ada tiga alasan mengapa Heru --eks Kepala BKD Jakarta-- itu layak menjadi penjabat gubernur. Pertama, Heru paham Pemda DKI karena pernah menjadi pejabat di DKI. Heru mengawali karier di Jakarta dari posisi ASN, menjabat sebagai wali kota dan menjadi kepala badan di tingkat propinsi.
Kedua, politikus Gerindra ini tak menampik kedekatan Heru dengan Presiden Jokowi yang sudah terjalin sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI. Kedekatan tersebut semakin nyata dengan pengangkatan Heru sebagai Kepala Sekretariat Presiden.
Ketiga, kata Taufik, Heru mampu berkomunikasi dengan DPRD DKI Jakarta saat aktif di Jakarta. Kemampuan tersebut, kata Taufik, bisa membuat hubungan DPRD dan pemerintah DKI Jakarta berjalan baik.
“Sudah barang tentu kompetensinya memadai dan punya banyak relasi dengan para anggota legislatif," kata Taufik.
Di sisi lain, kedua tokoh lain yang disebut-sebut sebagai calon penjabat Gubernur DKI memiliki kekurangan satu sama lain. Ia menyebut kedua tokoh lain punya kekurangan sehingga kurang pas jika menjadi penjabat gubernur Jakarta.
“Sedangkan dua calon lainnya, Sekda (Marulah Mattali) poin dua kurang terpenuhi. Sedangkan Juri Ardiantoro poin satunya kurang terpenuhi," tutur Taufik.
Heru Budi Hartono pun menjawab soal kabar dirinya digadang-gadang sebagai penjabat Gubernur DKI Jakarta. Ia menilai masih banyak yang lebih layak dibandingkan dia, tetapi tidak mempermasalahkan usulan soal kandidat yang layak, termasuk dirinya.
“Siapapun boleh mengusulkan dan masih banyak kandidat-kandidat yang baik dan mumpuni,” kata Heru kepada reporter Tirto, Selasa (17/5/2022).
Latar Belakang Heru, Marullah, dan Juri
Heru yang merupakan birokrat tulen disebut-sebut sebagai salah satu kandidat terkuat dalam bursa penjabat gubernur DKI usai Anies Baswedan tak lagi menjabat pada Oktober mendatang. Pria lulusan SMP PSKD I Jakarta Pusat 1977-1981 itu mengawali karier sebagai staf khusus Wali Kota Jakarta Utara pada 1993. Setelah menjadi staf khusus, Heru kemudian menjabat sebagai Staf Bagian Penyusunan Program Kota Jakarta Utara pada 1995.
Karier alumni Universitas Krisnadwipayana itu pun terus menanjak mulai dari Kasubag Bagian Pengendalian Pelaporan Kota Jakarta Utara (-1999), Kasubag Bagian Sarana & Prasarana Kota Jakarta Utara (-2002), Kepala Bagian Umum Kota Jakarta Utara (-2007), Kepala Bagian Prasarana dan Sarana Perkotaan Kota Jakarta Utara (-2008), dan Kepala Biro KDH dan KLN DKI Jakarta (-2013).
Heru pun sempat menjadi Wali Kota Jakarta Utara (2014-2015), kemudian menjadi Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah DKI Jakarta (2016-). Pada 20 Juli 2017, Heru lantas mendapat amanah sebagai Kepala Sekretariat Presiden Jokowi.
Begitu juga dengan Marullah Matali. Ia merupakan birokrat lama di DKI Jakarta. Marullah berkarier di birokrasi DKI sejak 1996. Pria lulusan S1 jurusan Agama Islam di Universitas Basra, Saudi Arabia ini mengawali karier sebagai staf Biro Bina Mental Spiritual Provinsi DKI Jakarta. Lalu, ia Kepala Biro Pendidikan dan Mental Provinsi DKI Jakarta.
Usai menjabat Kepala Biro Pendidikan dan Mental Provinsi DKI, Marullah diangkat sebagai Asisten Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Pariwisata dan Asisten Deputi Gubemur Provinsi DKI Jakarta Bidang Pengendalian Kependudukan. Ia juga sempat menjabat sebagai Wali Kota Jakarta Selatan.
Marullah kemudian mengikuti tes untuk menggantikan Sekda DKI Saefullah yang meninggal dunia. Ia pun terpilih sebagai Sekda DKI pada 14 Januari 2021.
Nama ketiga yang digadang-gadang sebagai penjabat gubernur DKI adalah Juri Ardiantoro. Nama Juri lebih dikenal di dunia kepemiluan. Pria kelahiran Brebes pada 1974 itu aktif di dunia kepemiluan sejak 2003 lewat organisasi Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Ia pun menjadi sekretaris jenderal di KIPP pada 2003.
Tidak lama berselang, Juri terpilih sebagai anggota KPU DKI sejak 2008. Ia aktif hingga terpilih sebagai Komisioner KPU RI 2012-2017. Ia pernah menjadi Ketua KPU RI setelah Husni Kamil Manik (ketua KPU saat itu) meninggal dunia pada 7 Juli 2016.
Juri menjadi ketua KPU RI hingga habis jabatan habis pada 2017. Usai menjadi komisioner KPU, ia bersama rekan-rekannya membentuk lembaga swadaya bernama Netgrit. Lembaga ini fokus dalam isu kepemiluan.
Juri pun mulai bersentuhan dengan Jokowi setelah masuk dalam tim sukses Jokowi-Maruf Amin. Ia didapuk sebagai bagian Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf Amin sebagai Wakil Direktur Hukum dan Advokasi. Juri dilantik sebagai Kepala Deputi IV KSP pada Senin, 22 Juni 2021.
Selama menjadi bagian pemerintah Jokowi, Juri mendapat sejumlah amanat strategis seperti Pansel Anggota Ombudsman 2021-2026 dengan status sebagai anggota serta ketua pansel KPU-Bawaslu 2022-2027. Selain itu, Juri juga tercatat sebagau Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Jakarta 2021-2025.
Siapa yang Paling Berpeluang?
Dosen komunikasi politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menilai, pemilihan penjabat gubernur Jakarta sangat krusial. Sebab, pemilihan nama akan mendapat perhatian publik karena Jakarta masih ibu kota hingga ibu kota negara baru berdiri. Menurut Kunto, jika hanya melihat kondisi saat ini, maka Marullah lebih baik daripada dua kandidat lainnya.
“Kalau saya sih lebih condong ke Sekda DKI, Marullah Matali. Ini hanya dari sisi kapasitas dia. Kalau yang Deputi IV Kantor Staf Presiden terus ada Kepala Sekretariat Presiden, kan, menurutku mereka butuh waktu untuk catch up apa yang terjadi di Jakarta,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Rabu (18/5/2022).
Kunto menambahkan, “Waktu juga berharga karena kita punya 2 tahun yang kosong gubernur definitifnya dan hanya penjabat. Kalau masalah background politik segala macam pada akhirnya semua pejabat punya sumpah jabatan.”
Kunto menilai, pemilihan penjabat juga secara tidak langsung akan berkaitan dengan Pilpres 2024. Ia beralasan, Anies Baswedan adalah kandidat potensial. Pemilihan penjabat gubernur dikhawatirkan akan bernuansa politis karena Anies dikenal sebagai antitesis dari pemerintahan Jokowi.
“Yang kemudian akan jadi spekulasi publik penjabat gubernur yang baru yang menggantikan Pak Anies itu dengan mudah mengkorek-korek borok Pak Anies yang bisa dijadikan bahan menyerang Pak Anies ketika dia maju jadi capres," tutur Kunto.
Oleh karena itu, Kunto menilai, Sekda DKI Marullah lebih baik dipilih agar tidak memicu konflik berkepanjangan. Ia khawatir energi publik akan justru mempersoalkan pemilihan penjabat bila penjabat DKI yang dipilih pemerintah di luar dari pejabat Pemprov Jakarta.
“Toh ini penjabat bukan orang yang definitif membuat kebijakan baru, yang bisa mengubah apa yang dilakukan Anies, kan gitu. Itu justru pertanyaannya, jadi banyak kalau menurut saya. Daripada energi terbuang ke situ [debat sesuatu yang tidak substansial], ya sudah sekda saja selesai masalah, kalau menurut saya,” kata Kunto.
Direktur Eksekutif Voxpol, Pagi Syarwi Chaniago juga menekankan agar pemilihan penjabat tidak berbasis kesukaan presiden atau mendagri. Ia meminta penjabat yang dipilih berbasis kapasitas.
“Jadi tendensinya semestinya betul-betul ahli di bidang itu, di bidang pengelolaan daerah kan? Nah penjabat-penjabat itu stoknya bisa dari Kemendagri, bisa dari Pemda DKI, artinya mereka-mereka yang kapabel, yang punya kemampuan untuk bisa memahami masalah yang ada di DKI Jakarta," kata Pangi.
Pangi juga mendorong agar ada fit and proper test. Ia mengingatkan bahwa Jakarta merupakan daerah spesial karena disorot publik sehingga perlu transparan.
“Kalau di DKI ini agak bakal ramai karena memang sangat seksi sekali posisi yang kemudian mereka satu tahun, terus mereka bisa diperpanjang lagi," kata Pangi.
Pangi menyarankan penjabat yang dipilih berasal dari DKI Jakarta seperti Sekda DKI Marullah atau setidak-tidaknya tidak memiliki kepentingan politik. Ia mengingatkan bahwa Anies merupakan capres potensial sehingga ada potensi bahwa penjabat terpilih akan berupaya menjatuhkan atau menyalahkan situasi DKI kepada Anies. Hal itu berpotensi men-downgrade Anies dan menjadi alat sandungan bagi Anies menjadi capres.
Oleh karena itu, Pangi menyarankan pemilihan penjabat gubernur DKI Jakarta adalah orang yang fokus pada bekerja dan tidak ada tendensi politik.
“Jadi betul-betul apa yang disampaikan presiden yang ada di pikirannya kerja, kerja, kerja. Jadi gak ada tendensi untuk kepentingan lain, tidak disalahgunakan atau digunakan lawan politik atau dimanfaatkan lawan politik untuk menyerang Anies di situ," kata Pangi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz