Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Mengapa Nasdem & Gerindra Dinilai Sulit Berkoalisi di Pilpres 2024?

Selain Demokrat-PDIP, Partai Nasdem dan Gerindra dinilai akan sulit berkoalisi pada Pilpres 2024. Pencapresan Prabowo jadi penghambat?

Mengapa Nasdem & Gerindra Dinilai Sulit Berkoalisi di Pilpres 2024?
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (tengah) menyampaikan keterangan pers usai melakukan pertemuan di kawasan Permata Hijau, Jakarta, Minggu (13/10/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.

tirto.id - Simulasi pasangan calon pada pemilihan umum (Pemilu) 2024 mulai terlihat. Lembaga riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mulai memetakan partai yang kemungkinan tidak akan satu koalisi dalam pemilu serentak mendatang. Setidaknya ada empat parpol yang sulit berkoalisi.

Peneliti senior SMRC, Saiful Mujani menilai, PDIP dan Demokrat kembali tidak akan satu koalisi pada Pemilu 2024. Hal ini sudah terlihat sejak 2004 ketika Demokrat berkuasa sementara PDIP berada di luar pemerintahan. Selain poros PDIP-Demokrat, Partai Gerindra dan Nasdem disebut juga sulit berkoalisi.

“Ada partai yang tidak bisa bertemu yaitu antara Nasdem dan Gerindra katena mereka punya pengalaman sendiri yang tidak bisa dijelaskan kepada publik mengenai hal ini dan itu bukan suatu hal yang mudah," kata Mujani, Kamis (21/4/2022).

Selain Nasdem-Gerindra, Mujani menilai PDIP juga ada tantangan berkomunikasi dengan Nasdem dan koalisi di pemerintahan. Ia menyebut “Belakangan Nasdem dan PDIP juga tidak mudah untuk berkoalisi dan tidak mudah untuk berkomunikasi.”

Dalam rilis tersebut, Mujani juga memprediksi poros koalisi pada 2024. Pertama adalah PDIP. Partai besutan Megawati Soekarnoputri ini akan tetap mencari koalisi meski memenuhi batas minimum mengusung calon sendiri. Kedua ada Golkar maupun Gerindra yang berpotensi maju dengan tambahan 1-2 partai.

Sementara itu, kata Mujani, ada faktor eksternal di luar parpol yang berpotensi mempengaruhi pemilu, yakni Nahdlatul Ulama (NU) karena sejumlah partai melirik basis massa ormas yang kini dipimpin Yahya Cholil Staquf itu.

Respons Nasdem

Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya mengakui bahwa Nasdem sulit berkoalisi dengan Gerindra pada Pemilu 2024. Willy sebut faktor kesulitan koalisi adalah sikap Gerindra yang ingin mengusung Prabowo dalam Pilpres 2024.

“Mungkin yang jadi handicap adalah karena Gerindra sudah mematok figur Pak Prabowo sebagai capres sehingga dialog dan kerja sama sudah tertutup dari awal," kata Willy kepada reporter Tirto, Senin (25/4/2022).

Willy menegaskan, Nasdem tidak mengajukan keputusan politik berbasis hasil survei dengan elektabilitas tinggi. Ia juga mengaku Nasdem baru akan menentukan sikap setelah rapat kerja nasional pada 15 Juni 2022.

“Lihat saja nanti 15 Juni capresnya. Kalau cocok figur yang diputuskan rakernas, artinya bisa bareng," tutur Willy.

Reporter Tirto berupaya menghubungi petinggi Partai Gerindra. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman, hingga Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Sufmi Dasco tidak merespons saat dimintai tanggapan terkait isu ini.

Semua Masih Berpotensi Berkoalisi

Dosen Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo tidak sepakat dengan analisis SMRC soal PDIP-Demokrat maupun Gerindra-Nasdem sulit berkomunikasi. Sebab, kata Kunto, partai Indonesia tidak memiliki ideologi kuat, termasuk PDIP dan PKS yang terkenal memiliki massa fanatik.

“Bahkan PDIP sama PKS pun kalau ditanya mungkin berkoalisi enggak? Menurut saya masih mungkin saja terjadi koalisi antara PDIP dan PKS gitu walaupun mungkin akan mengorbankan konstituennya, konstituennya yang mentok kanan dan mentok kiri," kata Kunto kepada Tirto, Senin (25/4/2022).

Kunto pun mengingatkan, koalisi yang dibangun saat ini bukan berlandaskan ideologi partai atau garis visi-misi partai, tetapi akibat elite partai. Ia mencontohkan sulitnya koalisi PDIP-Demokrat terjadi karena Megawati selaku Ketua Umum PDIP diketahui publik punya masalah personal dengan SBY selaku petinggi Partai Demokrat. Sementara itu, Prabowo sebagai pentolan Gerindra dan Surya Paloh dari Nasdem tidak diketahui ada masalah personal seperti SBY-Mega.

“Jadi dari dua alasan itu, saya melihat bahwa sebenarnya nggak ada halangan besar bagi partai-partai ini untuk berkoalisi dan kondisinya sangat cair nggak berdasarkan ideologi atau platform apa pun," kata Kunto.

Kunto yakin Nasdem dan Gerindra masih berpotensi untuk berkoalisi. Ia beralasan, partai politik lebih melihat potensi menang pemilu daripada sekadar hitungan ideologi partai. Ia menilai, partai wait-and-see dan belum menentukan koalisi karena masih kalkulasi simulasi pemenangan pemilu.

Ia menilai, jika ada lembaga survei yang mendorong koalisi, maka hal itu wajar dan sah saja. “Tetapi pada praktiknya, pada politik realnya, hitung-hitungannya, pasti kalah menang pada pilpres, bukan masalah platform atau figur," kata Kunto.

Sementara itu, Analis Politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memandang wajar Gerindra dan Nasdem berpotensi tidak koalisi. Ia sebut ada beberapa faktor. Pertama, ia menduga Surya Paloh enggan berkoalisi dengan Gerindra karena pernah satu partai. Keduanya sama-sama di Partai Golkar sebelum mendirikan parpol.

“Yang kedua dalam pandangan saya bahwa Partai Nasional Demokrat yang cukup regeneratif, Surya Paloh sebagai ketua umum hampir belum terlihat bahwa dia menguasai Nasdem secara total sebagaimana Prabowo menguasai Gerinda," kata Dedi kepada Tirto.

Perbedaan situasi itu, kata Dedi, membuat Paloh khawatir karena perbedaan pemahaman menjalankan partai. Paloh, dalam kacamata Dedi adalah politikus dan pebisnis yang membangun kekuasaan berdasarkan kepentingan yang tidak hanya kelompok tertentu.

Selain itu, Nasdem juga lebih terbuka dibandingkan partai lain. Nasdem menerima tokoh baru dari luar partai. Hal itu membuat Nasdem berpotensi punya kandidat sendiri dalam Pilpres 2024 seperti Gerindra membawa Prabowo.

“Nah dalam konteks 2024 bukan tidak mungkin Nasdem sudah punya tokoh yang itu akan diorbitkan di 2024 dan mungkin bargaining powernya adalah sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, sementara koalisi dengan Gerindra, saya kira akan menemui jalan buntu karena Prabowo Subianto sendiri sudah mengunci diri sebagai capres 2024 oleh Gerindra," kata Dedi.

Dedi menambahkan, “Jika Prabowo tidak memaksa diri sebagai capres 2024, akan memungkinkan bagi Nasdem untuk menerima tawaran koalisi Gerindra.”

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz