tirto.id - Pepatah bijak mengatakan bahwa kebiasaan bersyukur akan menambah kenikmatan yang kita miliki. Meski begitu, realitas hidup menunjukkan bahwa bersyukur tak selalu mudah.
Bersyukur adalah perwujudan rasa terima kasih, utamanya kepada Tuhan, atas segala sesuatu yang kita peroleh dalam hidup.
Badan yang sehat, urusan yang mudah, rezeki yang lancar, keluarga yang harmonis adalah beberapa hal yang patut kita syukuri sebab tak semua orang memilikinya.
Hanya saja, bagi beberapa orang, bersyukur merupakan sesuatu yang cukup berat dan menantang untuk dilakukan.
Ternyata, menurut sains, rasa syukur tidak sepenuhnya terbentuk secara alami.
Sebagian orang memiliki sifat lebih bersyukur daripada yang lain, sedangkan bagi sebagian lainnya rasa syukur tidak semudah itu diungkapkan.
Mengutip Greater Good Magazine, beberapa penelitian ilmiah menunjukkan perbedaan ini mungkin dipengaruhi oleh otak, gen, dan bahkan kepribadian kita masing-masing.
Sebuah studi dari American Psychological Association (2007) menjabarkan kemungkinan adanya komponen genetik dalam rasa syukur.
Dalam riset yang dipimpin oleh Michael Steger tersebut, pasangan kembar identik (yang pada dasarnya memiliki DNA yang sama) melaporkan tingkat rasa syukur yang lebih mirip daripada pasangan kembar fraternal (yang hanya berbagi kesamaan 50 persen DNA).
Penelitian lain juga mengungkap adanya perbedaan struktur dan aktivitas otak antara orang yang lebih bersyukur dan kurang bersyukur.
Misal, dalam hal perbedaan struktur otak, studi di jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience (2014) menemukan bahwa orang yang cenderung bersyukur memiliki lebih banyak materi abu-abu di korteks temporal inferior kanan mereka. Area ini dapat dikaitkan dengan penafsiran kita terhadap niat-niat yang datang dari orang lain.
Selain genetik dan anatomi otak, faktor kepribadian juga bisa memengaruhi seseorang merasa lebih sulit untuk bersyukur.
Terlepas dari faktor-faktor yang menyebabkan kita sulit bersyukur, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk terus mengupayakannya.
Praktisi psikolog keluarga, konselor, trainer, dan penulis Nuzulia Rahma Tristinarum membagikan sejumlah tips untuk melatih rasa bersyukur.
Pertama adalah dengan langsung mengucapkan terima kasih setiap kali mendapatkan dan mengalami hal-hal baik serta menyenangkan.
Menurut Rahma, persepsi kita terhadap tindakan bersyukur acap kali dimaknai sebagai sesuatu yang besar, sehingga otomatis terasa sulit untuk dilakukan.
"Oleh karena itu, kita ubah dulu makna ‘bersyukur’ sebagai ‘rasa terima kasih’—yang sebenarnya mudah kita ucapkan dan rasakan. Misalnya, saat melihat cuaca cerah kita bilang; terima kasih ya Allah. Atau saat sedang ngopi kita juga bisa bilang; terima kasih ya Allah, enak rasanya," kata Rahma.
Dari hal- hal yang kecil tersebut, kata Rahma, perlahan akan tumbuh kebiasaan bersyukur.
Cara kedua untuk melatih rasa syukur adalah dengan sering mengucapkan terima kasih pada orang lain yang berbuat baik.
Langkah ini dapat kita praktikkan sesederhana saat kita menemukan kebaikan di konten-konten media sosial. Tak ada salahnya kita memberikan komentar berupa ucapan terima kasih kepada pembuat konten.
Selanjutnya, Rahma menyarankan agar kita mengobservasi keadaan orang-orang yang kondisinya sedang tidak baik-baik saja, lalu mengambil refleksi atau becermin dari sana.
Rahma mencontohkan momen ketika kita mendapati orang yang kondisinya tengah kesusahan.
"Maka kita bisa ucapkan dalam hati; hebat dia bisa melalui itu, belum tentu aku sanggup, terima kasih ya Allah, Engkau memudahkan hidupku. Ini akan menumbuhkan rasa rendah hati, empati, dan rasa syukur," paparnya.
Rahma menambahkan, rasa bersyukur juga bisa dilatih saat kita hendak berbagi kepada orang-orang yang kurang beruntung dengan terjun langsung ke lapangan.
"Jika memungkinkan, lebih baik sesekali ikut dalam kegiatan volunteer kemanusiaan," ujarnya.
Selain membiasakan diri setiap hari untuk berterima kasih pada hal-hal baik, Rahma juga menyarankan untuk berterima kasih atas hal-hal baik yang terjadi di masa lalu.
Memang betul, bersyukur adalah kebiasaan yang baik.
Namun demikian, bagi beberapa orang dalam kasus-kasus tertentu, langkah tersebut hampir mustahil untuk dilakukan.
Ketidaksanggupan untuk bersyukur ini pun perlu untuk kita pahami dengan baik alih-alih dipandang sebagai masalah.
Psikoterapis Jennifer Gerlach, LCSW, dalam artikelnya di Psychology Today mengatakan bahwa mereka yang tengah mengalami depresi, berduka, atau trauma mungkin merasa sangat sulit untuk bersyukur.
Gerlach membagikan pengalamannya saat berkonsultasi dengan seorang terapis selama masa depresi dan duka.
Terapis tersebut menyarankan Gerlach untuk membuat gratitude journal—jurnal rasa syukur.
Gerlach pun menanggapi sang terapis dengan kalimat berikut.
Alih-alih memaksakan diri dan menolak emosi tertentu saat kita tidak sedang baik-baik saja, Gerlach menekankan pentingnya apresiasi sebagai cara membuka diri untuk menikmati semua hal baik yang kelak dapat dinikmati.
"Daftar rasa syukur—gratitude list—tentu bisa menjadi bagian dari itu. Namun, apresiasi lebih dari itu. Apresiasi lebih pada menghadapi kenyataan, mencermati hal-hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Apresiasi juga mencakup mindfullness—kesadaran—karena kita harus hadir pada momen sekarang untuk dapat menghargainya," tulis Gerlach.
Menurut Gerlach, kita bisa membuat shadow journaling.
Shadow journaling bisa diisi dengan daftar pertanyaan-pertanyaan yang sulit kita jawab. Dengan begitu, ketika kita merasa tidak berdaya, kita dapat menjadi lebih sadar akan diri kita sendiri, masa lalu kita, dan harapan kita untuk masa depan.
Praktik ini diambil dari konstruksi Jungian tentang ‘bayangan’, yaitu bagian-bagian di dalam diri dan pengalaman-pengalaman yang kita singkirkan, pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab, atau hal-hal yang tidak ingin kita akui.
Pendek kata, shadow journaling bukanlah daftar kegembiraan yang berbunga-bunga.
Di satu sisi, shadow journaling juga bukan bentuk perlawanan dari gratitude list atau gratitude journal.
Memberikan ruang untuk “bayangan” dalam pikiran kita acap kali diperlukan, kata Gerlach, ketika kita bergulat dengan tantangan-tantangan seperti kehilangan, pengalaman traumatis, dan depresi.
“Menurutku, menyatu dengan sisi gelap diri sendiri sama pentingnya dengan menyadari sisi terang, dalam hal merasakan manfaat dari rasa syukur,” imbuh Gerlach.
Jadi, apabila kamu kesulitan untuk bersyukur saat merasa sedang tidak baik-baik saja, tidak apa-apa untuk mengambil jeda sejenak, menerima, dan menikmati apapun yang ada di hidupmu. Itu juga bagian dari bersyukur, bukan?
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih