tirto.id - Sedari usia kecil, kita diajari bahwa membantu orang lain adalah tindakan yang mulia.
Seiring waktu, ada beberapa dari kita yang mulai memaknai aktivitas membantu sebagai semacam usaha untuk “membenahi” atau “memperbaiki” orang lain.
Bagi yang berpandangan begitu, atau istilahnya “fixer”, terdapat kecenderungan untuk fokus melihat kekurangan-kekurangan di dalam kehidupan orang lain. Maka dari itulah, muncul dorongan untuk memperbaikinya.
Padahal, terdapat perbedaan yang jelas antara membantu dan memperbaiki seseorang.
“Membantu orang lain berarti menolong mengatasi kesulitan orang tersebut, sedangkan memperbaiki orang lain berarti kita ingin mengubah orang itu sesuai standar kita,” jelas Dr. Miwa Patnani, M.Si., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi Universitas YARSI.
Miwa melanjutkan,“Karena itu, pastikan dulu alasan kita ketika akan membantu orang lain. Apakah demi orang tersebut, atau justru hanya demi kita sendiri?”
Coba bayangkan skenario-skenario berikut.
Misalnya, kita menilai seorang kawan memiliki relasi yang kurang harmonis dengan orang tuanya, sehingga kita tergerak untuk menghangatkan hubungan mereka.
Atau, kita berusaha mendorong saudara yang pemalu agar lebih sering bergaul dengan mengajaknya sering-sering berkumpul di keramaian.
Pada kesempatan lain, contohnya, kita merasa perlu untuk menasihati dan menawarkan solusi pada teman yang, menurut pandangan kita, sedang bermasalah.
Sepintas tindakan-tindakan di atas semua terkesan mulia, bukan?
Namun, dari mana kita tahu bahwa yang kita lakukan itu benar-benar membantu? Atau jangan-jangan, kita sudah terlampau ikut campur terlalu dalam dan ingin “memperbaiki”?
Menurut Miwa, untuk memastikan bahwa kamu memang membantu, tanyakan dulu pada orang yang bersangkutan.
Kamu bisa bertanya pada temanmu, “Apa kamu lagi ada masalah? Apa kamu perlu bantuan untuk mengatasi kesulitan tersebut?”
Prinsip dalam membantu orang lain adalah orang tersebut memang membutuhkan bantuan. Apabila dia tidak merasa membutuhkan bantuan, maka kita tidak boleh memaksa dan bertindak sesuai standar yang kita inginkan.
Jika kita memaksa untuk memperbaiki orang lain, bukan tidak mungkin kita malah memperburuk kondisinya dengan menciptakan hubungan kodependensi—kondisi emosional dan perilaku yang menyebabkan seseorang bergantung secara psikologis pada orang lain.
Kita juga dapat merampas kesempatan orang lain untuk berproses dan belajar menyelesaikan masalah hidupnya sendiri.
Lagipula, belum tentu orang yang kita “perbaiki” merasa nyaman. Bisa jadi, mereka malah tertekan. Akibatnya, relasi kita dengan dia berpotensi merenggang, atau bahkan menjadi konflik.
Lalu, apa yang bisa kita upayakan agar terhindar dari kebiasaan buruk untuk memperbaiki orang lain?
Menurut Psikolog Miwa, penting untuk belajar memahami sebuah masalah dari berbagai sudut pandang sehingga kita memiliki pemahaman yang lebih komprehensif dan objektif.
Caranya, hindari bereaksi terburu-buru saat menilai atau membuat keputusan.
Sebaiknya, cobalah untuk menggali beberapa sudut pandang dalam melihat masalah tersebut.
Jika kita kurang utuh melihat sesuatu, kita akan cenderung memandang penilaian orang lain salah sehingga selalu merasa “gatal” untuk segera bertindak dan membenahinya.
Di samping itu, penting bagi kita untuk memahami adanya perbedaan di dalam setiap individu.
Dengan begitu, kita akan belajar menerima bahwa apa yang kita anggap sebagai suatu kekurangan, belum tentu dianggap kurang oleh orang lain.
Bagaimana jika kita telanjur sudah memiliki kebiasaan kuat untuk memperbaiki orang lain? Masih adakah yang bisa diusahakan untuk mengubah perilaku buruk ini?
Miwa melanjutkan, “Selain itu, kita bisa meminta bantuan orang lain untuk mengkritisi pendapat atau keputusan kita. Selama ini kita mungkin cenderung ingin memperbaiki orang lain karena hanya mempertimbangkan sudut pandang sendiri dan tidak ada yang mengkritisi keputusan kita tersebut.”
“Maka dari itu,” kata Miwa, “Kita harus belajar mendengarkan orang lain sehingga tahu bahwa diri kita pun tidak sempurna dan membutuhkan pendapat orang lain dalam proses mencapai kesempurnaan.”
Masih ada beberapa metode lain yang bisa ditempuh, menurut dua terapis asal AS, pekerja sosial klinis Sydney Gomez dan konselor klinis Nicholette Leanza seperti yang dilansir dari HuffPost.
Apabila dorongan untuk memperbaiki orang lain muncul, cobalah ambil jeda sejenak dan tanyakan pada diri sendiri apa penyebabnya.
Bisa jadi dorongan itu berasal dari rasa insecurity atau perasaan diri kurang berharga, sehingga dengan memperbaiki orang lain kita berharap mendapat validasi dan merasa lebih baik.
Maka, sebelum terburu-buru memperbaiki orang lain, pahamilah kebutuhan kita sendiri dan upayakan untuk mencari cara-cara alternatif dalam rangka memenuhi kebutuhan itu. Demikian dipaparkan Gomez.
Senada dengan Gomez, Leanza mengingatkan pentingnya untuk mencintai dan merawat diri sendiri (self-love dan self-care).
Menurut Leanza, fixer biasanya merupakan orang yang tidak terbiasa untuk fokus pada diri sendiri. Maka, kata Leanza, penting bagi seorang fixer untuk menjadi “sahabat” yang baik bagi dirinya sendiri dengan cara lebih fokus pada kebutuhan diri sendiri.
Apabila kita menyadari bahwa kita adalah seorang fixer, tanyakan pada diri sendiri apa yang kita perlukan dalam sebuah relasi.
Ambil contohnya dalam hubungan romantis.
Apakah kita membutuhkan seseorang yang dapat memberikan dukungan seperti kita mendukung mereka? Atau, apakah kita ingin menjalin hubungan yang memberikan keleluasaan bagi kita untuk menjadi diri sendiri?
Nah, berikan cukup waktu pada diri sendiri untuk merenungkan hal-hal tersebut.
Seandainya kita tidak menemukan apa yang kita butuhkan dalam diri seseorang sehingga merasa perlu memperbaikinya agar dia layak dijadikan pasangan, waspada! Bisa jadi, dia bukan orang yang cocok untuk kita.
Pendapat lain diutarakan oleh Erin Leonard Ph.D, psikoterapis dan penulis buku How to Outsmart a Narcissist (2024).
Ketika seseorang sedang dalam masalah dan kita ingin membantunya, alih-alih berfokus pada detail situasi yang ia alami, lebih baik utamakan perasaannya.
Meskipun kita belum pernah mengalami peristiwa yang persis sama, usahakan untuk berempati dan mengerti apa yang ia rasakan. Tahan dulu keinginan untuk memberikan jalan keluar atau menawarkan solusi.
Ketika mereka meminta saran atau nasihat, barulah kita boleh memberikan pendapat.
Terkadang, yang diperlukan seseorang saat mengalami masalah hanya empati dan perasaan dimengerti, bukan diperbaiki. Kamu setuju?
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Sekar Kinasih