tirto.id - Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbanyak di Asia Tenggara. Menteri BUMN, Erick Thohir berusaha membuatnya lebih kompetitif, dengan banyak melibatkan swasta. Apa bedanya dengan swastanisasi?
Sejarah BUMN di Indonesia sangatlah panjang. Beberapa di antaranya bahkan berusia jauh lebih tua dari umur republik ini dan bahkan lebih tua dari Keraton Yogyakarta.
Sebut saja PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (kode saham: BBRI) yang berdiri pada 16 Desember 1895 di Purwokerto. Namanya saat itu De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto).
Demikian juga dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang sudah muncul sejak 17 Juni 1864 dengan nama Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Kantor pusatnya di gedung Lawang Sewu, Semarang, yang dulu sempat ramai sebagai tempat “uji nyali” sebelum direvitalisasi menjadi tujuan wisata.
Namun keduanya masih kalah senior dari PT Pos Indonesia yang hingga kini diakui sebagai BUMN tertua. Ia lahir di Batavia pada 26 Agustus 1746, oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Kala itu bentuknya masih kantor pos.
Imhoff adalah tokoh yang bertanggung jawab atas pecahnya kerajaan Mataram Islam menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta pada 1755. Empat tahun setelah meresmikan kantor pos tersebut, ia mangkat di kediaman resminya—yang sekarang menjadi Toko Merah di kawasan Kota Tua Jakarta.
Kini, jumlah BUMN—atau biasa disebut perusahaan pelat merah—di Indonesia tersisa sebanyak 72 perusahaan (termasuk perusahaan sub-holding BUMN), berkurang separuh lebih dari jumlah BUMN pada 1997 yang mencapai 160 perusahaan.
Menurut riset Tirto, jumlah BUMN kita merupakan yang terbanyak kedua setelah negara komunis Vietnam (dengan 700 BUMN). Jika mengacu pada rencana transformasi BUMN di mana jumlah BUMN hendak dimampatkan menjadi 37 perusahaan (di luar subholding), maka Indonesia akan bergeser ke posisi ketiga.
Asing & Swasta Terlibat di Tranformasi BUMN
Dalam ajang SOE (State-Owned Enterprise) International Conference yang berlangsung selama 17-18 Oktober di Nusa Dua Bali, Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, pihaknya akan terus mendorong perkembangan BUMN melalui transformasi.
Ada tiga jenis transformasi yang dijalankan, yakni transformasi bisnis, transformasi institusi, dan transformasi risk management & talent (pengelolaan risiko dan bakat sumber daya manusia/SDM).
“Transformasi business model dijalankan dengan paradigma yang bukan inward looking (berorieintasi ke dalam) melainkan outward looking (berorientasi ke luar). BUMN sekarang terbuka untuk investasi dengan asing. Dahulu, kan, tertutup,” tuturnya dalam dikusi di sela acara SOE International Conference 2022 di Nusa Dua, Bali (18/10/2022).
Berbagai inisiatif kerja sama dan patungan dengan pihak asing banyak digencarkan, seperti yang telah dijalankan perusahaan asuransi jiwa PT Asuransi BRI Life dengan FWD Management Holding, investor keuangan asal Hong Kong, yang kini memegang 35% saham BRI Life.
Sementara itu, transformasi risk management & talent ditujukan untuk menjaga aspek keberlanjutan (sustainability). Pihaknya menyusun aturan pengelolaan risiko baik di tingkat dewan direksi BUMN, maupun komite tata kelola.
Terkait transformasi institusi, pria yang akrab disapa Tiko ini menjelaskan bahwa perusahaan induk (holding) dibentuk untuk menaungi perusahaan-perusahaan sejenis agar mampu beroperasi secara optimal secara business to business dengan jumlah yang efisien.
Misalnya, pengelola tol trans-Jawa yang dikelola PT Jasa Marga Tbk (kode saham: JSMR) akan disatukan menjadi subholding lalu dicarikan investor baru. PT Telkom Indonesia Tbk (kode saham TLKM) pun akan diintegrasikan melalui kerja sama dengan swasta seperti Singtel asal Singapura untuk menjajaki bisnis pusat data.
“Telkom Telin (PT Telekomunikasi Indonesia International) juga akan diintegrasikan melalui kerja sama dengan private… untuk membuat data center, kami sudah bahas dengan Microsoft yang memang memiliki expertise di cloud (komputasi awan),” tutur Tiko.
Pelibatan swasta juga akan dijalankan dalam pengelolaan pelabuhan yang saat ini dipegang oleh PT Pelindo, serta bandar udara (bandara) yang dikelola secara terpisah-pisah melalui PT Angkasa Pura I (AP I) dan PT Angkasa Pura II (AP II).
Libatkan Swasta tak Berarti Swastanisasi
Istilah swastanisasi sempat menjadi momok dan musuh bersama politisi dan pengamat di awal era reformasi 1999. Saat itu term yang dipakai adalah privatisasi, yang identik dengan penjualan saham milik pemerintah di BUMN kepada investor swasta (lokal maupun asing).
Strategi penyehatan BUMN tersebut—yang sekaligus menjadi sumber pembiayaan APBN di masa awal pemulihan dari krisis 1997—menjadi polemik berkepanjangan karena dianggap melego aset milik negara. Demo-demo penolakan privatisasi pada masa itu sangatlah marak.
Demo besar misalnya terjadi ketika saham PT Indosat Tbk (kode saham: ISAT) dijual pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2002, yang berbarengan dengan rencana penjualan saham Semen Indonesia Group (SIG)—dulu bernama PT Semen Gresik Tbk kepada Cemex.
Akhir cerita, penjualan saham Indosat jalan terus, sedangkan wacana penjualan saham SIG (kode saham: SMGR) urung dijalankan.
Kenapa penolakan kala itu intens? Djoko Kristianto dalam “Dampak Privatisasi BUMN bagi Masyarakat Ekonomi di Indonesia” (2003) menyodorkan tiga jawaban: dinilai merugikan negara, dianggap tak nasionalis karena saham negara beralih ke asing, dan dituding tak bermanfaat.
Lalu apakah pelibatan swasta dalam transformasi BUMN kali ini otomatis berujung pada privatisasi? Jawabannya ya, dan tidak. Privatisasi terjadi tatkala ada pelepasan saham BUMN kepada investor swasta (nasional maupun asing).
Pada tahap awal transformasi, Kementerian BUMN melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk memperbaiki kinerja saham BUMN. Salah satunya dengan membentuk perusahaan induk untuk mengintegrasikan aset dan kapasitas mereka berdasarkan klaster industri.
“Setelah integrasi, akan ada investasi baik melalui IPO (initial public offering/penawaran saham ke publik) maupun private placement (penjualan saham secara tertutup),” tutur Kartika.
Jika itu yang terjadi, maka proses transformasi yang bisa berujung pada privatisasi (penjualan saham) berjalan dalam koridor yang benar. Menurut Djokosantoso Moeljono dalam Reinvensi BUMN (2004), proses privatisasi yang benar harus memenuhi dua aspek yakni etis dan strategis.
Secara etis, penjualan saham BUMN tidak melepas kontrol pemerintah terhadap aset penting bangsa. Strateginya juga mesti tepat: dimulai dari restrukturisasi (untuk membenahi struktur perusahaan), profitisasi (menyehatkan kinerja keuangan), dan baru mengajak swasta memiliki saham BUMN dan/atau anak usahanya melalui privatisasi.
Kini, data pun membuktikan bahwa transformasi dan swastanisasi BUMN justru membuat kinerja mereka membaik karena mengikuti prinsip tata kelola bersih (good corporate governance/GCG) di perusahaan swasta dan tak lagi terbelit birokrasi “katebelece.”
Per 2021, pendapatan BUMN tercatat Rp2.296 triliun, naik 18,8% secara tahunan (year on year/yoy). Laba konsolidasi tercatat sebesar Rp124,7 triliun pada akhir 2021, melesat 838%, dari Rp13 triliun di 2020.
Adapun total aset seluruh BUMN Tanah Air mencapai Rp8.978 triliun pada akhir 2021, yang setara dengan 53% produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Angka itu jauh melesat jika dibandingkan dengan kinerja BUMN pada 1999 ketika privatisasi belum jamak.
Perubahan tidak hanya terjadi pada aspek kinerja keuangan. Tata kelola BUMN pun kian ramah dengan estafet kepemimpinan. Porsi punggawa muda BUMN tercatat naik menjadi 5% dari total direktur BUMN tahun ini, dan ditargetkan meningkat menjadi 10% tahun depan.
Dengan mendorong transformasi BUMN yang banyak melibatkan pihak swasta nasional dan asing, Kementerian BUMN di bawah Erick Thohir membalik kebijakan kementerian sebelumnya di bawah Rini Soemarno (2014-2019) yang mengusung jargon ‘Sinergi BUMN.’
Inti dari program Rini kala itu adalah semua proyek yang digarap BUMN—terutama proyek infrastruktur pemerintah—digarap dari, oleh, dan untuk BUMN. Swasta kecil pun tak kebagian, demikian kritik Ketua Umum Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Rosan Roeslani kala itu.
Yakin bahwa konsepnya lebih manjur, Erick menegaskan akan melanjutkan program transformasi BUMN yang telah dia canangkan sejak 2019 sampai tuntas. Tahun ini, program transformasi BUMN telah mencapai 80% dari target yang ditetapkan.
“Prioritas kami untuk satu setengah tahun ke depan adalah mendorong transformasi BUMN bisa mencapai 100%," ujar Erick dalam sambutannya di acara SOE Internationl Conference, di BNDCC, Nusa Dua, Bali, Senin (17/10/2022).
Editor: Abdul Aziz