tirto.id - Kementerian Kesehatan melaporkan terdapat 133 anak meninggal dunia akibat gangguan ginjal akut misterius atau gangguan ginjal akut progresif atipikal (acute kidney injury/AKI) di 22 provinsi. Angka kematian ini sebanyak 55 persen dari total 241 kasus gangguan ginjal akut misterius yang dilaporkan Kemenkes.
“Dan ini terjadi peningkatan mulai bulan Agustus,” kata Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin via Zoom dalam konferensi pers bertajuk ‘Keterangan Pers: Perkembangam Penanganan Gangguan Ginjal Akut di Indonesia’ pada Jumat sore (21/10/2022).
Menkes Budi menyebut, anak yang meninggal akibat gangguan gijnjal akut misterius ini normal terjadi, tapi dengan jumlah yang kecil dan tidak pernah tinggi. Namun, kata dia, ketika ada lonjakan kasus pada Agustus sebanyak 36 kasus, Kemenkes mulai melakukan penelitian terkait apa penyebabnya.
Berdasar data yang ditampilkan Kemenkes saat konferensi pers, ada dua kasus gangguan ginjal akut misterius anak di Indonesia pada Januari 2022, Februari nol, Maret dua, April nol, Mei lima, Juni tiga, Juli tiga, Agustus 36, September 78, dan Oktober 110 kasus. Lalu, berdasar kelompok umur dari total 241 kasus, 26 anak di bawah umur satu tahun, 153 umur 1-5 tahun, 37 umur 6-10 tahun, dan 25 umur 11-18 tahun.
“Kejadian ini banyak menyerang terutama balita di bawah lima tahun,” kata Menkes Budi.
Dia menuturkan, gejala yang didapatkan sebelum kejadian (prodromal) yaitu ada demam (202 kasus), kehilangan nafsu makan (123 kasus), malaise (119 kasus), mual (129 kasus), muntah (120 kasus), infeksi saluran pernapasan akut/ISPA (108 kasus), diare (70 kasus), nyeri bagian perut (62 kasus), dehidrasi (51 kasus), serta pendarahan (15 kasus).
Adapun 71 kasus atau 29 persen mengalami gangguan ginjal yang menyebabkan tubuh tidak mampu memproduksi urine (anuria) dan 40 kasus mengalami kondisi penurunan volume urine atau air kencing yang keluar dari dalam tubuh (oliguria).
Terkait persentase kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak berdasar derajat gejala, terdapat 11 persen stadium satu, tujuh persen stadium dua, 61 persen stadium tiga, dan 21 persen belum teridentifikasi. Lalu, persentase kasus berdasar status akhir yaitu ada 39 anak (16 persen) yang sembuh, 69 sedang dalam pengobatan (29 persen), serta 133 anak meninggal dunia (55 persen).
“Kita lihat bahwa yang masuk ke rumah sakit itu cepat sekali kondisinya memburuk ya. Pada umumnya mereka memburuk sesudah lima hari, biasanya kemudian turun secara drastis, sehingga lebih dari 50 persen yaitu 55 persen meninggal dunia,” tutur Budi.
Tindakan Sementara
Terkait masifnya kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak di Indonesia ini, Kemenkes mengimbau agar apotek menghentikan sementara penjualan obat dalam bentuk cair atau sirup. Sebab, ada dugaan salah satunya karena sirup yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
“Sebagai alternatif, dapat menggunakan obat dalam bentuk sediaan lain, seperti tablet, kapsul, suppositoria, atau lainnya,” kata Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril melalui acara daring, Rabu (19/10/2022).
Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan kepada industri farmasi untuk menarik lima produk obat dengan kandungan etilen glikol (EG) yang melebihi ambang batas aman dari peredaran. Kelima produk tersebut yakni Termorex Sirup, Flurin DMP Sirup, Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops.
BPOM mengatakan kelima produk tersebut teridentifikasi dari hasil pemeriksaan produk secara acak (sampling) dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022.
“Perintah kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia dan pemusnahan untuk seluruh produk taruhan,” tulis BPOM melalui keterangan tertulis, Kamis (20/10/2022).
Penarikan obat tersebut mencakup seluruh outlet, antara lain pedagang besar farmasi, instalasi farmasi pemerintah, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.
Kendati demikian, hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirup obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gangguan ginjal akut misterius pada anak.
Kemenkes juga membenarkan obat-obatan yang mengandung EG dan dietilen glikol (DEG) diproduksi di Indonesia. “Ya [durpduksi di Indonesia]” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi kepada Tirto, Kamis (20/10/2022).
Apa yang Perlu Dilakukan Orang Tua?
Kemenkes pun meminta orang tua untuk tidak panik dan tenang, tapi tetap selalu waspada. Terutama apabila anak mengalami gejala yang mengarah pada gangguan ginjal akut misterius seperti diare, mual, muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk, serta jumlah air seni makin sedikit, bahkan tidak bisa buang air kecil (BAK) sama sekali.
“Orang tua harus selalu hati-hati, pantau terus kesehatan anak-anak kita, jika anak mengalami keluhan yang mengarah kepada penyakit gagal ginjal akut, sebaiknya segera konsultasikan ke tenaga kesehatan, jangan ditunda atau mencari pengobatan sendiri,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pelayanan Kesenatan Rujukan Kemenkes, Yanti Herman melalui rilis yang diterima Tirto pada Selasa (18/10/2022).
Dia menambahkan, jika anak sakit, maka perlu mencukupi kebutuhan cairan tubuhnya dengan minum air. Adapun gejala lain yang juga perlu diwaspadai orang tua adalah perubahan warna pada urine (pekat atau kecoklatan).
Yanti menambahkan, bila warna urine berubah dan volume urine berkurang, bahkan tidak ada urine selama 6-8 jam (saat siang hari), orang tua diminta segera membawa anak ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
“Dari data yang ada, gejala yang muncul di awal adalah terkait infeksi saluran cerna yang utama, untuk itu Kemenkes mengimbau sebagai upaya pencegahan agar orang tua tetap memastikan perilaku hidup bersih dan sehat tetap diterapkan, pastikan cuci tangan tetap diterapkan, makan makanan yang bergizi seimbang, tidak jajan sembarangan, minum air matang dan pastikan imunisasi anak rutin dan lanjuti dilengkapi,” tutur dia.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI, Eka Laksmi Hidayati. Ia menyebut bahwa gejala yang dialami para anak ini adalah kurang lebih sama, yaitu diawali dengan batuk, pilek, diare, muntah, dan demam.
Akan tetapi, kata Eka, IDAI melihat bahwa anak-anak tersebut tiba-tiba mengalami penurunan jumlah urine atau air seninya dalam 3-5 hari, hal ini didapatkan dari hasil wawancara dengan orang tua pasien. Dia menambahkan, bahkan ada pasien yang tidak bisa BAK atau betul-betul tidak ada air seninya.
Eka juga mengatakan bahwa anak-anak ini datang ke rumah sakit (RS) dengan keluhan tidak bisa BAK atau air seninya sedikit. Oleh karena itu, jika ada penurunan jumlah BAK pada anak, maka harus segera diperiksakan ke RS.
“Kita masih belum bisa mendapatkan apa penyebabnya,” ungkap dia via Zoom dengan topik ‘Gagal Ginjal Akut Misterius pada Anak,’ Selasa (11/10/2022).
Di sisi lain, Dokter Spesialis Anak di Mayapada Hospital Kuningan dan KiDi Pejaten, Kurniawan Satria Denta mengimbau, agar orang tua jangan panik, selalu observasi atau memperhatikan gejala-gejala sakit yang mungkin timbul pada anak.
Jika anaknya sakit, kata dia, maka orang tua harus waspada dan melihat apakah ada tanda-tanda bahaya atau tanda tanda kegawatan seperti bagaimana BAK-nya dan apakah anak masih aktif atau tidak.
Terkait bagaimana pencegahan gangguan ginjal akut misterius pada anak, lanjut dia, orang tua harus mencukupi cairan anak sesuai kebutuhannya. Misalnya jika masih bayi, berarti memenuhi air susu ibu (ASI) dan jika sudah lebih besar bisa diberikan air putih.
Selain itu, Denta mengatakan bahwa orang tua perlu menerapkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) pada anak maupun keluarganya, asupan nutrisi yang bagus, serta melakukan vaksinasi lengkap sesuai rekomendasi IDAI.
“Jangan terlalu gampang minum obat, dikit-dikit minum obat, jadi orang tua itu harus tahu indikasi penggunaan obat, misalnya katakanlah parasetamol, kapan seharusnya diberikan parasetamol. Karena pada dasarnya gejala-gejala yang terjadi saat ini bisa jadi sebenarnya adalah respons dari pertahanan tubuh si anak yang tidak perlu diobati,” ucap dia ketika dihubungi Tirto pada Jumat (21/10/2022).
Menurut Denta, tidak semua demam harus diberikan obat. Oleh karena itu, orang tua perlu mengetahui penggunaan obat yang rasional (rational use of medicine). Orang tua juga perlu berkonsultasi dengan dokter agar obat yang diberikan kepada anaknya sesuai.
“Kalau sudah dapat obat dari dokter jangan lupa mengevaluasi apakah pemberian obat itu akhirnya bisa memperbaiki kondisi si anak atau tidak, kalau tidak silakan konsultasikan dengan dokter apakah harus diberhentikan atau tidak, atau di ganti atau tidak,” imbuh dia.
Bagaimana jika anak demam atau batuk pilek? Denta menilai, jika penggunaan obat sirup tengah dilarang pemerintah seperti obat sirup parasetamol, maka para orang tua bisa memberikan parasetamol pada anak dalam bentuk yang berbeda (alternatif). Misalnya dalam bentuk puyer, infus, atau obat yang dimasukkan ke dubur.
“Jadi kalau sirupnya enggak bisa, ya sudah kita berikan dalam bentuk lain. Makanya nanti ditanyakan lagi ke dokternya kira-kira dalam bentuk lainnya dalam bentuk apa, apakah bisa diberikan dalam bentuk puyer, infus, obat yang dimasukan ke dubur,” tutur dia.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Abdul Aziz