tirto.id - Presiden Joko Widodo mulai mengambil langkah serius dalam penanganan kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak. Jokowi meminta jajaran tidak menganggap remeh masalah itu dan minta keselamatan rakyat sebagai prioritas utama.
“Utamakan keselamatan masyarakat. Jangan menganggap ini masalah kecil. Ini adalah masalah besar,” kata Jokowi saat memimpin rapat penanganan kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022).
Jokowi pun mengeluarkan sejumlah instruksi. Pertama, ia meminta Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin untuk menarik seluruh obat yang diduga memicu kasus yang menyebabkan lebih dari 100 anak meninggal di seluruh Indonesia.
“Meskipun masih diduga, itu dihentikan terlebih dahulu menunggu investigasi secara menyeluruh dari BPOM pada seluruh obat sirop yang menggunakan bahan pelarut. Ini lakukan secara terbuka, transparan, tapi juga hati-hati dan objektif,” kata Jokowi.
Kedua, Jokowi menginstruksikan BPOM untuk menarik obat yang terbukti memicu gangguan ginjal akut misterius pada anak. Jokowi meminta agar informasi obat bermasalah dibuka publik.
Jokowi meminta Kementerian Kesehatan untuk melakukan eksplorasi terhadap seluruh faktor risiko penyebab kasus gangguan ginjal, baik dari sumber obat-obatan maupun potensi penyebab banyak lainnya. Ia ingin memastikan lewat uji klinis maupun tes laboratorium agar penyebab gangguan ginjal pada anak teridentifikasi secara jelas.
Ketiga, Jokowi meminta agar pelayanan kesehatan kasus gangguan ginjal akut pada anak dibuka untuk publik. Ia menginstruksikan agar biaya pengobatan pasien juga digratiskan.
“Siapkan pelayanan kesehatan untuk masalah ini. Juga, siapkan pengadaan obat-obatan yang dapat mengatasi, menangani dari gagal ginjal ini dan juga, saya minta diberikan pengobatan gratis kepada pasien-pasien yang dirawat. Saya kira ini penting sekali,” kata Jokowi.
Dugaan Penyebab Sementara
Kementerian Kesehatan mengumumkan jumlah kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak bertambah menjadi 255 kasus yang tersebar di 26 provinsi per 25 Oktober 2022. Dari jumlah tersebut, terdapat 143 pasien yang meninggal dunia.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kasus ini muncul akibat senyawa kimia yang ada pada obat sirop. Hal itu berdasarkan penelitian WHO, analisa toksikologi dan penyelidikan obat yang digunakan pasien.
“Jadi berdasarkan rilis dari WHO, adanya zat kimia di pasien, bukti biobsi yang menunjukkan kerusakan ginjalnya karena zat kimia ini, dan keempat adanya zat kimia ini di obat-obatan yang ada di rumah pasien, kita menyimpulkan bahwa benar penyebabnya adalah obat-obat kimia yang merupakan cemaran atau impurities dari pelarut ini,” ujarnya.
Pemerintah pun langsung mengambil langkah dengan menerbitkan edaran yang meminta apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirop kepada masyarakat.
Kemenkes juga meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirop, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.
“Sejak kita berhentikan, itu sudah kita amati penurunan yang drastis dari pasien baru masuk ke rumah sakit. Jadi kalau tadinya RSCM itu penuh, satu tempat tidur ICU anak itu bisa diisi dua atau tiga, sekarang penambahan barunya sejak kita larang itu turun drastis pasien barunya,” kata Budi yang juga mantan Wakil Menteri BUMN.
Pemerintah juga akan mengeluarkan list obat yang aman digunakan berdasarkan hasil penelitian BPOM. Namun pemerintah tetap membolehkan beberapa obat sirop digunakan publik selama sesuai dosis dokter.
Selain itu, kata Menkes Budi, pemerintah akan menghadirkan Fomepizole yang dinilai sebagai obat untuk kasus gangguan ginjal akut yang menyasar pada anak.
Ia mengatakan, pemerintah akan menyetok hingga 2000 vial obat tersebut untuk penanganan kesehatan. Ia pun mengaku akan mempercepat kedatangan obat Fomepizole yang terbukti berdampak positif pada pasien gangguan ginjal akut.
“Dari 10 pasien yang diberikan obat ini, 7 sudah pulih kembali, sehingga kita bisa simpulkan bahwa obat ini memberikan dampak positif dan kita akan percepat kedatangannya di Indonesia,” kata dia.
Di sisi lain, Kepala BPOM, Penny Lukito memastikan, BPOM akan menguji semua obat secara hati-hati. Penny juga memastikan BPOM akan memproses hukum perusahaan farmasi yang obat mereka mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) sangat tinggi.
“Dalam proses ini kami sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan kami tindak lanjuti menjadi pidana. Jadi Kedeputian IV, yaitu Kedeputian Bidang Penindakan dari BPOM sudah kami tugaskan untuk masuk ke industri farmasi tersebut, bekerja sama dengan kepolisian dalam hal ini dan akan segera melakukan penyidikan untuk menuju pada pidana,” kata Penny.
Masih Banyak Persoalan yang Jadi Pekerjaan Rumah
Meskipun pemerintah mulai merespons serius, tapi masih ada catatan dalam pelaksanaan. Sebab, kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur, pemerintah tergolong lambat dalam penanganan kasus gangguan ginjal akut ini. Apalagi kasus sudah berlangsung sejak Juli 2022.
“Berdasarkan hasil penelusuran media yang kami lakukan, kasus gagal ginjal akut ini mulai muncul sejak Juli 2022, sayangnya pemerintah baru merespons di akhir Oktober 2022. Dalam hal ini, YLBHI menilai pemerintah lambat merespons kasus tersebut sehingga situasi ini membahayakan keberlangsungan hidup bagi anak,” kata Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (25/10/2022).
Isnur menegaskan, YLBHI tidak ingin penanganan kasus gangguan ginjal akut melanggar hak asasi manusia. Ia mengingatkan bahwa anak sebagai bagian dari kelompok rentan. Oleh karena itu, penanganan masalah kesehatan harus mengedepankan kepentingan terbaik anak.
Perlindungan anak ini diatur sesuai Pasal 1 angka 12 jo Pasal 4 UU Perlindungan Anak bahwa hak anak adalah bagian HAM yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.
YLBHI juga mengingatkan agar pemerintah tidak sembarangan dengan mengeluarkan surat edaran untuk tidak meresepkan obat sirop pada anak. Isnur menilai ada potensi edaran tersebut melanggar hak kesehatan untuk anak.
YLBHI, kata Isnur, mendorong agar pemerintah mengambil langkah perlindungan komprehensif bagi anak, yang meliputi pencegahan yang efektif dengan tidak sebatas larangan, namun juga menyiapkan alternatif obat, melakukan rehabilitasi terhadap korban anak yang terindikasi mengalami dampak, memposisikan kasus ini sebagai prioritas dengan memaksimalkan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan.
“Tidak kalah penting, pemerintah agar memaksimalkan peran serta masyarakat dalam penanganan kasus ini oleh karena tanggung jawab terhadap perlindungan anak bukan hanya di tangan pemerintah, melainkan ada pada orang tua, keluarga dan masyarakat,” kata Isnur.
Di sisi lain, YLBHI menilai BPOM lemah dalam upaya pengawasan. Pemerintah seharusnya memulai penyelidikan kepada perusahaan farmasi yang menyediakan obat sirup dengan kandungan EG dan DEG. Pemerintah juga harus mengambil tindakan administratif pencabutan izin sementara sesuai amanat Pasal 188 ayat 3 UU Kesehatan dan diproses hukum sesuai Pasal 196 UU Kesehatan.
Perlu Penetapan KLB agar Penanganan Lebih Baik
Sementara itu, epidemiolog dan praktisi kesehatan dari Universitas Griffith, Australia Dicky Budiman justru beranggapan penyelidikan epidemiologi bukan satu-satunya solusi. Dicky menilai penyelidikan epidemiologi belum mampu mengungkap masalah utama dari kejadian gangguan ginjal akut ini.
“Saya sejak awal menyampaikan perlu penetapan sesuai status satu, KLB bahkan bencana nasional, juga bisa sebagai wabah. Karena apa? Ini kejadiannya akut, terjadi serentak dengan angka kematian yang tinggi, bahkan sangat tinggi," kata Dicky kepada reporter Tirto, Selasa (25/10/2022).
Ia khawatir, kasus yang terjadi lebih besar daripada yang terekam saat ini. Selain itu, Dicky khawatir kasus ini bukan terjadi akibat obat saja, tapi bisa dari konsumsi makanan atau infeksi lainnya. Ia khawatir, kejadian ini mengganggu keamanan kesehatan publik, bahkan yang terburuk adalah potensi aksi bio terorisme.
Oleh karena itu, kata dia, perlu pelibatan berbagai pihak di luar institusi kesehatan dalam merespons kejadian gangguan ginjal akut ini. Ia menilai perlu ada evaluasi dari regulasi dan kebijakan, pemantauan, pemberian izin dan masalah lain berkaitan teknis di luar masalah kesehatan.
Selain itu, penetapan KLB juga akan membantu dalam penanganan. Dicky menilai, status saat ini belum bisa menandakan keseriusan pemerintah dalam penanganan kasus gangguan ginjal akut. Sebagai contoh, komunikasi publik terhadap keberadaan ratusan obat akan direspons biasa.
Di sisi lain, warga daerah terpencil yang anak menderita gangguan ginjal akut berpotensi kesulitan mendapat penanganan. “Status KLB itulah yang akan membantu, baik penduduknya maupun masyarakat,” kata Dicky.
Dicky memahami bahwa penetapan KLB akan mempengaruhi kondisi politik dan ekonomi negara. Dari sisi politik, KLB berpotensi mengganggu citra pemerintahan. Sementara dari sisi ekonomi, negara berpotensi harus mengeluarkan uang khusus untuk alokasi dana penanganan kasus gangguan ginjal akut.
Namun, Dicky mengingatkan bahwa status KLB penting karena status KLB adalah bentuk konstitusional negara melindungi rakyat dari penyakit.
“Sekali lagi saya sampaikan bahwa ini adalah bentuk respons konstitusional dari pemerintah dalam aspek kesehatan ketika de facto terjadi satu out break atau kejadian luar biasa, maka de jure-nya responsnya adalah penetapan out break atau KLB. Gitu saja, sesimpel itu sebetulnya. Namun dalam implementasinya pasti ada pertimbangan-pertimbangan tadi," kata Dicky.
Ombudsman juga mendorong agar pemerintah menetapkan KLB dalam kasus gangguan ginjal akut. Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, lonjakan kasus ginjal akut pada anak beberapa waktu terakhir ini perlu ketegasan pemerintah untuk menetapkannya sebagai KLB.
“Memang dalam UU Wabah Penyakit Menular dan Permenkes ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagai KLB, namun pemerintah juga harus membaca UU ini tidak hanya tekstual saja namun juga filosofi kebijakan dan kondisi di masyarakat," kata Robert dalam konferensi pers secara daring di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (25/10/2022).
Robert mengatakan, kasus ginjal akut ini sebagai darurat kesehatan yang penanganan kesehatan perlu terpadu. Oleh karena itu, status KLB penting agar penanganan gagal ginjal akut akan lebih terkoordinasi dengan baik.
Selain itu, perlu dibentuk tim satuan tugas khusus untuk penanganan kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak ini.
Dari sisi pelayanan, Robert menilai status KLB akan membuat pelayanan memenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium hingga Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
“Selain itu diharapkan dapat terwujud koordinasi dan sinergi dengan pemerintah daerah dan BPJS Kesehatan terkait pembiayaan pasien," imbuhnya.
Ombudsman berharap sosialisasi dalam rangka pencegahan kasus ginjal akut pada anak dapat dilakukan hingga tingkat desa. Sebab, kata Robert, masyarakat berhak akan informasi terkait penanganan kasus ginjal akut hingga pencegahannya.
Menurut Robert, hingga saat ini pemerintah belum memberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai penyebab gangguan ginjal akut pada anak.
Pada penanganan kasus ginjal akut pada anak ini, Ombudsman juga menemukan potensi malaadministrasi yang dilakukan Kemenkes di antaranya belum adanya data pokok terkait sebaran kasus baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat. "Sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus ini," ujar Robert.
Di samping itu, Ombudsman menemukan ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL). Sehingga menyebabkan belum terpenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium.
Tak hanya Kemenkes, Ombudsman juga menyoroti adanya kelalaian dari BPOM dalam pengawasan premarket (proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan) dan postmarket control (pengawasan setelah produk beredar).
Pada tahap premarket, Ombudsman menilai BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri). Robert menekankan, peran pengawasan BPOM harus lebih aktif dengan melakukan uji petik terhadap sejumlah produk farmasi.
Ombudsman menilai terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan. Selain itu, Robert menegaskan BPOM wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.
Pada tahap postmarket control, Ombudsman menilai dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM pasca pemberian izin edar. “BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar," tegas Robert.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz