tirto.id - Indonesia memiliki potensi energi bersih salah satu yang terbesar di dunia. Dari Sumatra dan Kalimantan, sungai-sungai besar dengan debit air tinggi mengalir deras, cukup potensial untuk menggerakkan turbin-turbin gigantis PLTA. Di savana-savana Sumba, angin terus-menerus berembus kencang, sanggup memutar kincir-kincir raksasa. Sementara di dalam tanah, panas bumi tersebar dari barat hingga ke timur Indonesia.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, cadangan geothermal di Indonesia bahkan mencapai 40 persen cadangan dunia dan mampu menghasilkan listrik hingga 29 giga watt atau delapan puluh persen dari target 35.000 megawatt Presiden Joko Widodo.
Potensi panas bumi yang mencapai 29 giga watt itu baru terpasang 1.438 MW atau 4,9%. Potensi hydro yang dapat dibangun PLTA mencapai angka hingga 75 giga watt, namun baru terpasang 4.826 MW atau 6,4%. Mini micro-hydro yang memiliki potensi 19 giga watt baru terpasang satu persen. Tenaga angin berpotensi 60 giga watt dan baru terimplementasi 0,01%. Sementara potensi fantastis dari tenaga surya sebesar 207 giga watt, hanya terpasang 0,04%.
Sayangnya, dengan potensi sedemikian besar itu, transisi energi Indonesia justru berjalan lamban. Sementara negara-negara di dunia sudah mulai meninggalkan energi kotor dari batu bara, Indonesia masih terus tertatih.
PLN: Tidak Mungkin EBT 100 persen
PLN meyakini bahwa dalam suatu sistem kelistrikan yang besar, lebih dari 2.000 megawatt, di negara mana pun tidak ada yang memiliki sistem kelistrikan 100% energi baru terbarukan (EBT). Hal ini mengingat sifat EBT seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Bayu (PLTB) tidak dilengkapi kapasitas baterai yang cukup sehingga tidak bisa dioperasikan ketika malam hari.
Terlebih, daya yang dihasilkan EBT relatif kecil dan hanya daerah tertentu saja yang mempunyai potensi angin dan radiasi matahari yang stabil.
“Memang masih banyak EBT seperti biomassa, sampah, panas bumi, mikro hidro dan biogas. Tapi apakah jika dikonversi ke energi listrik, biaya produksi cukup mencapai nilai keekonomian terutama untuk skala kecil di bawah 1.000 kWH? Kita juga harus memikirkan pelanggan yang di kepulauan, jangan hanya sistem besar seperti Jawa dan Sumatera,” ujar Wakil Presiden Humas PLN Dwi Suryo Abdullah kepada Tirto, Selasa (5/11).
Problem yang dipaparkan Dwi sebenarnya bisa saja langsung dipecahkan dengan subsidi. Namun, menurut Presiden Direktur Geo Dipa Energi, Riki Firmandha Ibrahim skema subsidi yang dimaksud berbeda dengan subsidi listrik selama ini. Menurut Riki, lambannya perkembangan EBT disebabkan energi fosil yang sudah mengakar menjadi komoditas politik.
Saat ini, energi fosil seperti batu bara sudah mencapai harga pasar, namun di saat yang sama mereka masih mendapat subsidi. Sementara di sisi lain, energi fosil dibenturkan dengan EBT yang belum mendapat subsidi.
“Tidak bisa bersaing tentu saja. Energi baru dihadapkan dengan energi lama yang sudah ada pembangkit, ya tidak bisa seperti itu. Orang Indonesia tidak terbiasa dengan harga pasar. Subsidi terus,” ujar Riki saat ditemui Tirto, Rabu (6/11).
Energi terbarukan sejatinya membutuhkan biaya operasi yang kecil, dan hal itu yang paling menyenangkan bagi investor. Sayangnya, instalasi dan pembangkitnya belum ada sehingga perlu modal yang tidak sedikit. Belum lagi soal teknologi yang harus impor. Hingga saat ini, semua teknologi EBT harus mengimpor dari negara lain.
Pada saat yang sama harga jual listrik ke PLN juga tidak lebih besar dari yang dihasilkan energi fosil. Misalnya saja untuk panas bumi, dari pengakuan Riki, selama setahun Geodipa menjual sebesar 2,5 sampai 2,6 sen per kWH kepada PLN. Jika dibandingkan Pertamina, PLN mampu membeli hingga 11 sen per kWH.
Dengan ketimpangan harga seperti itu, jika akhirnya para investor enggan masuk. Hal ini memang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan yang menyebut harga pembelian dari PLTP memang seharga dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan.
Berbeda dengan rerata biaya pembelian EBT seperti PLTS dan PLTBayu yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 dengan mematok angka hingga 85 persen dari BPP. Di sinilah, menurut Riki, EBT seharusnya disubsidi.
Pada 25 April lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebenarnya sudah menjamin akan memberikan subisidi untuk EBT. Namun ia menjelaskan bahwa skema subsidi tersebut hanya bersifat sementara sampai ongkos produksi dan harga jual listrik dari PLTP yang dikembangkan sesuai dengan nilai keekonomian. Mengenai hal itu, Riki menjelaskannya skemanya dengan lebih detil.
“Bu Sri Mulyani sudah menawarkan dan meminta kami berapa besarannya. Namun subsidi itu tidak akan sampai 30 tahun. Paling lima sampai sepuluh tahun sampai setidaknya balik modal.”
Sayangnya, niat itu, menurut Riki tidak cukup disambut oleh political will yang sama dari Kementerian ESDM maupun BUMN. “Cara kerja mereka masih sektoral. Padahal Bu Menkeu sudah mau bekerja sama,” imbuh Riki.
EBT Bisa dalam Satu Tahun
Program Manager Green Economy IESR, Erina Mursanti sebelumnya sudah menduga jika skema subsidi untuk EBT tidak akan sepenuhnya diterima oleh pemerintah. Namun, ia melihat ada celah lain. Menurutnya, jika iklim investasi dimudahkan di daerah sumber energi, maka hal tersebut akan mengundang investor untuk masuk.
“Karena sebenarnya banyak investor yang tertarik dengan Indonesia untuk mengembangkan EBT,” ujar Erina.
Skema regulasi itu, misalnya saja dengan membantu pembebasan lahan.
“Maka pendekatannya harus langsung ke pemda. Jadi pemda sudah menyediakan fasilitas sehingga investor tinggal bangun. Tidak perlu lagi harus konflik dengan warga terkait pembebasan lahan misalnya. Kan, itu yang banyak terjadi dan membuat investor enggan. Biaya lahan dan bunga yang tinggi biasanya yang memberatkan,” jelas Erina.
IESR sejatinya juga melihat opsi subsidi sebagai jalan keluar. Namun dengan skema yang tidak persis seperti diutarakan Riki. Subsidi dari pemerintah disubtitusi dengan investasi dari bank untuk membantu pembiayaan hingga tercipta mekanisme pasar.
Merujuk pada Jerman yang menggunakan skema serupa, imbuh Erina, negara itu berhasil melakukan transisi energi dengan skema tersebut selama 15-20 tahun. Namun menurutnya, Indonesia bisa lebih cepat.
“Kita bisa melihat Vietnam yang cukup satu-dua tahun untuk mengembangkan investasi solar. Mereka menyediakan investasi lahan.”
Di atas kertas, harga listrik dari batu bara memang jadi lebih murah. Pertama, industri batu bara, batu bara untuk PLTU hingga listrik dari PLTU mendapat subsidi. Kedua, listrik dari bahan bakar fosil tidak menghitung biaya eksternal seperti lingkungan dan sosial. Jika dihitung jatuhnya akan lebih mahal.
Lain hal dengan EBT yang nyaris tak membutuhkan ongkos eksternal. Erina mencatat setidaknya ada beberapa implikasi yang akan terjadi jika penggunaan batu bara sama sekali dihentikan.
Transisi itu, menurutnya, akan berdampak pada perekonomian nasional dan juga lokal. Pada perekonomian nasional, berkurangnya produksi batu bara dalam negeri akan berdampak pada neraca perdagangan utamanya dalam hal ekspor.
Kendati demikian, hal ini masih bisa diantisipasi mengingat ekspor batu bara hanya berkontribusi sebanyak 2 persen. Implikasi kedua adalah dampak terhadap perekonomian lokal. Perekonomian tiga provinsi terbesar produsen batu bara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan sangat bergantung pada komoditas tersebut.
“Untuk itu kami sedang mencari exit strategy untuk ketiga provinsi tersebut agar perekonomian mereka tidak goyah jika transisi energi dilakukan,” ujar Erina.
Editor: Mawa Kresna