tirto.id - Lebih dari sepekan, rakyat Indonesia dibuat bingung atas dokumen final undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Setelah disahkan 5 Oktober lalu, dokumen undang-undang sapu jagat itu masih direvisi oleh para politikus di Senayan.
Dokumen pertama berupa draf UU Cipta Kerja setebal 1.028 halaman saat pemerintah menyerahkannya ke DPR pada 12 Februari, yang kemudian diunggah ke website resmi Baleg DPR.
Setelah disahkan pada 5 Oktober, draf final UU Cipta Kerja menjadi siluman, dan ada empat versi yang beredar ke publik:
- Draf setebal 905 halaman yang beredar pada 5 Oktober
- Draf setebal 1.052 halaman yang beredar pada 9 Oktober setelah cek salah ketik
- Draf setebal 1.035 halaman yang beredar pada 12 Oktober pagi
- Draf setebal 812 halaman yang beredar pada 12 Oktober malam, diklaim ada perubahan format kertas.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dari Fraksi Golkar berkilah perbedaan halaman dalam draf setelah pengesahan hanya "masalah teknis", seperti perbedaan ukuran kertas dan penyuntingan redaksional.
Politikus Golkar ini mengklaim draf UU Cipta Kerja terbaru setebal 812 halaman adalah yang siap dikirim kepada Presiden Jokowi paling lambat hari ini, Rabu (13/10/2020).
“Kami punya waktu 7 hari kerja untuk mengirimkan RUU. Sedangkan presiden punya waktu 30 hari untuk menandatangani pengesahan UU,” kata Azis, kemarin.
Kronologi Pembahasan & Pasal Selundupan
Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja dimulai saat rapat kerja antara DPR dan pemerintah pada 14 April 2020.
Rapat Panja untuk membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) dimulai 20 Mei hingga 3 Oktober 2020. Ia dilakukan sebanyak 60 kali. Berdasarkan sistem penomoran, DIM RUU Cipta Kerja terdiri dari 7.197.
Panja telah melakukan rapat dengar pendapat atau rapat dengar pendapat umum dengan pihak terkait sebanyak 9 kali dan 4 kali rapat pimpinan. Setelah disahkan pada 5 Oktober, RUU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 186 pasal. Dari 812 halaman draf UU yang diakui terbaru, ada 487 pasal dan sisanya penjelasan.
Namun, dari pengecekan Tirto terhadap dokumen terbaru itu, ada perubahan substansi pasal-pasal, yang artinya bukan hanya masalah teknis.
Di antaranya mengenai UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Pasal 1 angka 11 UU PPLH (dalam draf 905 halaman tanggal 5 Oktober) berbunyi analisis dampak lingkungan sebagai syarat operasional perusahaan menjadi bagian perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah pusat. Berdasarkan draf 812 halaman yang diakui oleh DPR, ada frasa baru "persetujuan pemerintah daerah".
Bunyi pasal 1 angka 11 UU PPLH yang diubah dalam draf UU Cipta Kerja setebal 812 halaman:
“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam perizinan berusaha, atau persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.”
Perubahan lain pada pasal 1 angka 12 dan angka 35 yang menambahkan frasa sama yakni "pemerintah daerah". Total, dalam draf terbaru setebal 812 halaman, ketiga pasal berkaitan Amdal, UKL/UPL, persetujuan berusaha dan persetujuan lingkungan, yang semula ditangani pemerintah pusat berubah menjadi bersama pemerintah daerah.
Cacat Prosedur
Ada empat versi draf UU Cipta Kerja setelah disahkan dianggap merugikan publik, yang hendak mengkaji dan mengkritisinya seraca solid. Ia juga menurunkan legitimasi undang-undang tersebut.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai asas keterbukaan yang dijalankan DPR seketika menguap dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Sehingga regulasi sapu jagat yang bakal mengubah banyak aturan main cara pemerintah menjalankan negara ini sudah "cacat prosedur."
Kucing-kucingan dalam pembahasan sudah tampak sejak rancangan undang-undang itu diajukan, dibahas, hingga disahkan. Cara DPR dan pemerintah yang merahasiakan draf final dinilai Feri telah menggembosi partisipasi publik.
Protes publik terhadap UU Ciptaker menjalar menjadi demonstrasi di 18 provinsi sejak pekan lalu. Namun, bukannya mengakomodasi tuntutan publik dan demonstran, pemerintahan Jokowi menghadapi protes itu dengan kekuatan berlebihan. Ada ribuan demonstran yang ditangkap, puluhan demonstran dijadikan tersangka, bahkan belasan wartawan yang meliput demo tolak UU Ciptaker mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian. Pemerintahan Jokowi bahkan menuding tanpa bukti bahwa demonstran yang bergerak menentang UU Ciptaker termakan "hoaks" dan "ditunggangi asing".
- Parade Kekerasan oleh Polisi Buktikan Reformasi Memang Dikorupsi
- Jokowi Klaim UU Ciptaker Cegah Korupsi Saat Draf Final Masih Gaib
- Demo UU Ciptaker: Dosen Dianiaya; Mahasiswa Dipaksa Jadi Provokator
- Cara Negara Menguasai Narasi Ciptaker: Sembunyikan Dokumen Final
- Keganasan Polisi ke Jurnalis: Intimidasi, Hajar, Tangkap
Editor: Rio Apinino