Menuju konten utama

Parade Kekerasan oleh Polisi Buktikan Reformasi Memang Dikorupsi

Kesewenang-wenangan polisi menundukkan perlawanan warga atas pelbagai UU kontroversial dianggap manifestasi 'reformasi dikorupsi'.

Parade Kekerasan oleh Polisi Buktikan Reformasi Memang Dikorupsi
Polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat terjadi bentrok di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (8/10/2020). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/aww.

tirto.id - Budi Nasrullah mahasiswa Universitas Pelita Bangsa bergerak menuju Kawasan Industri Jababeka 1 pada 7 Oktober 2020. Bersama sekitar 800 pendemo, Budi hendak menolak Undang-undang Cipta Kerja. Maka, ia melanjutkan aksi setelah berunjuk rasa di Kawasan Industri Jababeka 2.

Di depan PT Tokai, mereka diadang oleh barikade aparat kepolisian. Bentrokan tak terhindarkan. "Terjadi bentrok, kami maju, mau melangkah, terjadi dorong-dorongan. Kami tidak main kontak fisik, hanya dorong," kata Budi kepada reporter Tirto, Kamis (8/10/2020).

Aksi saling dorong terus terjadi. Tubuh seorang mahasiswa bernama Nasrul Firmansyah terkapar ke aspal, rupanya ia tertembak peluru karet tepat di kepala. Darah membasahi wajah dan almamater pemuda itu, tulang tengkoraknya retak, oleh polisi badannya diseret ke belakang.

Melihat itu, Budi langsung mengangkat tangannya ke arah polisi dan mahasiswa, mengirim isyarat agar menghentikan bentrok. Ketika memunggungi polisi, tiba-tiba dia ditarik dan diseret ke arah kerumunan polisi untuk jadi sasaran aparat berseragam.

"Seluruh badan dipukuli, dari pinggang ke kepala. Ganti-gantian polisi yang pukuli, banyak, tak tahu jumlahnya berapa," tuturnya.

Akibatnya, tulang hidung patah dan dua giginya retak. Ia langsung dibawa ke RS Sentra Medika Cikarang, tempat Nasrul juga dirawat dan dioperasi. Dihubungi terpisah, Humas UPB Nining Yuningsih mengatakan kondisi dua mahasiswanya yakni Budi Nasrullah dan Nasrul Firmansyah sudah membaik tapi masih harus dirawat di Rumah Sakit Sentra Medika Cikarang.

Demo menolak omnibus law terdapat di 18 provinsi Indonesia. Di Bandung juga terjadi brutalitas polisi. Sekelompok mahasiswa yang berdemo dihujani gas air mata lantas melarikan diri ke Universitas Islam Bandung (Unisba). Polisi tidak berhenti dan menembaki kampus dengan gas air mata sehingga kaca sejumlah ruangan pecah.

"Kami memohon pimpinan Polri dapat mengendalikan anggotanya supaya tidak bertindak berlebihan ke area kampus karena itu fasilitas perkuliahan yang bertujuan mencerdaskan bangsa," kata Rektor Unisba Edi Setiadi dalam surat pengaduannya tertanggal Kamis (8/10/2020).

Berdasarkan pantauan koalisi masyarakat sipil antikekerasan Bandung, polisi mengerahkan kekuatan penuh dari personel Sabhara maupun Brimob untuk membubarkan massa.

Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia mengatakan terkait aksi kemarin pihaknya mendapat 83 aduan dari masyarakat sementara untuk aksi dua hari sebelumnya ada 136 aduan.

Ada juga ratusan pendemo terluka, per Kamis (8/10) tercatat korban luka-luka berjumlah 136 orang (evakuasi di kampus Unisba), 53 orang (korban evakuasi di kampus Unpas) dan 10 orang masih belum diketahui keberadaannya.

"Jadi memang ini tampaknya ada tindakan berlebihan dari kepolisian. Yang paling riskan itu penghalang-halangan terkait pendampingan hukum. Kami sama sekali tak diberikan akses," kata dia kepada Tirto, Jumat (9/10). Sementara, LBH Jakarta mencatat 280 aduan masuk, kebanyakan aduan penangkapan atau penculikan pada saat aksi.

Reformasi Memang Dikorupsi

Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho menyayangkan penggunaan kekerasan oleh kepolisian dalam menangani aksi massa. Padahal, merujuk UU 2/2002 tentang Polri tugas polisi adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

Aturan lain adalah Perkap 7/2012 pasal 3 menyatakan Polri wajib menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Polisi juga punya pedoman sesuai hak asasi manusia merujuk Perkap 8/2009.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengaku mendapat laporan dari sejumlah daerah soal kekerasan polisi dalam penanganan unjuk rasa.

"Kami akan mengevaluasi bersama pimpinan Polri, dari hulu sampai hilir. Dari sistem rekrutmen, pendidikan sampai pelaksanaan tugas mereka sehari-hari," kata dia kepada reporter Tirto.

Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menyebut pemicu bentrokan adalah gas air mata yang dilontarkan polisi ketika massa dalam keadaan damai dan tak melawan. Polisi ditengarai tak belajar dari cara menangani demonstran saat aksi ‘Reformasi Dikorupsi’ September tahun lalu.

“Itu menunjukkan polisi memiliki celah melakukan penyalahgunaan kekuasaan terhadap pengunjuk rasa. Unjuk rasa dilindungi oleh UUD 1945, dan Indonesia sudah meratifikasi beberapa kovenan internasional yang di dalamnya untuk menghormati, melindungi dan juga memenuhi kebebasan berekspresi dan berkumpul,” terang Fatia.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai pola kekerasan oleh aparat kepolisian kemarin terjadi serupa di berbagai daerah.

Ia menduga, brutalitas polisi terdorong oleh Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020.

Di antaranya berisi perintah agar anggota Polri mendeteksi dini rencana demonstrasi dan mogok nasional dari elemen buruh dan masyarakat; melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi; serta tidak memberikan izin kepada pengunjuk rasa untuk berdemonstrasi maupun keramaian lainnya.

Hal itu, kata Asfinawati, tak bisa dilihat berdiri sendiri. Jika diperhatikan, pelbagai undang-undang yang didorong oleh pemerintah dan legislator—revisi UU KPK, UU Minerba, hingga Cipta Kerja—memiliki semangat yang sama: menggarong negara sebagaimana terjadi di masa Orde Baru. Agar agenda itu lancar, maka perlawanan oleh warga negara pun harus ditundukkan lewat kesewenang-wenangan.

"Reformasi kita memang sudah reformasi dikorupsi. Sudah berkurang yang dilatarbelakangi motivasi korup," kata Asfinawati kepada Tirto pada Minggu (11/10/2020).

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyatakan aksi tolak Undang-Undang Cipta Kerja di beberapa daerah Indonesia menyasar kantor DPRD masing-masing wilayah. Dalam menangani unjuk rasa kali ini kepolisian mengklaim sudah sesuai standar operasional prosedur.

“Saat pengamanan demo, polisi sudah berkali-kali mengamankan sesuai SOP. [Polisi] tidak dilengkapi senjata api. Kedua, di dalam kegiatan tersebut polisi melakukan nego-nego dalam berunjuk rasa supaya kegiatan aspirasinya disampaikan,” klaim dia, di Mabes Polri, Jumat (9/10/2020).

Kepolisian, kata Argo, tetap mengamankan area tertentu yang tidak boleh dimasuki demonstran. Personel juga dalam posisi bertahan dan dengan berbagai metode yang dilakukan unit Dalmas, Sabhara, Brimob. Bahkan Polri mengimbau pengunjuk rasa agar tak terprovokasi.

“Ada beberapa fasilitas juga yang jadi korban, tidak hanya anggota saja. Anggota (polisi) walaupun dilempari tetap diam saja. Tetap bertahan, persuasif. Ada beberapa anggota yang luka karena dilempar. Tetap kami imbau, ternyata semakin anarkis,” ucap Argo.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN POLISI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie & Adi Briantika
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali