Menuju konten utama

UU Cipta Kerja: Ketika Polisi Merangkap Humas Pemerintahan Jokowi

Polisi, alih-alih Kominfo, jadi humas pemerintahan Joko Widodo dalam isu UU Cipta Kerja. Mereka menyebut banyak hoaks terkait peraturan itu.

UU Cipta Kerja: Ketika Polisi Merangkap Humas Pemerintahan Jokowi
Sejumlah Polisi Lalu Lintas mengikuti Apel gelar Pasukan Operasi Patuh Jaya Tahun 2020 di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (23/7/2020). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz)

tirto.id - Akun instagram Traffic Management Centre Polda Metro Jaya, yang pengikutnya mencapai 680 ribu, biasanya mengunggah informasi hal-hal terkait lalu lintas seperti kecelakaan dan kemacetan. Tapi baru-baru ini ada beberapa unggahan mereka yang temanya cukup melenceng: Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Ada lima unggahan terkait sampai 7 Oktober pukul 3 sore, dua hari setelah UU Ciptaker disahkan. Benang merahnya sama: unggahan-unggahan tersebut menyebut ada hoaks terkait UU Ciptaker, dari mulai hak cuti hilang, pesangon hilang, sampai jaminan sosial hilang. Unggahan disertai tagar #WaspadaHoax serta #StopHoax.

Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo mengatakan tujuan unggahan tersebut untuk “memberikan informasi yang benar kepada masyarakat agar tidak dipengaruhi oleh berita-berita hoaks.”

Ditarik lebih jauh, ini adalah implementasi dari Surat Telegram Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020 yang ditandatangani oleh Asops Kapolri Irjen Pol Imam Sugianto atas nama Kapolri Jenderal Idham Azis. Total 12 poin diatur dalam surat itu. Poin 6 menyebutkan “lakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.”

Ketika Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono ditanya wartawan apa indikator dari mendiskreditkan pemerintah, ia hanya bilang, “saya pikir tidak perlu saya jelaskan itu, kalian (wartawan) sudah pada pintar.”

Polisi Bukan Kominfo

Anggota Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie mengatakan tidak ada yang salah dari kontra narasi ini karena “polisi adalah bagian dari pemerintah.”

“Melaksanakan perintah dan kebijakan pemerintah, salah satu fungsi Polri adalah pembinaan masyarakat (binmas),” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (6/10/2020).

Melakukan kontra narasi menurutnya adalah bagian dari binmas. Tujuan akhirnya adalah mendorong publik untuk sadar dan taat terhadap perundang-undangan serta norma sosial yang hidup di masyarakat. “Pada akhirnya masyarakat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan kamtibmas,” imbuh dia.

Namun Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menegaskan Polri bukan alat pemerintah, tapi alat negara. Itu tertuang dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Segala turunan dari tugas pokok dan fungsi polisi harus selaras dengan visi menjaga ketertiban dan keamanan. Maka semestinya polisi bertindak, misalnya, kalau ada gangguan keamanan dalam demonstrasi menolak omnibus law. Lalu bila massa aksi membakar atau merusak fasilitas umum, maka polisi bisa turun tangan menghentikannya. Melakukan “kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah” tidak termasuk di dalamnya.

“Ini sudah melewati batas, dia (polisi) seperti Kementerian Penerangan,” kata Asfin, Selasa. “Polisi telah berpolitik.”

Asfin menilai instruksi tersebut mustahil tanpa sepengetahuan dan izin pemerintah. “Ini artinya presiden memerintahkan Kapolri lewat telegram itu,” katanya, dengan memberikan pertimbangan pula bahwa “sejak awal RUU omnibus law inisiatif dari Pemerintah.”

Dugaan ini baru tidak terbukti misalnya Jokowi memerintahkan Kapolri mencabut surat telegram.

Leopold Sudaryono, kriminolog dari Universitas Indonesia, berpendapat kebijakan di atas adalah bukti bahwa pemerintahan Joko Widodo kerap mengesampingkan portofolio kabinet. Sebelum ini misalnya Jokowi malah menugaskan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menangani pangan, lalu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menangani hot spot area dan pandemi COVID-19.

“Baiknya penanganan komunikasi media, termasuk kontra narasi, diserahkan kepada kementerian yang bertanggung jawab tentang itu yakni Kominfo. Polri adalah penegak hukum yang mengawasi pelaksanaan aturan, sebaiknya tidak terlibat dalam pelaksanaan kerja pemerintahan,” kata Leopold, Selasa.

Instagram Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak melakukan hal serupa TMC. Mereka hanya satu kali mengunggah informasi terkait UU Ciptaker, itu pun terkait kontribusi regulasi ini terhadap pos, telekomunikasi, dan penyiaran. Pun dengan akun Twitter mereka.

Pada akhirnya ini menimbulkan kekacauan tugas dan fungsi kementerian/lembaga dan menurunkan performa mereka sendiri, katanya. Pertama, terganggunya kerja kementerian yang memiliki mandat utama; kedua, melemahnya performa kementerian yang memiliki mandat untuk melakukan tugas dan fungsinya: dan ketiga, melemahnya pengawasan sebab yang harusnya menegakkan hukum justru menjadi operator kebijakan.

Pengamat kepolisian dari ISESS Bambang Rukminto memberikan penegasan bahwa tugas pokok Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban. Pada konteks aksi penyampaian pendapat masyarakat, posisi Korps Bhayangkara adalah netral, bukan malah jadi alat pukul pemerintah.

Jika telegram itu tak dicabut dan kontra narasi dari polisi terus terjadi, maka ia memprediksi “kepercayaan masyarakat terhadap Polri bisa menjalankan fungsi sebagai alat negara yang profesional turun.”

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino