tirto.id - Kepolisian terus saja menyebarkan narasi yang bertolak belakang dengan para penolak Undang-Undang Cipta Kerja. Melalui akun Facebook Divisi Humas Polri, misalnya, Korps Bhayangkara menyatakan kalau demonstrasi, yang hari ini ramai di berbagai titik di Indonesia, bukanlah solusi.
“Stop unjuk rasa ya guys! Karena jika kamu melakukannya, akan semakin memperburuk pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada profesi kalian sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi untuk menghidupi keluarga.” Pernyataan ini diunggah pada 4 Oktober 2020, sekira pukul 01.25.
Pernyataan polisi ini tidak sahih menurut ekonom. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan dampak demonstrasi akan sangat sementara. Contohnya, mungkin hanya beberapa toko tutup, itu pun hanya dalam beberapa jam atau beberapa hari.
“Bahkan,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (7/10/2020), “jika demo ini bagus secara tujuan dan substansi, akan dilihat secara positif oleh ekonomi.” Mengapa demikian? Sebab “undang-undang ini sudah dianggap buruk oleh kalangan investor dan ekonom.”
Baru-baru ini 35 investor yang mewakili investasi atau asset under management (AUM) senilai 4,1 triliun dolar AS membuat surat terbuka yang kira-kira berisi pernyataan bahwa justru karena peraturan ini investor mungkin enggan menanamkan uang di Indonesia. Mereka mengatakan mungkin investor khawatir menanamkan duit karena UU Cipta Kerja akan berdampak parah terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan.
Reputasi mereka dipertaruhkan jika berinvestasi di negara dengan regulasi yang dampaknya seperti ini.
“Jadi, tolong Polri diberikan lagi pemahaman bahwa UU Cipta Kerja yang memperburuk ekonomi,” imbuh Huda.
Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Remy Hastian juga kecewa terhadap apa yang disampaikan polisi.
“Seharusnya [polisi] bisa membuat kami nyaman dan aman,” kata Remy, Rabu (7/10/2020). Mereka memilih mengacuhkan imbauan itu sebab “jiwa-jiwa muda yang bisa dibatasi dengan imbauan bahkan larangan ketika negara genting.”
BEM SI sendiri hari ini menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta. Istana dipilih karena mereka mendesak Presiden Joko Widodo mencabut UU Cipta Kerja. Meski begitu Jokowi sedang tidak di Jakarta. Ia sedang sibuk meninjau food estate di Kalimantan Tengah.
BEM SI menganggap hari pengesahan UU Cipta Kerja, Senin lalu, adalah hari duka dan pengkhianatan sekaligus simbol matinya hati nurani legislatif dan eksekutif. Mereka tak mengindahkan aspirasi masyarakat. “Maka sampaikanlah ke seluruh pelosok negeri bahwa demokrasi kita telah mati,” katanya.
Selain BEM SI, ribuan orang lain juga tumpah ruah di jalanan hari ini dengan tujuan yang sama. Titik demonstrasi tidak hanya di Jakarta, tapi juga di banyak daerah lain.
Ini membuktikan betapa tidak lakunya anjuran polisi.
Polisi sudah berkali-kali mengeluarkan narasi semacam ini. Akun Instagram tmcpoldametro, yang biasanya mengunggah informasi-informasi ringan soal lalu lintas seperti macet atau tilang, justru mengunggah poster ‘hoaks UU Cipta Kerja’. Mereka menyebut kabar yang beredar di media sosial tidak benar. Narasi itu diunggah pada Selasa (6/10/2020), disertai tagar #WaspadaHoax serta #StopHoax.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo mengatakan itu mereka lakukan “untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat agar tidak dipengaruhi oleh berita-berita hoaks.” Padahal sampai saat ini saja dokumen akhir UU Ciptaker belum dilansir DPR dan Pemerintah.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan kontra narasi Polri adalah kesalahan karena mereka sama saja meredam aspirasi publik. Selain itu, menurutnya ini juga keluar dari mandat kepolisian.
Dia mengatakan demonstrasi adalah hak warga negara yang dijamin dan dilindungi undang-undang. Sementara polisi bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Seharusnya polisi berperan untuk mengamankan, bukan malah memprovokasi (dengan mengklaim) unjuk rasa suatu hal negatif,” ucap dia, Rabu.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino