Menuju konten utama

Mengurut Ketentuan Pesangon Setelah UU Ciptaker Disahkan

Pesangon kini tak hanya dibebankan ke pengusaha. Jumlah maksimal yang bisa didapat pekerja juga lebih sedikit dibanding ketentuan UU 13/2003.

Mengurut Ketentuan Pesangon Setelah UU Ciptaker Disahkan
Ratusan buruh memblokir jalan nasional Bandung-Garut--Tasikmalaya saat melakukan aksi di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.

tirto.id - Hak pesangon dan penghargaan masa kerja seorang buruh berubah karena Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Peraturan yang disahkan pada 5 Oktober lalu ini mengubah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebelum UU Ciptaker disahkan, pesangon maksimal sembilan bulan upah untuk pekerja yang masa kerjanya delapan tahun atau lebih (Pasal 156 ayat 2 i UU 13/2003). Sementara uang penghargaan masa kerja 10 bulan upah untuk masa kerja 24 tahun atau lebih (Pasal 156 ayat 3 h UU 13/2003).

Ketentuan ini berlaku ketika buruh di-PHK dengan alasan melanggar peraturan perusahaan atau perjanjian kerja, perusahaan tutup karena rugi selama dua tahun atau karena keadaan memaksa, dan perusahaan pailit.

Jika alasan pemutusan hubungan kerja adalah perusahaan melakukan efisiensi atau perusahaan berubah status tapi enggan melanjutkan perjanjian dengan pekerja, maka uang pesangon ditetapkan dua kali lipat dari yang semestinya diterima (Pasal 163 ayat 2 dan 164 ayat 3 UU 13/2003).

Perusahaan juga wajib memberikan pesangon dua kali lipat dari ketentuan kepada ahli waris jika hubungan kerja berakhir karena pekerja meninggal (Pasal 166 UU 13/2003) serta jika pengusaha tidak mengikutsertakan kerja yang mengalami PHK karena usia pensiun (Pasal 167 ayat 5 UU 13/2003).

Pasal-pasal yang mengatur pesangon harus dua kali lipat (163, 164, 166, 167) di atas dihapus dalam UU Ciptaker (versi 5 Oktober).

Ringkasnya, jika jatah pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dalam UU 13/2003 maksimal bisa mencapai 32 kali upah bulanan--dengan masa kerja 24 tahun ke atas dan syarat di-PHK karena meninggal, pensiun, efisiensi, dan perusahaan merger--maka dalam UU Ciptaker menjadi hanya 25.

Ketentuan ini selaras dengan keinginan pengusaha dan pemerintah.

Perbedaan lain, dalam UU Ciptaker pesangon tak lagi dibebankan seluruhnya ke pengusaha, tapi juga pemerintah, kata Staf Ahli Kemenko Perekonomian Elen Setiadi dalam rapat kerja bersama Badan Legislasi DPR, Sabtu 3 Oktober.

“Dalam perkembangan dan memperhatikan kondisi saat ini, terutama dampak pandemi COVID-19, maka beban tersebut diperhitungkan ulang. Penghitungannya adalah sebagai berikut: yang menjadi beban pelaku usaha atau pemberi kerja maksimal 19 kali gaji ditambah dengan JKP sebanyak 6 kali,” kata Elen.

JKP atau Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dikelola oleh pemerintah lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Itu diatur dalam Bagian Ketujuh Jaminan Kehilangan Pekerjaan UU Ciptaker.

Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatakan melalui JKP Pemerintah juga memberikan manfaat berupa upscaling dan upgrading bagi pekerja yang di-PHK. Ia berupa pelatihan seperti di program Kartu Prakerja.

“Untuk memberikan jaminan sosial bagi pekerja yang mengalami PHK, RUU Cipta Kerja mengatur ketentuan mengenai program JKP yang manfaatnya berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja,” kata Ida menjawab pertanyaan wartawan Tirto, Selasa (6/10/2020).

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menilai terlepas dari pemangkasan jumlah pesangon, strategi pemerintah meningkatkan kemampuan para pekerja patut diapresiasi. Menurutnya ini adalah “jalan tengah” antara kepentingan buruh dan pengusaha.

“Manfaat JKP ini enggak ada beban pekerja dan perusahaan. Uang PHK dialihkan ke sana (JKP). Setelah dilatih ada juga tempat penyalurannya,” kata dia kepada wartawan Tirto, Selasa.

Ditolak Buruh, Diragukan Efektivitasnya

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan regulasi ini “merugikan pekerja dan menguntungkan perusahaan.” Alasannya sederhana: pesangon diperkecil dan karenanya beban pengusaha lebih ringan, dan JKP itu sendiri sama saja seperti asuransi lain yang mewajibkan orang bayar premi untuk mendapatkan manfaatnya.

“Iuran nantinya akan dinaikkan oleh BPJS dengan [tambahan] iuran kehilangan pekerjaan,” katanya kepada wartawan Tirto. “Kalau enggak ada iuran enggak mungkin pemerintah mengeluarkan.”

Ketentuan mengenai iuran ditetapkan dalam RUU Ciptaker. Disebutkan: “Peserta Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar iuran.”

Ia juga meragukan efektivitas JKP dengan berkaca pada program Kartu Prakerja, meski menurutnya ini memang bentuk “hadirnya negara” dalam ketenagakerjaan. Menurutnya Kartu Prakerja “sudah gagal,” terutama iming-iming mampu meningkatkan kemampuan para pekerja sehingga lebih mudah dilirik perusahaan.

Sementara Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meragukan program dari JKP ini bisa terealisasi dengan baik.

“Program JKP tidak akan berkelanjutan dengan mengikuti skema ini. Atau dengan kata lain dibuat aturan baru skema pesangon untuk tidak bisa dilaksanakan di lapangan,” kata Iqbal dalam keterangan resmi, Selasa.

Selain itu ia juga mengatakan buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Perkara pesangon jadi satu dari sekian alasan para buruh menolak regulasi yang dibuat dengan metode omnibus ini.

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Hukum
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino