tirto.id - Aldi Azis, 21 tahun, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, duduk beristirahat bersama teman-temannya di Taman Toga, Universitas Islam Bandung (Unisba), Jawa Barat, Rabu (7/10/2020) malam, sekitar pukul 20.30. Taman Toga, terletak di pertigaan Jalan Tamansari, melintasi beberapa gedung Unisba, adalah tempat yang cukup luas.
Banyak mahasiswa lain pula--termasuk dari kampus lain--sedang beristirahat usai seharian berdemonstrasi menolak UU Cipta Kerja, kata Aldi kepada wartawan Tirto, Jumat (10/9/2020) pagi.
Keadaan sangat kondusif malam itu, sebelum akhirnya terdengar suara motor dari kejauhan. Itu ternyata polisi. Mereka merangsek masuk ke Jalan Tamansari. Aldi tentu saja kaget, apalagi gerombolan polisi "melemparkan smoke bomb dan gas air mata ke tempat arah saya."
(Penyerangan dapat dilihat di sini).
Ia lekas mencari tempat aman, dan yang paling pertama terpikirkan adalah kantin deret.
Aldi sebenarnya mau masuk ke gedung karena merasa itu lebih aman, tapi di sekitarnya polisi masih banyak. Ia dan seorang kawan baru berlari masuk saat sebagian polisi tampak pergi. Saat itulah ia melihat polisi "sudah masuk lingkungan kampus"--yang notabene bukan tempat umum.
Sekitar pukul 21, Aldi mendengar kabar kalau kaca di salah satu pos satpam pecah akibat tembakan gas air mata. Kemungkinan besar itu ulah polisi-polisi tadi.
Pengejaran massa oleh polisi ternyata berlanjut ke Universitas Pasundan (Unpas) Kampus 2, yang letaknya sama-sama di Jalan Tamansari. Unisba dan Unpas sama-sama menjadi tempat evakuasi malam itu.
Ziyan Khatam, 21 tahun, mahasiswa Teknik Informatika Unpas, sedang mengobrol dengan seorang teman di depan kampus ketika tiba-tiba banyak orang berlarian dari arah Unisba, sekitar pukul 22. Ia kaget dan akhirnya memilih ikut berlari.
Ziyan merasakan perih dari asap gas air mata. Seorang pemilik warung kecil dan seorang satpam pun terkena, kata dia. Bau menyengat pedas merebak luas.
"Ternyata ada dua motor polisi menembak gas air mata ke arah lurus jalan, enggak ke arah kampus," kata Ziyan kepada wartawan Tirto, Jumat pagi.
Dua motor itu awalnya hendak masuk ke area kampus Unpas, namun karena diblokade massa, mereka melanjutkan perjalanan. "Kayaknya itu gertak saja di luar. Enggak berani masuk ke kampus sih polisi mah. Tempat evakuasi terhitung aman," katanya.
Polisi lagi-lagi merangsek masuk ke area Unisba pada Kamis malam. Satu pos rusak lagi, tepatnya di gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM). Seorang satpam juga dijotos polisi setelah sebelumya ia dan beberapa satpam lain mengingatkan aparat kalau ini adalah area kampus--wilayah akademik yang semestinya dihormati.
Cerita yang dituturkan Aldi selaras dengan keterangan Rektor Unisba Edi Setiadi dalam surat yang ia kirim ke Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudy Sufahriadi pada 8 Oktober. "Kami sudah menyurati Kapolda," kata Edi saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Jumat pagi.
"Walaupun sudah masuk ke area kampus, ada anggota polisi yang menembakkan gas air mata ke dalam, bahkan terdengar ledakan yang mengarah ke kampus yang memecahkan pos penjagaan," kata Edi dalam surat.
Dalam surat itu ia meminta Kapolda Jawa Barat untuk lebih mengendalikan para anggotanya agar tidak bertindak liar di dalam kampus, yang, sekali lagi, adalah wilayah akademik.
Banten
Mundur sehari sebelum kejadian Unisba dan Unpas. Pada 6 Oktober, massa aliansi Geger Banten--gabungan mahasiswa dari berbagai universitas di Banten--berkumpul di UIN Sultan Maulana Hasanudin. Mereka hendak menyatakan sikap menolak UU Cipta Kerja, juga membaca puisi dan teatrikal.
Menurut Sutarji, mahasiswa Fakultas Dakwah semester 5 UIN Sultan Maulana Hasanudin sekaligus pengurus Bidang Pengembangan Intelektual dan Minat Bakat Keluarga Mahasiswa Lebak (Kumala), massa menutup jalan dan membakar ban "untuk menggugah semangat."
Aksi berjalan lancar sampai sekitar pukul 17. "Sekitar jam 18 massa mencoba menyampaikan aspirasinya di lampu merah Ciceri, namun polisi mengadang, sehingga terjadi bentrokan," ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat.
Ia dan massa akhir berhamburan ke dalam kampus UIN untuk menyelematkan diri.
Polisi menggunakan gas air mata dan water canon untuk memukul mundur demonstran. Beberapa dari mereka terluka. Sutarji sesak nafas dan panas. Ada pula kader Kumala "yang mengalami reaksi geger otak akibat pukulan dan benturan dari gas air mata."
Korban berada di barisan terdepan saat polisi memukul mundur massa. Korban sedang menginstruksikan massa untuk berlindung ke dalam kampus. Saat itulah pemukulan terjadi. "Dia terjatuh dan langsung kami evakuasi. Di saat bersamaan ada ledakan gas air mata, pendengarannya terganggu."
Muhammad Ferdiawan Hasanah, mahasiswa Fakultas Dakwah semester 7, mengatakan pemicu kerusuhan berasal dari letupan petasan. Ia tak tahu siapa yang melakukannya, mungkin mahasiswa atau malah penyusup, karena kondisi sudah gelap dan demonstran jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Ia hanya dapat memastikan sumber letupan petasan berasal dari belakang.
Pemuda yang akrab disapai Mayor ini ikut lari menyelamatkan diri ke dalam kampus.
Polisi tak berhenti setelah massa masuk kampus. Kepada reporter Tirto, Jumat, dia bilang polisi "menembakkan gas air mata, water canon, dan lempar batu dari luar." Mahasiswa sempat pula menutup pintu kampus luar dan belakang. "Polisi tidak berani masuk," katanya.
Massa terdesak dan akhirnya mencoba melakukan perlawanan. Massa melempari batu ke arah polisi dengan harapan mereka segera menjauhi wilayah kampus. Namun kondisi saling serang baru bisa mereda setelah 2,5 jam kemudian.
Sembari menyelamatkan demonstran yang luka-luka, massa yang tertahan di dalam juga mendata mahasiswa yang hilang dengan dugaan ditangkap polisi. Ketika itu Mayor mengetahui bahwa 14 kawannya telah diringkus.
Kondisi seperti ini bertahan hingga malam. Ketika itu mereka mulai menjajakan negosiasi dengan polisi dengan bantuan dari Wakil Rektor yang datang bersama tentara. "Hasil negosiasinya, kami hanya mau membuka blokade jalan apabila kawan kami yang ditangkap dikembalikan malam itu juga."
Apa yang terjadi malam itu memungkasi kekecewaan Mayor dan para mahasiswa lain. "Saya kecewa pada DPR. Misalkan DPR tidak mau bertemu kami, jangan benturkan kami dengan polisi. Polisi turun atas perintah atasan. Kami turun karena tuntutan rakyat," katanya.
Tak Bisa Sewenang-wenang
Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan mengecam tindakan aparat yang menurutnya brutal dalam menangani massa aksi. Menurutnya kampus semestinya dihormati sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi kebebasan akademik.
"Kampus harus bebas dari serangan apalagi sampai melukai," ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat.
Polisi juga harus belajar sejarah: bahkan pada zaman Orde Baru yang otoriter cum represif pun kampus adalah tempat sakral dan relatif bebas dari tekanan langsung aparat. Jika terus begini, "lama kelamaan kampus tidak akan memiliki kemewahan kebebasan akademik."
Sementara Komnas HAM meminta polisi bersikap lebih humanis dan persuasif dalam merespons aksi protes UU Cipta Kerja. Polisi perlu meminimalisasi pelanggaran HAM dalam situasi yang kian memanas.
"Mereka kan terlatih, terbiasa menghadapi unjuk rasa," ujar Wakil Ketua Internal Komnas HAM Munafrizal Manan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Penulis: Haris Prabowo & Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino