Menuju konten utama

Maraknya Kasus Politik Uang: Melibatkan Caleg hingga Kepala Desa

Potensi kasus politik uang telah tampak sebelum masa tenang. Saat masa tenang bahkan terjadi puluhan OTT politik uang di berbagai daerah di Indonesia.

Maraknya Kasus Politik Uang: Melibatkan Caleg hingga Kepala Desa
Petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kota Banda Aceh mengkampanyekan anti politik uang seusai apel siaga dan patroli pengawasan pemilihan umum 2019 di Banda Aceh, Aceh, Jumat (12//4/2019). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra.

tirto.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menggagalkan sejumlah ‘serangan fajar’ di berbagai daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT) saat masa tenang Pemilu 2019, terhitung sejak Minggu-Selasa (14-16/4/2019).

Menurut rilis Bawaslu, per Selasa (16/4/2019) pukul 17.00 WIB, setidaknya terdapat 25 kasus terkait politik uang pada 25 kabupaten/kota di 13 provinsi.

Rekap kasus dari berbagai daerah ini diperkirakan bertambah, karena temuan di lapangan terus berkembang hingga pencoblosan hari ini, Rabu (17/4/2019). Salah satu contoh kasus yang terjadi di Jawa Tengah.

Dalam rilis Bawaslu, jumlah OTT politik uang di Jateng tercatat baru 4 kasus. Namun, jumlah ini terus berkembang menjadi 7 kasus hingga Selasa malam. Artinya ada tiga kasus tambahan yang belum masuk dalam daftar 25 kasus yang dirilis Bawaslu sebelumnya.

Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu Jawa Tengah, Sri Wahyu Ana Ningsih mengatakan, total hingga laporan ini ditulis terdapat 7 kasus politik uang selama masa tenang. Di antaranya melibatkan seorang kepala desa hingga calon anggota legislatif.

"OTT politik uang ada di Banyumas, Boyolali, Kudus, Demak, Purworejo, Cilacap, dan Kota Tegal. Tim Bawaslu di daerah masing-masing mendalami temuan. Kami punya 14 hari untuk memprosesnya," kata Ana kepada reporter Tirto, Selasa (16/4/2019).

Rincian kasus yakni, di Banyumas terlapor warga diduga kader partai politik, terjadi di Desa Karangpucung, Kecamatan Purwokerto; di Boyolali, politik uang terjadi di Perumahan BSP Blok 1; di Kudus, melibatkan warga, terjadi di Dukuh Karangmalang, Mejobo; dan di Purworejo melibatkan seorang caleg DPRD setempat dari Partai Keadilan Sejahtera di Desa Winong Lor, Kecamatan Gebang.

Kemudian, di Cilacap terlapor masih diinvestigasi, terjadi di Desa Kuwungngaten; di Demak melibatkan kepala desa, di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak; dan di Kota Tegal terlapor caleg, bentuk politik uang membagi-bagikan batik kepada ibu-ibu dasawisma.

"Di Kudus, Purworejo, dan Kota Tegal telah digelar pembahasan tahap pertama oleh tim Gakkumdu (sentra penegakan hukum terpadu) setempat untuk dilengkapi syarat formil dan materiil," ujar dia.

Ana mengakui, kasus politik uang di Jawa Tengah dalam Pemilu 2019 tergolong tinggi. Hingga saat ini, Bawaslu Jateng telah merampungkan 7 kasus yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kerawanan kasus politik uang di Jateng ini diperkuat dengan OTT KPK terkait kasus korupsi distribusi pupuk yang menyeret Caleg DPR RI Dapil Jateng II (Demak, Kudus, dan Jepara) dari Partai Golkar, Bowo Sidik Pangarso beberapa waktu lalu.

Bowo diduga menerima suap dari kasus ini senilai Rp8 miliar dalam 400 ribu amplop diduga untuk 'serangan fajar'.

"Bisa jadi [penangkapan Bowo] menunjukkan potensi politik uang di Jateng tinggi. Saat ini saja ada 7 kasus pidana Pemilu 2019 yang sudah diputus pengadilan," kata Ana.

Menurut Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019, kata Ana, Jawa Tengah termasuk kategori sedang, tapi kasus politik uang tinggi. "Saya bilang waktu pembekalan agar kalau ada kasus dikerjakan secara profesional. Kalau tidak ada [kasus politik uang], jangan diada-adakan," imbuh dia.

Warganet Terdeteksi Bicarakan Politik Uang

Departemen Politik dan Pemerintah (DPP) Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Laboratorium Big Data Analytics dan PolGov Research Center memetakan potensi politik uang dalam Pemilu 2019 di Twitter yang melibatkan warganet.

Berdasar percakapan di Twitter, hasil analisis periode 2-12 April 2019 atau hingga lima hari sebelum masa pencoblosan, terdapat 7.647 percakapan terkait politik uang.

Namun, peneliti DPP UGM, Wawan Mas'udi mengatakan, tidak semua lokasi percakapan itu terdeteksi. Sebagian besar lokasinya berada di Pulau Jawa.

"Hanya 1.817 [percakapan] yang lokasinya terdeteksi dengan 'amplop' menjadi kata kunci sentral di antara kata-kata indikatif lainnya," kata dia, saat memaparkan hasil penelitiannya di UGM Yogyakarta, Senin (15/4/2019).

Puncak percakapan soal politik uang pada 11 April 2019 dengan 2.921 percakapan. Sedangkan pada hari-hari lain, terdapat kurang lebih 1.000 percakapan.

"Secara geografis, Jawa Barat menjadi daerah dengan densitas (kepadatan) percakapan tertinggi terkait politik uang dengan 433 percakapan yang banyak terjadi di Bandung, Bogor, dan Bekasi," ungkap Wawan.

Kemudian, DKI Jakarta dengan 358 percakapan dan Jawa Timur sebanyak 222 percakapan.

Ketiga wilayah ini jadi daerah dengan jumlah percakapan mengenai politik uang tertinggi, dibandingkan dengan daerah lain dengan total percakapan kurang dari 100.

Celah Politik Uang

Keterlibatan warganet sampai caleg dalam politik uang diakui oleh Komisioner Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo.

Ratna mengatakan, potensi politik uang terus ada, karena UU 7/2017 tentang Pemilu hanya mengatur larangan politik uang terbatas waktu dan objek.

Hal ini, kata dia, memungkinkan pelaku politik uang bisa terjadi asal tidak tim kampanye, peserta pemilu, atau pelaksana pemilu.

"Dalam UU 7/2017 [sanksi] politik uang bisa dilakukan ke siapa saja, tapi hanya dalam masa pemungutan dan penghitungan suara. Tapi dalam masa kampanye, selama [politik uang] tidak dilakukan peserta pemilu, tim kampanye, pelaksana kampanye masa unsur subjeknya tidak terpenuhi," kata Ratna, Selasa (6/11/2018).

Berdasarkan penelusuran Tirto, aturan soal politik uang di UU Pemilu terbagi ke dalam sejumlah pasal yakni Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523.

Dalam pasal ini, larangan politik uang dilakukan tim kampanye, peserta pemilu serta penyelenggara selama masa kampanye.

Beleid yang sama juga mengatur larangan semua orang melakukan politik uang di masa tenang dan pemungutan suara.

Sanksi yang menunggu pelanggar bervariatif. Hukuman mulai dari sanksi pidana 3-4 tahun hingga denda Rp36-48 juta.

"Nah di situ memang sebenarnya jadi celah, tapi kami berharap ini tak dimanfaatkan untuk melakukan proses pemilu yang tidak jujur. Apa pun itu kami terus maksimalkan fungsi-fungsi pengawasan," kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Politik
Reporter: Irwan Syambudi & Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz