tirto.id - Sosialisasi pembangunan Jalan Tol Jogja-Solo-Kulon Progo Seksi II di Maguwoharjo, Depok, Sleman, terus menuai kekecewaan warga. Warga Maguwoharjo, yang terdampak langsung maupun tidak langsung oleh proyek tol, menilai forum tersebut hanya sebagai formalitas belaka tanpa kejelasan yang diharapkan, salah satunya mengenai dampak lingkungan dan kompensasi.
Keresahan warga sudah muncul sejak awal proyek, terutama dari warga Padukuhan Ringinsari. Mereka merasa tidak dilibatkan secara maksimal dalam sosialisasi proyek tol yang akan memotong wilayah mereka. Bahkan, sejumlah warga di Dukuh Ringinsari hingga kini masih belum mendapat penjelasan mendetail mengenai rencana konstruksi tersebut.
Dimas Wijanarko, salah satu warga Ringinsari, menjelaskan bahwa selama ini informasi terkait pembongkaran bangunan warga yang terdampak proyek tol tidak pernah disosialisasikan secara terbuka.
“Yang diharapkan warga itu semuanya clear, baik yang terdampak langsung maupun tidak langsung. Legalitas hukumnya, antisipasi AMDAL-nya, kompensasinya—semuanya harus jelas. Pada prinsipnya warga mendukung, tapi semuanya ngambang, tidak ada kejelasan soal AMDAL, detail pekerjaan, dan sebagainya,” tegas Dimas.
Keresahan warga semakin memuncak ketika informasi simpang siur muncul terkait pembongkaran bangunan yang terkena proyek tol, yang disebut harus dilakukan maksimal dalam dua minggu pada akhir Agustus. Informasi ini disampaikan tanpa adanya sosialisasi resmi dari pihak pemrakarsa proyek. Indikasi cacat prosedur ini menjadi salah satu tuntutan warga untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Merespons kekhawatiran ini, warga Ringinsari pada Jumat, 6 September 2024, melayangkan surat resmi kepada Direktur PT Jogjasolo Marga Makmur (PT JMM), sebagai pemrakarsa tol, untuk meminta diadakannya konsultasi publik ulang. Dalam surat tersebut, warga menuntut agar konsultasi publik dilakukan secara transparan, menjelaskan rencana pembangunan jalan tol serta dampak yang akan ditimbulkan.
“Pokoknya dasarnya adalah AMDAL, dampak lingkungan terkait pembangunan konstruksi, pengosongan rumah, kompensasi, itu semua ada di AMDAL. Selama itu semua clear, kami semua warga tenang. Tapi sampai sekarang, kami belum menerima itu,” tambah Dimas.
Warga juga berharap, dalam konsultasi publik ulang, mereka dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan (SPT) yang nantinya dapat dimasukkan ke dalam dokumen AMDAL sebagai bentuk pelibatan masyarakat. Desakan ini muncul karena hingga kini warga merasa bahwa proses pelibatan mereka dalam proyek tol sangat minim dan terkesan hanya formalitas.
Pada sosialisasi yang digelar 11 September, pertanyaan tentang AMDAL menjadi salah satu topik yang ditanyakan warga. Namun, jawaban yang diberikan oleh pihak kontraktor dinilai tidak memadai.
Arvi Zulham, Deputy Project Manager PT Daya Mulia Turangga (DMT), menyampaikan bahwa urusan AMDAL bukanlah bagian dari sosialisasi tersebut. “Untuk AMDAL, alangkah baiknya yang punya kapasitas menjawab itu Jasa Marga. Kami melakukan sosialisasi ini terkait pekerjaan konstruksi, bukan sosialisasi lingkungan atau AMDAL. Kapasitas kami adalah menjawab bagaimana konstruksi pekerjaan dan dampaknya,” ujar Arvi.
Meski demikian, jawaban ini tidak menenangkan warga. Mereka merasa bahwa transparansi mengenai AMDAL dan dampak lingkungan seharusnya menjadi prioritas utama dalam sosialisasi. Dimas menambahkan, warga telah berusaha mandiri dalam memperbaiki jalan akses yang rusak akibat konstruksi.
“Kami enggak pernah mengeluh untuk masalah pembangunan karena itu untuk kami sendiri. Tapi ketika ini dirusak tanpa ada kejelasan hukum dan pengganti, ya kami berhak komplain,” kata dia.
Eko Candra, salah seorang warga Padukuhan Ringinsari, mengaku sudah lama menunggu penjelasan mendetail terkait dampak pembangunan tol ini. Eko menjelaskan, banyak warga yang belum mengetahui secara pasti bagaimana proyek ini akan mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.
Salah satu kekhawatiran utama adalah mengenai akses jalan di depan rumah yang akan hilang akibat pembangunan tol. Namun, setelah mengikuti sosialisasi, Eko merasa banyak pertanyaan yang diajukan warga tidak terjawab dengan baik. “Saya kecewa, enggak ada jawabannya. Pertanyaan saya tadi belum terjawab, bahkan dari notulen pun tidak terlihat adanya solusi,” keluh Eko usai acara sosialisasi.
Sementara dalam sosialisasi tersebut pun disampaikan oleh perwakilan pihak PT Jasa Marga, bahwa pembahasan mengenai AMDAL bukanlah kewajiban mereka untuk menyampaikannya. Mereka mengimbau pada warga apabila ingin mendapat dokumen tersebut untuk meminta kepada pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK).
Proyek pembangunan Tol Jogja-Solo-Kulon Progo Seksi II yang membentang sejauh 3,7 kilometer, melewati Kelurahan Purwomartani dan Maguwoharjo, diproyeksikan akan rampung dalam 24 bulan. Namun, hingga kini warga masih menuntut adanya kejelasan lebih lanjut mengenai dampak yang akan mereka hadapi, termasuk kompensasi dan pengelolaan lingkungan yang harus dijelaskan secara rinci sebelum proyek dimulai.
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Abdul Aziz