tirto.id - Rabu sore, 29 Maret 2023, trotoar jalan di belakang Masjid Kampus UGM hingga Jalan Lembah UGM penuh. Sekira pukul 15-an banyak pedagang mulai membuka lapak dan menawarkan dagangannya kepada pengunjung. Kebanyakan pengunjung merupakan anak muda. Mereka datang untuk ngabuburit di Pasar Ramadan Lembah UGM itu.
Pasar Ramadan ini adalah event yang kali pertama digelar di Jalan Lembah UGM setelah vakum sejak Covid-19 pertama kali menyebar di Indonesia pada Maret 2020. Dulu jalan yang mengular itu terkenal dengan Sunmor UGM, pasar kaget ikonik yang digelar setiap minggu pagi. Hanya saja, aktivitas Sunmor berhenti karena pandemi.
Sementara pasar kaget yang digelar bulan puasa kali ini hadir dengan wajah yang berbeda. Dulu lapak Sunmor UGM mengular dari ujung selatan Jalan Prof. Dr. Drs Notonegoro hingga ujung utara Jalan Lembah UGM. Tak hanya trotoar, para pedagang dan pengunjung juga memenuhi jalan raya.
Kini Pasar Ramadan tampak lebih lengang. Lapak hanya berdiri di trotoar sehingga jalan raya masih dapat diakses oleh kendaraan.
“Yang kita pastikan sekarang kelancaran lalu lintas, karena pasar kan biasanya identik dengan kemacetan. Jadi konsepnya beda sama Sunmor. Efektifnya pun juga cuma tiga jam kan, sore hari itu,” kata Bagas, Ketua Panitia Pasar Ramadaan Lembah UGM.
Menurut Bagas, pasar kaget kali ini diramaikan oleh berbagai elemen: warga sekitar padukuhan Karang Malang dan Kuningan, warga dari luar kota, hingga mahasiswa. Warga padukuhan diberi akses sewa lapak seharga Rp250.000, sementara yang lainnya menyewa lapak bernilai Rp500.000.
Tak hanya itu, Panitia Pasar Ramadan juga menyediakan jasa penitipan barang seharga Rp100.000 untuk pedagang yang hendak menitipkan barang berat seperti tenda, meja dan lain sebagainya.
Adanya Pasar Ramadan itu dirasa membantu banyak pedagang. Terutama, anak muda yang coba-coba berjualan untuk pertama kali. Salah satunya Nabil, pedagang pempek di Pasar Ramadan Lembah UGM.
Nabil baru saja menyelesaikan tugas akhir di UIN Sunan Kalijaga. Usai menyelesaikan tugas akhir dan mengerjakan revisi, ia memutar otak untuk mencari penghasilan dan menghidupi dirinya sendiri di Jogja.
Nabil lantas belajar membuat pempek secara otodidak. "Aku kan juga udah tahu rasa pempek yang asli, jadi aku coba-coba bikin pempek sampai akhirnya rasanya mirip sama yang di Palembang," ujar pria asli Palembang itu.
Selain itu, Nabil juga mencoba mensurvei bahan di Jogja. Ia mencari bahan dengan kualitas dan harga yang cocok dengannya. Semisal, ikan, ia dapatkan dari sebuah agen di bilangan Jetis, Bantul. Ia memilih berlangganan di tempat itu karena ikan yang dijual masih segar dan relatif lebih murah dibanding di daerah kota.
Nabil pun memutuskan berjualan sejak awal Maret lalu bersama kekasihnya. Pada mulanya, ia berjualan dengan sistem pre-order. Ia juga mengirim pempek frozen ke luar kota seperti Jakarta, Solo, dan Purwokerto. Meskipun terbilang baru berjualan pempek, pertumbuhan bisnis Nabil cukup pesat.
Kendati demikian, Nabil tetap merasa butuh lapak tetap untuk berjualan. Karena itu, ia memilih berjualan di event-event seperti Pasar Ramadan Lembah UGM.
Pasar itu dinilai strategis oleh Nabil. Pasalnya, jalan yang diapit kampus UGM dan UNY itu menjadi destinasi ngabuburit bagi banyak mahasiswa. Sebagai gambaran, ketika berjualan di Jalan Lembah UGM, Nabil bisa memborong ikan untuk dibikin pempek setiap empat hari sekali.
Maka dari itu, Nabil merasa harga sewa lapak dan jasa penitipan barang yang disediakan panitia Pasar Ramadan Lembah UGM cukup masuk akal. "Dengan harga sewa lapak sama titip barang yang segitu dibandingkan penjualan, ya lumayan untung lah," terang Nabil.
Nabil mengaku terbantu dengan adanya Pasar Ramadan di lembah UGM. Sejak hari ketiga puasa, Nabil berjualan setiap hari di sana. Lapaknya biasa buka sekira pukul tiga sore hingga waktu berbuka. Dengan waktu sesingkat itu, barang dagangannya bisa habis. Apalagi jika cuacanya cerah.
"Pernah sekali, waktu nggak hujan, jam setengah enam sudah habis. Itu juga masih ada sekitar sepuluh orang yang nanya-nanya, mau beli, tapi kubilang sudah habis. Padahal belum buka puasa, kan," terang Nabil.
"Kalau hujan kayak tadi [Rabu lalu], bisa aja buka lapak agak telat dan tetap untung," ujar Nabil.
Naufal juga merasa beruntung bisa mendapatkan peluang untuk menggelar lapak di Pasar Ramadan Lembah UGM. Ia bersama pacarnya, berjualan bakwan khas Pontianak yang diberi rebon sehingga rasanya lebih gurih. Bakwan tersebut dipadukan dengan sambal jeruk khas Pontianak yang membuatnya lebih segar.
"Kalau di Pontianak jeruknya beda sebenarnya. Udangnya yang gede, tapi karena di sini agak mahal jadinya rebon. Sambal jeruknya juga pakai limau, kalau di sana pakai jeruk yang kayak ada kerut-kerutnya. Adanya cuma di sana, tapi rasanya masih mirip sih," tutur Naufal.
Sama seperti Nabil, Naufal praktis berjualan setelah lulus kuliah pada 2021. Ia dulunya merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi di UMY. Ia sempat bekerja menjadi customer service. Namun, ia memilih keluar karena tak cocok dengan jam kerjanya.
Sejak itu, Naufal pun memilih berjualan dari event ke event. Selain itu, ia juga berjualan keripik yang dititipkan ke toko-toko. Sementara ini, menurut Naufal, hanya itu yang memungkinkan.
“Rencananya sih pengin nyewa ruko nanti, tapi karena belum cukup modal, jadinya manfaatin event kayak pasar Ramadan ini," terang Naufal.
Maka dari itu, Naufal juga berharap event seperti ini lebih digiatkan, semisal Sunmor UGM yang vakum selama pandemi. Ia berharap bisa berjualan di Lembah UGM di acara yang lain sebab lokasi tersebut dinilai strategis dibanding tempat lain. Selain ramai, tata letak pedagang di Lembah UGM menurutnya lebih rapih ketimbang tempat lain.
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz