tirto.id - Yogyakarta merupakan kota dengan sejarah yang panjang. Kerajaan Mataram Islam menjadi salah satu pilar sejarah yang masih memiliki pengaruh hingga masa kini. Dua simpul utama dari kehidupan religius di masa lalu melahirkan sajian khas yang terhidang dalam kuliner yang bertahan sampai sekarang. Salah satu jejaknya bisa ditengok di Kauman.
Kauman berada tidak jauh dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kampung Kauman letaknya di seputar wilayah Masjid Gede di sebelah barat keraton. Disebut Kauman karena menjadi tempat tinggal para abdi dalem “kaum” yang mengurusi kehidupan agama di pemerintahan keraton dulu. Sampai pada satu masa, di kampung ini pula lahir Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah yang mewarnai Kauman sampai sekarang.
Cerita lain dari Kauman ini tersaji dalam kuliner cita rasa masa lalu yang tak lekang waktu. Ada satu kudapan yang dikenal dan dituturkan dari generasi ke generasi, tapi hanya bisa ditemui saat bulan Ramadan. Namanya adalah kicak. Makanan ini biasanya dijadikan takjil. Jika kamu pergi ke Masjid Gede Kauman, kamu pasti akan melihat aneka ragam santapan takjil yang ditawarkan. Namun rasanya belum lengkap jika belum mengudap kicak.
Kicak diyakini lahir di sekitar tahun 1970-an. Saat itu konon kicak dibuat dan dijajakan oleh Mbah Wono di rumahnya sebagai takjil. Kini lorong di antara rumah-rumah di gang Kauman itu dipakai sebagai pasar sore setiap Ramadhan tiba. Kicak yang sekarang dibanderol dari harga Rp3 ribu sampai Rp5 ribu itu menjadi makanan yang paling diburu di antara lorong-lorong jalan di gang sempit itu.
Kicak terbuat dari ketan yang ditumbuk halus sebagaimana jadah. Cara masaknya relatif sederhana: campur beras ketan yang telah dibersihkan dengan kelapa parut, lalu diaduk sampai rata. Setelah itu, adonan dikukus selama setengah jam. Masukkan adonan ke dalam air yang telah mendidih (bisa dibubuhi garam sedikit), dan kukus kembali dalam waktu yang sama. Jika sudah, angkat adonan dan tumbuk hingga halus, lalu diamkan. Kemudian baru taburi parutan kelapa, gula, potongan buah nangka, dan potongan daun pandan untuk menambah wangi aromanya.
Kicak selalu dihidangkan dengan kuah. Cara membuat kuahnya cukup praktis. Hanya perlu mendidihkan santan kental lalu ditaburi gula merah dan diaduk sampai benar-benar larut dan menyatu. Lalu masukkan nangka jika santan dan gulanya sudah mendidih.
Terakhir sajikan kicak dengan memotong buah nangka lalu tuangkan kuah di atasnya. Biasanya kicak disajikan dengan alas daun pisang. Lebih terasa alami dan asli masa lalu. Tekstur kicak ini manis, gurih, dan legit. Banyak di antara mereka yang berburu kicak karena perpaduan rasanya yang sungguh sangat ciamik ini.
Sejurus kita bergeser beberapa kilometer ke arah selatan dari Kauman. Kamu akan bertemu dengan Kotagede. Sebuah kota lama, ibu kota Mataram Islam di zaman Panembahan Senopati, sang raja, dan pusat kerajinan perak itu juga punya sajian khas. Sebagai kota maju pada zamannya, Kotagede menyimpan banyak kuliner khas yang berasal dari masa lalu, seperti kembangwaru dan yangko. Juga ada jajanan pasar yang juga menarik dan memikat banyak orang untuk memburunya hingga kini. Jajanan itu bernama kipo.
Kipo ini unik. Ihwal awalnya ketika tangan terampil Mbah Mangun Irono mengolah beras ketan menjadi makanan kecil. Bentuknya kecil memanjang, berwarna hijau muda karena pengaruh daun pandan, dan agak kehitaman karena proses goreng sangan (digoreng di kuali/ wajan tanah liat tanpa minyak). Lalu dagangan itu dijajakan di Kotagede, di rumahnya. Hanya saja, masalah timbul karena Mbah Mangun Irono sama sekali tidak tahu apa nama makanan yang dibuatnya sendiri itu. Jadilah makanan itu tanpa nama meskipun seantero Kotagede sudah akrab dengannya.
Waktu itu Kotagede adalah pusat interaksi banyak orang dari berbagai kota. Terutama orang Yogyakarta dan Solo. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang yang berjualan di Pasar Legi Kotagede. Sewaktu mereka kongkow di tengah sibuknya berjualan ada yang membawa jajan pasar itu. Kebanyakan dari mereka juga sama sekali tidak tahu nama makanan itu. Yang mereka tahu hanya makanan itu enak dan lezat saja. Dengan raut muka keheranan, mereka saling bertanya: iki opo? (ini apa).
Nah, karena yang ditanya juga belum tahu, pertanyaan itu lalu hanya dijawab sekenanya saja: kipo, sebuah akronim dari iki opo. Jadilah nama untuk menamai jenis makanan itu.
Sejak tahun 1946, setelah Mbah Mangun Irono tutup usia, usaha ini diwariskan ke anaknya: Bu Paijem Djito Suhardjo. Pada generasi kedua ini kipo mulai memasyarakat terutama saat Dinas Pariwisata Yogyakarta dan PHRI Yogyakarta pada tahun 1986 mengadakan pameran dan lomba makanan berbahan dasar tepung ketan.
Sepeninggal Bu Djito pada tahun 1991, usaha ini diwariskan ke puterinya Istri Rahayu. Ibu 3 orang putera buah perkawinannya dengan Shodiqun ini lalu mengembangkan kios yang berada di Jalan Mondorakan No. 27 Kotagede sebagai rumah produksi kipo. Sekalipun berasal dari warisan keluarga, toh hasil karya Mbah Mangun Irono itu kini juga telah banyak diwarisi oleh masyarakat Kotagede. Bu Istri menjelaskan, kipo ini bukan hanya milik keluarganya.
“Silakan bagi siapa yang mau membuatnya,” terangnya.
Kelezatan kipo terukur dari citarasa khas bahan-bahan tradisional yang terdiri dari tepung beras ketan, kelapa muda, dan gula jawa. Kekhasan lainnya adalah warna hijau muda yang didapat dari sari pipisan daun pandan suji. Sebungkus terdiri dari 5-10 biji kipo tergantung dari kemauan pemesan. Tidak ada tambahan bahan kimia, sehingga halal dan aman untuk dikonsumsi.
Selama bulan Ramadhan kipo selalu menjadi hidangan pembuka favorit. Saat lebaran dan acara resepsi pernikahan kipo menjadi makanan kecil pemanis hidangan. Hanya saja, tidak disarankan sebagai oleh-oleh atau buah tangan dengan perjalanan yang menempuh sampai berjam-jam karena tidak tahan lama barang sehari pun.
Editor: Nuran Wibisono