tirto.id - Ruang rawat itu terasa menyesakkan dada Reza, seorang karyawan swasta asal Jakarta Selatan, yang terkejut mendengar diagnosis dokter terhadap ibunya. Reza tengah menceritakan pengalaman memeriksakan kondisi ibunya di salah satu rumah sakit swasta di ibu kota.
Waktu itu tahun 2016, ibunya tiba-tiba mengeluh sakit perut hebat hingga tak mampu berjalan. Diagnosis dokter di rumah sakit tersebut keluar tak seperti perkiraanya, ibunya disebut berpotensi mengalami kanker hati dan gagal ginjal.
“Aneh karena tiba-tiba diagnosisnya seperti itu, dan tidak ada penjelasan rinci malah disuruh buru-buru ditindak operasi saat itu juga,” ujar Reza kepada reporter Tirto, Selasa (4/4/2023).
Tak main-main, Reza mengatakan, saat itu pihak rumah sakit langsung menyodorkan estimasi biaya untuk tindakan operasi ibunya yang mencapai Rp300 juta.
Namun Reza ragu, karena penanganan pertama di rumah sakit tersebut dinilainya malah membuat kondisi ibunya semakin parah. “Ibu ada alergi obat, tapi di sana diinjeksi obat terus sampai mukanya bengkak-bengkak,” tutur Reza.
Karena saran kerabat, Reza memutuskan membawa ibunya terbang ke Malaysia untuk mencari solusi pengobatan keesokan harinya. Di Malaysia, ia membawa ibunya ke sebuah rumah sakit di daerah Malaka.
“Ajaibnya di sana ibu nggak bengkak-bengkak pas penanganan, kayak dipikirkan soal alergi pasien,” kata Reza.
Hasil pemeriksaan dokter di Malaysia, Reza menyatakan, justru mendiagnosis bahwa ibunya terkena cholelithiasis atau batu empedu. “Akhirnya hanya butuh operasi laparoskopi, dan beres cuma kayak sayatan kecil di perutnya. Besoknya udah bisa jalan lagi ibu,” jelas Reza.
Hal yang membuatnya makin tertegun, pihak rumah sakit hanya menyodorkan tagihan sebesar Rp64 juta dan itu sudah termasuk biaya akomodasi, penginapan dan penanganan pasien.
Kisah hampir sama dituturkan Vanessa. Ia mengatakan penanganan rumah sakit di Singapura lebih menenangkan hatinya dibanding ketika menjalani perawatan di Indonesia. Wanita yang mengeluhkan kondisi fistula kompleks ini merasa dokter di Singapura lebih teliti dan menenangkan saat menghadapi kondisi yang diidapnya sejak 2022.
“Kondisi aku bisa dibilang sudah yang kompleks gitu, nah di sana mereka udah pernah nanganin yang lebih parah dari ini. Bahkan mereka nggak langsung main tindakan, tapi minta waktu buat observasi kondisi aku,” kata Vanessa kepada reporter Tirto, Rabu (5/4/2023).
Vanessa bercerita, sudah mencoba memeriksakan kondisinya di sebuah rumah sakit swasta di Indonesia. Namun, dokter di Indonesia mengaku belum pernah menangani kondisi yang diidapnya. Hal ini mendorong Vanessa memilih opsi pengobatan di Singapura.
“Dan di sini (Indonesia) antre untuk menemui dokter spesialis tuh lama, tapi di Singapura, daftar langsung ketemu,” sambung Vanessa.
Karena telah percaya dengan penanganan rumah sakit di Singapura, Vanessa memilih akan terus melanjutkan pengobatannya yang masih berjalan di negeri tetangga tersebut.
Maraknya warga Indonesia yang memilih terbang ke luar negeri untuk berobat, belakangan kembali menjadi perbincangan. Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Rumah Sakit Mayapada Bandung awal Maret lalu menyatakan, hampir dua juta masyarakat Indonesia berobat ke luar negeri tiap tahunnya.
Hal ini disebutnya membuat Rp165 triliun devisa negara kecolongan karena adanya pergerakan modal keluar (capital outflow).
Penyebab Terbang Ke Negeri Seberang
Wakil Ketua Umum III Pengurus Pusat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Koesmedi Priharto mengatakan, ada beberapa faktor internal layanan kesehatan di Indonesia yang membuat pasien memilih berobat ke luar negeri.
Koesmedi mengatakan, tidak bisa dipungkiri, pelayanan di dalam negeri sangat tergantung pada keberadaan fasilitas dan teknologi kesehatan yang mumpuni.
“Sayangnya, di Indonesia hanya sedikit rumah sakit yang memiliki hal tersebut, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia maka rasionya sangat kecil sekali,” kata Koesmedi kepada reporter Tirto.
Namun ia menilai, ada faktor eksternal dari pasien itu sendiri yang memiliki hak memilih pelayanan kesehatan yang mereka percayai, salah satunya memilih berobat ke luar negeri.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menjelaskan, dalam sebuah jurnal medis yang diterbitkan di Malaysia, hanya masyarakat Indonesia dari kalangan tertentu saja yang biasa memilih berobat di negeri jiran tersebut.
“Ada bagian kelompok elite dan pendapatan stabil di atas rata-rata, jadi segmentasi yang memang dari sisi pendapatan di atas rata-rata,” ujar Adib dalam keterangan suara yang diterima reporter Tirto.
Adib tak menampik bahwa masalah layanan kesehatan dalam negeri seperti biaya berobat yang mahal dan antre pelayanan yang panjang, juga menjadi faktor pendorong sebagian masyarakat memilih berobat ke negara tetangga.
Menurut Adib, biaya pengobatan yang mahal di Indonesia dikarenakan oleh pajak alat kesehatan atau obat yang belum diatur untuk dapat bersaing. Di Malaysia, Adib mencontohkan, ada pajak insentif dari negara bagi rumah sakit yang melakukan pembangunan dan pembelian alat kesehatan.
“Ini mengapa menurut saya di sana lebih murah,” ujar Adib.
Namun Adib mengklaim, untuk masalah kompetensi, dokter di Indonesia sudah mampu bersaing dengan dokter di luar negeri. Ia menilai sudah banyak upaya memotong gap kesetaraan kompetensi di level internasional. “Saya berani jamin, kita tak kalah urusan kompetensi,” tutur Adib.
Wisata Medis Dalam Negeri Jadi Solusi?
Salah satu upaya pemerintah untuk membenahi masalah ini adalah membangun kawasan khusus industri kesehatan di Indonesia agar menarik kembali masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri. Misalnya pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sanur, yang dibangun oleh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Adib menilai, pembangunan KEK yang ditujukan untuk wisata medis, perlu ada pengaturan serius apakah ini hanya berfokus pada mereka yang sering berobat ke luar negeri, atau bisa juga dinikmati masyarakat umum yang notabenenya adalah masyarakat menengah ke bawah.
“Jika bisa melayani (masyarakat) jaminan sosial bisa juga untuk mengurangi kesenjangan kesehatan untuk kalangan masyarakat,” lanjut Adib.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyatakan, pembangunan KEK harus diikuti dengan sumber daya manusia kesehatan yang humanis.
Ia mengatakan, jika SDM tidak dibenahi, maka adanya KEK tidak akan memberikan pengaruh signifikan dalam menarik masyarakat Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri.
“Dari perilaku SDM tidak bisa disulap sekali jadi kan? Saya takut itu tidak menyembuhkan minat pasien Indonesia ke luar negeri,” kata Tulus dihubungi reporter Tirto, Rabu (5/4/2023).
Menurut dia, perlu ada pembenahan integratif dan saling bersinergis, dalam menyiapkan SDM kesehatan agar KEK wisata medis bisa tepat sasaran.
Menaruh Harap pada Omnibus Law Kesehatan
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menyatakan, nantinya KEK wisata medis bisa memberdayakan tenaga kesehatan dalam negeri. Selain itu, akan diatur regulasi yang akan membuat dokter luar negeri dan dokter lulusan luar negeri bisa bekerja di KEK dengan syarat memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan.
“Melalui inovasi ini, kita akan mendatangkan wisatawan bukan hanya untuk pariwisata, tetapi juga mendapatkan layanan pengobatan termasuk juga wellness,” kata Nadia melalui pesan singkat kepada reporter Tirto.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril mengklaim bahwa berbagai masalah kesehatan di Indonesia termasuk faktor-faktor yang menyebabkan pasien kita memilih berobat ke luar negeri, akan dapat diselesaikan dengan transformasi kesehatan yang dibawa oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
“Misal, antrean mungkin karena kekurangan dokter spesialis, itu kita siapkan beasiswa pendidikan dan regulasi legalnya agar mereka bisa terpenuhi. Jika sudah dikasih beasiswa, kita atur distribusinya agar bisa tersebar,” kata Syahril dihubungi reporter Tirto, Rabu (5/4/2023).
Syahril mengakui bahwa terkait beberapa jenis obat-obatan di Indonesia yang mahal, disebabkan masih banyaknya mengimpor bahan baku dari luar negeri.
“Nanti untuk obat-obatan ini, kita dorong BUMN bisa menghasilkan sendiri di dalam negeri. Termasuk alat kesehatan ya, walaupun ini butuh waktu karena kan tidak mudah,” sambung Syahril.
Ia juga menekankan bahwa RUU Kesehatan akan mendorong pemenuhan kebutuhan obat-obatan dan alat kesehatan dari sektor swasta. “Swasta didukung untuk memenuhi juga, karena kan lebih banyak lebih baik,” kata Syahril.
RUU Kesehatan yang digodok dengan metode omnibus law ini, akan mencabut sembilan undang-undang sebelumnya dan mengubah empat undang-undang. Hal ini disebut untuk mempertimbangkan aspek penyederhanaan dan mencegah tumpang tindih aturan.
Saat ini, RUU Kesehatan sendiri tengah dalam masa public hearing dan pengumpulan daftar inventarisasi masalah (DIM).
Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay percaya bahwa RUU Kesehatan jika dijalankan sesuai dengan tujuannya, akan membereskan masalah kesehatan dalam negeri, termasuk masalah masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri.
“Kan, di sana nanti banyak transformasi di bidang kesehatan. Ada enam transformasi pertama primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan, SDM tenaga kesehatan dan teknologi kesehatan,” ujar Saleh dihubungi reporter Tirto.
Saleh mencontohkan transformasi layanan primer dan rujukan, ini akan dimaksudkan untuk memenuhi ketersediaan dan pelayanan dengan upaya pencegahan promotif dan preventif. Jika usaha ini berjalan, menurut Saleh biaya untuk alokasi penanganan penyakit bisa diarahkan untuk pemenuhan alat kesehatan.
“Misal tadi orang pengen lebih cepat kan ingin teknologi, nanti kalau sudah ada kan di sini lebih bagus,” ujar Saleh.
Selain itu, transformasi dalam pembiayaan diklaim Saleh akan menghasilkan pengobatan yang lebih murah. “SDM juga misalnya, kalau dokter cukup nggak perlu ke luar negeri kan,” sambung Saleh.
Terkait pembangunan KEK wisata medis yang ditujukan untuk menarik wisatawan lokal dan mancanegara, kata Saleh, tetap perlu memprioritaskan pelayanan kesehatan pada masyarakat dalam negeri dulu.
“Inovasi itu boleh saja, bisa jadi juga pariwisata tapi harus diutamakan masyarakat kita dulu,” tutup Saleh.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz