tirto.id - Di suatu akhir pekan, kami sekeluarga mendatangi supermarket Lulu di kawasan Depok, Jawa Barat. Agendanya, belanja bulanan. Di pintu masuk mata saya terbelalak, ada sajian nasi biryani dan beberapa makanan ringan a la India.
Melihat reaksi saya, suami lantas berbisik, Lulu memang punya orang India. Jadi wajar kalau dagangannya khas sana. “Mungkin di dalam kita tidak akan menemukan daging sapi,” imbuh suami saya menduga.
Pengalamannya tinggal di India nyaris selama 5 tahun membuatnya hafal beberapa hal. Salah satunya adalah sulitnya menemukan daging sapi. Tak ada satupun supermarket yang menjualnya. Kalaupun ada di tempat lain, tak mudah menemukannya. Sepertinya mereka agak sembunyi-sembunyi jualnya.
Ini karena sapi dianggap suci dalam agama Hindu, agama mayoritas warga India. Di berbagai sudut jalan, bahkan di kota-kota modern yang sangat padat kendaraan, sapi berkeliaran dengan santainya. Kalau dia hendak menyebrang, maka semua kendaraan harus berhenti, menunggu.
Jika ada yang berani meneriaki, mengusir, bahkan menyenggol atau sampai mengasarinya, dijamin bakal dihakimi massa. Apalagi kalau sampai ada yang terang-terangan memotongnya sebagai daging konsumsi. Di Haryana, India Utara misalnya, ada aturan tertulis bahwa penyembelihan dan penjualan daging sapi bakal dikenakan hukuman baik denda maupun penjara selama 3 hingga 10 tahun.
Wajar jika kemudian warga pendatang kesulitan menemukan restoran yang menyajikan menu daging sapi. Suami bilang, kalau sedang ingin makan daging sapi ia biasanya mendatangi restoran masakan Islam atau Nepal.
Untuk sehari-hari, pilihan lauknya ya daging kerbau, kambing, babi, atau ayam. Cara pengolahannya nyaris seragam: kari. Sebenarnya banyak juga teknik lain, tapi tetap saja hasil rasa masakannya sangat berempah. Rasa dan aromanya menyengat kuat, khas India. Ayam di gerai cepat saji McDonals maupun pizza dari Pizza Hut saja rasanya pedas berempah.
Indonesia yang katanya kaya akan rempah, kalah telak. Penggunaan rempah di Indonesia bisa dianggap ringan. Bagi saya yang bukan penggemar masakan dengan rempah berlimpah, cukup tersiksa rasanya selama tiga minggu menemani suami di sana. Saya lebih sering memasak sendiri atau memesan makanan dari restoran Cina.
Hanya satu kali saya menyantap hidangan khas lokal: nasi biryani. Ini terjadi ketika kami diundang dalam sebuah jamuan makan malam oleh keluarga Ambarish, warga lokal yang menyewakan mobilnya dan menyupiri suami selama bertugas di sana.
Nasi Berempah dengan Pugasan Bawang Merah
Suatu sore sebelum kami kembali ke Indonesia, mendadak Ambarish mengajak kami ke rumahnya, di sebuah desa yang berjarak sekitar 30 menit perjalanan dari apartemen tempat kami tinggal di Electronics City, Bangalore. Rupanya hari itu ada perayaan kecil ulang tahun keponakan Ambarish.
Saya terkesan dengan sambutan hangat serta rumahnya yang bersih dan rapi. Terutama, di bagian dapur yang dilengkapi berbagai peralatan memasak berbahan alumunium.
Maka dengan senang hati saya mengikuti seluruh keluarga berpindah dari ruang tamu menuju sebuah ruangan besar yang lapang. Tak ada meja kursi, kami duduk lesehan di lantai bercat hijau yang bersih. Beberapa perempuan langsung bersiap.
Satu orang membagikan sebuah piring lebar yang terbuat dari kertas dengan permukaan licin berwarna hijau bermotif tulang daun. Masing-masing dihias mentimun dan bawang merah besar, sebesar bawang bombai yang dipotong tipis membulat. Bawang merah besar ini memang jamak menjadi lalapan atau toping aneka makanan di India.
Satu perempuan lain kemudian menyusul dengan satu panci besar nasi biryani, dibagikannya ke dalam piring-piring di hadapan setiap orang. Para lelaki mendapat beberapa sendok nasi yang menjadi porsi besar, saya diberi setengahnya. Bulir nasinya panjang-panjang, warnanya kuning kecoklatan dengan tebaran titik hitam, sangat berbumbu.
Sabagai alternatif untuk anak-anak atau warga luar yang mungkin kurang suka biryani yang cenderung pedas, dibagikan juga nasi putih. Bukan nasi putih biasa, tapi berbumbu juga walau lebih ringan. Mirip nasi uduk di Indonesia.
Perempuan pertama kemudian berputar lagi, membagikan sebuah mangkok-mangkok alumunium kecil berisi ayam berkuah kari. Warna karinya bukan kuning menyala, melainkan putih keruh agak coklat kekuningan dan sangat kental. Sebagian langsung menyiramkannya ke dalam nasi. Saya tak berani.
Kenapa? Karena nasinya saja sudah bercita rasa sangat kuat. Ada perpaduan antara gurih, pedas, asin, dan berempah.
Sebuah referensi menuliskan bumbu untuk nasi biryani antara lain ketumbar, cengkeh, bawang bombay, jahe, daun mint, salam koja, safron, serta garam masala. Bukan garam biasa, garam masala adalah campuran cengkih, kapulaga, kayu manis, daun cassia, salam koja, fuli, dan biji pala. Terbayang kan, perpaduan rempah ini menghasilkan rasa dan aroma seperti apa?
Maka saya tak bisa membayangkan jika nasi yang sudah sangat berempah itu dicampur dengan kari yang juga sangat kuat rasanya.
Buat yang menggemarinya tentu sangat lahap. Untuk saya yang lebih menyukai makanan bercita rasa ringan, sangat kewalahan. Tapi tetap saya makan, karena kapan lagi bisa makan masakan rumahan India seperti ini, bukan?
Apabila ditanya, saya lebih bisa menikmati dosa yang dibagikan belakangan, di ujung sesi makan malam. Dosa sendiri adalah makanan semacam roti cane, berupa adonan tepung yang dipanggang tipis setengah kering. Umumnya dimakan dengan cara dicelupkan ke dalam kuah kari. Bisa juga dinikmati begitu saja. Saya memilih menyocolkannya sedikit saja ke dalam kuah kari.
Rasanya? Jika dimakan begitu saja cenderung tawar meski ada sedikit gurih dari sedikit garam yang dicampurkan dalam adonan. Saat dicelup ke dalam kari, dosa menjadi lembek dengan rasa gurih berempah.
Bahan utama nasi biryani adalah beras basmati. Di India beras ini pula yang menjadi konsumsi sehari-hari warga setempat. Basmati tersedia di mana-mana, seperti beras rojo lele atau mentik di Indonesia.
Dimasak apapun, dengan air sebanyak apapun, beras basmati menghasilkan nasi “pera”, butirannya yang panjang-panjang “ambyar”. Kalau di Indonesia, orang bilang beras seperti ini cocok untuk nasi goreng.
Sebenarnya ada beras pendek-pendek seperti di Indonesia, tapi tak banyak. Saya pernah mencoba memasaknya. Hasilnya? Sama-sama pera, bahkan tanpa rasa. Padahal sepertinya saya sudah memilih yang harganya tertinggi.
Mungkin itulah mengapa kita jarang menemukan nasi putih di India. Di berbagai restoran, jika kita minta nasi, yang diberikan adalah nasi berbumbu. Entah sekuat nasi biryani atau dibuat lebih ringan.
Belakangan, ketika mertua rutin membeli beras basmati sebagai konsumsi sehari-hari, saya baru tahu bahwa ambyar atau tidak lengketnya nasi dari beras basmati membuktikan bahwa kandungan gulanya sangat rendah.
Beberapa artikel kesehatan mengulas, beras ini sangat cocok bagi para penderita diabetes. Pun bagi yang masih sehat, nasi dari beras basmati sangat baik karena mengandung berbagai nutrisi. Dari folat, zat besi, zinc, magnesium, selenium, hingga vitamin B1 dan B6.
Jika dikonsumsi secara rutin, selain meminimalisir risiko diabetes, juga bermanfaat untuk kesehatan pencernaan, jantung hingga otak. Jadi berpikir pindah jalur ke nasi basmati, nih…
Editor: Nuran Wibisono