tirto.id - Perkembangan media sosial menjadi kekhawatiran baru bagi KPU untuk mengevaluasi peraturan mengenai kampanye. Hal ini sebagai tanggapan atas maraknya hoaks yang tersebar melalui kanal media sosial. Terlebih hoaks tersebut disebarkan oleh akun anonim atau buzzer yang sulit terdeteksi.
Sebagai tindak lanjut, Anggota KPU RI, August Mellaz mengatakan, pihaknya bakal mengkaji ulang tentang peraturan kampanye menjelang Pemilu 2024. Hingga saat ini KPU sudah memiliki landasan hukum yaitu Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Mellaz berkaca pada Pemilu 2019, pelaksanaan kampanye sebagiannya sudah diakomodasi dalam PKPU Nomor 23/2018 dan 33/2018 tentang Kampanye. Menurutnya aturan tersebut sudah baik dan tidak perlu diganti. Namun hanya perlu direvisi menyesuaikan dengan kondisi kampanye terkini.
“Untuk Peraturan KPU tentang Kampanye di 2024 mendatang kemungkinan tidak akan diganti baru, tetapi bahwa rencananya dilakukan sejumlah revisi," kata August dalam diskusi bertajuk ‘Urgensi Pengaturan Kampanye di Media Sosial dan Literasi Digital pada Pemilu 2024’ di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Kamis (13/4/2023).
Adapun kajian yang akan dilakukan perihal definisi dan batasan kampanye. Terutama kampanye di ruang media sosial, yang tak memiliki sekat ruang dan waktu. Nantinya, konteks media sosial sebagai ruang kampanye juga akan dikaji lebih lanjut tanpa harus mengubah definisi kampanye yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kita coba misalnya karena ini terkait dengan PKPU kampanye, maka kampanye dengan berbagai metode dan kanal itu kemudian bagaimana, iklan kampanye di medsos, itu yang kemudian perlu didefinisikan tersendiri," terangnya.
Perihal revisi, August Mellaz menyebut seluruh komisioner KPU sudah sepakat dan satu suara untuk merevisi aturan kampanye di media sosial. Dia berjanji akan menyampaikan seluruh pihak terkait hasil revisi tersebut.
"Termasuk definisi tentang medsos. Ini yang kemudian kita coba susun. Tentu hasil yang kami susun akan dikomunikasikan dengan banyak pihak," jelasnya.
Selain revisi aturan kampanye PKPU yang dilakukan oleh KPU, Bawaslu juga akan melakukan sejumlah antisipasi atas berbagai mudarat kampanye di media sosial.
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, cara mengantisipasi bahaya pelanggaran media sosial adalah dengan membangun gugus tugas pengawasan media sosial dan berkolaborasi dengan berbagai pihak agar bisa mengawasi potensi pelanggaran kampanye secara efektif.
"Bawaslu sudah membuat gugus tugas untuk media sosial dan menjalin kerja sama kolaborasi dengan berbagai pihak, namun pada prakteknya masih ada upaya pelanggaran dengan berbagai cara nantinya,” kata dia.
Menambal Kelemahan Regulasi Kampanye Media Sosial di Indonesia
Tahapan kampanye belum dimulai, tapi tensi percakapan soal politik dan pilihan calon mulai memanas. Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar menyebut, penyelenggara pemilu di Indonesia masih belum serius mengurusi kampanye di media sosial.
Ada beberapa faktor yang membuat kampanye media sosial lemah dari pengawasan. Antara lain, kampanye politik di media sosial masih belum diatur secara spesifik dan jelas. Kedua, pengaturan yang ada memiliki ketidaksinkronan antara KPU dan Bawaslu. Ketiga, bentuk dan mekanisme pemberian sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di media sosial yang masih belum memadai.
Selain itu, terdapat perbedaan penafsiran antara KPU dan Bawaslu terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada aspek sumber daya, terdapat dua tantangan yaitu faktor kewenangan, khususnya dalam memberikan sanksi administratif bagi peserta pemilu yang belum memberikan efek jera bagi peserta yang melanggar larangan pemilu.
“Faktor lain adalah masih minimnya jumlah sumber daya manusia yang terampil dan minimnya sarana prasarana yang dapat menunjang pengawasan kampanye di media sosial,” kata Adinda.
Sebagai bentuk solusi, Adinda memberi sejumlah rekomendasi agar dilaksanakan oleh para penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
Menurut dia, KPU dan Bawaslu perlu membuat peraturan teknis untuk pemilu dan pilkada yang secara spesifik mengatur kampanye politik di media sosial dan menyelaraskan peraturan-peraturan yang telah ada.
“Bawaslu perlu memperkuat penegakan sanksi administratif atas pelanggaran kampanye politik di media sosial, mengumumkan kepada publik secara berkala tentang kasus pelanggaran kampanye di media sosial dan mengeluarkan peringatan kepada peserta yang melanggar peraturan kampanye," terangnya.
Dia berharap publikasi pelanggaran dan sanksi dapat berdampak pada pemberian efek jera bagi peserta pemilu yang melakukan pelanggaran, karena sanksi ini akan mempengaruhi preferensi pemilih pada pemilu.
“KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan sosialisasi mengenai aturan mengenai kampanye politik di media sosial kepada para peserta pemilu agar dapat dipatuhi dengan baik," jelasnya.
Sebelum aturan itu diimplementasikan di lapangan, KPU dan Bawaslu perlu melakukan sinkronisasi aturan satu sama lain. KPU dan Bawaslu perlu menyamakan persepsi mengenai definisi kampanye, definisi media sosial, materi kampanye, metode kampanye, larangan kampanye, iklan kampanye, serta sanksi pelanggaran kampanye di media sosial.
"Kesamaan pandangan ini diharapkan memberikan kepastian dalam penegakan hukum seperti yang diatur pada PKPU dan Perbawaslu," ungkapnya.
Di akhir, Adinda berharap KPU dan Bawaslu bekerjasama dengan instansi pemerintah lainnya. Salah satu lembaga yang perlu diajak kerja sama secara serius adalah Kemenkominfo bersama masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya.
"KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan kolaborasi dengan masyarakat sipil, PSE media sosial, dan para pemangku kepentingan lainnya, untuk mensosialisasikan peraturan tentang kampanye politik di media sosial kepada masyarakat," ujarnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menambahkan, penyelenggara pemilu harus melakukan edukasi secara masif kepada masyarakat. Seperti moderasi konten bagi masyarakat sipil, sehingga bisa mengawasi konten kampanye secara bersama.
“Merancang algoritma yang bisa menemukan konten disinformasi dan harmful dengan cepat, terutama yang sudah dilakukan debunk oleh Cek Fakta dan mengekspos konten-konten edukasi pemilu dan politik kepada user mereka," kata Titi Anggraini.
Titi juga mendorong KPU dan Bawaslu untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam pengawasan kampanye media sosial demi mengawasi peredaran hoaks dan ujaran kebencian. Meski demikian, pendekatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu harus secara persuasif dan efek pidana dilakukan seminimalis mungkin.
“Tidak cukup hanya mengandalkan UU Pemilu. Perlu juga ditopang oleh aturan hukum umum lainnya yang sudah tersedia. Misal KUHP dan UU ITE serta UU PDP. Hanya saja itu adalah ultimum remedium, upaya hukum untuk memberikan efek jera terakhir yang harus dilakukan secara terbuka, transparan, akuntabel, dan berkeadilan," tegasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz