tirto.id - Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI membantah kewenangan baru Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas di wilayah siber untuk mematai-matai sipil dan mengancam kebebasan berekspresi di dunia maya.
Karo Infohan Setjen Kemhan, Brigjen TNI Frega Wenas, menjamin bahwa penambahan tugas TNI di bidang siber lebih pada upaya penegakan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
"Siber telah menjadi sebuah domain penting dalam operasi militer. Di lingkungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, Siber menjadi sebuah korps tersendiri sejak tahun 2014," kata Frega dalam keterangannya, Kamis (27/3/2025).
"Bahkan, doktrin multi-domain operations dan multi-domain battle yang berkembang sejak tahun 2017 telah mengintegrasikan siber bersama ruang angkasa dengan darat, maritim, dan udara, serta diadopsi oleh banyak negara termasuk negara-negara NATO," tambahnya.
Dia mencontohkan, salah satu negara di Asia Tenggara, Singapura, telah membentuk Angkatan Siber yang dinamai Digital and Intelligence Service. Hal ini dilakukan untuk menghadapi ancaman perang di masa depan.
"Perkembangan dan dinamika ancaman tersebut lah yang menjadikan urgensi bagi TNI untuk berperan menanggulangi ancaman siber karena bersinggungan dengan kedaulatan negara," tuturnya.
Oleh karena itu, Frega mengatakan, pencantuman pertahanan siber, merupakan sebuah urgensi sebagai bagian dari salah satu cara melaksanakan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Selain itu, Frega juga menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam pertahanan siber adalah untuk menghadapi ancaman yang terkait dengan penegakan kedaulatan negara maupun keselamatan bangsa.
Masyarakat, kata Frega, tidak perlu khawatir dengan disahkannya revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mencantumkan tugas pertahanan siber sebagai tugas dalam OMSP.
Frega menekankan, hal tersebut merupakan penguatan profesionalisme TNI sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik selaras dengan kepentingan dan keamanan nasional.
"Bila ada yang menyuarakan narasi bahwa operasi militer di ruang siber akan memberangus demokrasi karena membatasi kebebasan berpendapat adalah tidak benar. Sebagai negara demokrasi tentunya kebebasan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik menjadi sebuah hal yang wajar," ucapnya.
Frega juga menyebut, ancaman siber yang dihadapi oleh TNI nantinya bisa berupa serangan-serangan terhadap sistem pertahanan dan komando militer, seperti peretasan, sabotase digital, atau pencurian data strategis.
Selain itu, kata dia, terdapat juga ancaman terhadap infrastruktur kritis nasional seperti serangan terhadap jaringan listrik, telekomunikasi, transportasi dan beberapa lainnya yang dapat berdampak pada stabilitas negara.
Bahkan, Frega mengatakan, pertahanan siber nantinya juga akan menghadapi operasi informasi dan disinformasi dari pihak-pihak tertentu yang mengancam kedaulatan negara, termasuk yang memiliki motif untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah, hingga yang berpotensi memecah belah bangsa.
"Di samping itu, ancaman serangan siber dari aktor negara atau non-negara yang dapat berdampak pada keamanan nasional, baik dalam bentuk spionase maupun cyber warfare," katanya.
Dia juga memastikan, dalam pelaksanaan di masa depan, TNI akan bersinergi dan berkolaborasi dengan Kementerian dan Lembaga lain yang beririsan dengan siber seperti Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), Kemen Kominfodigi, dan Polri.
Frega memastikan, tidak akan ada tumpang tindih dalam kolaborasi ini. Ia menekankan, Kominfodigi akan tetap bertanggung jawab atas regulasi dan pengelolaan infrastruktur digital nasional, sementara BSSN berfokus pada pengamanan siber secara nasional, dan Polri menangani aspek penegakan hukum. Koordinasi lintas lembaga akan diperkuat agar tugas masing-masing tetap berjalan optimal tanpa tumpang tindih.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Andrian Pratama Taher