Menuju konten utama
Penganiayaan Dokter di Lampung

Efek Domino Kasus Kekerasan pada Nakes & Perlunya Payung Hukum

Kekerasan baik secara fisik dan verbal kepada dokter dan nakes bukan sekali ini saja terjadi. Mengapa selalu berulang?

Efek Domino Kasus Kekerasan pada Nakes & Perlunya Payung Hukum
Ilustrasi dokter. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kekerasan pada tenaga kesehatan (nakes) kembali terjadi. Dua dokter magang di Puskesmas Fajar Bulan, Lampung Barat, Provinsi Lampung menjadi korban kekerasan dua orang pasien yang tengah berobat di sana.

Potongan video kejadian kekerasan tersebut viral di media sosial. Dalam video kurang dari semenit itu, memperlihatkan salah satu korban yang memakai kaus putih, tengah dicekik dari belakang oleh seorang pria hingga terjatuh di lantai. Beberapa orang mencoba melerai, tapi salah satu pria lainnya terlihat menarik kerah korban dan menyeretnya hingga berdiri.

Berdasarkan kronologi yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, insiden ini terjadi pada Sabtu (22/4/2023). Kedua pelaku tengah berobat ke Puskesmas Lampung Barat, dengan salah seorang pelaku mengeluhkan nyeri ulu hati. Korban (dokter) lantas memberikan obat sesuai keluhan dan SOP Puskesmas.

Namun pelaku masih mengeluhkan rasa sakitnya usai diberikan obat. Korban lantas memberikan penjelasan bahwa perlu waktu agar efek obatnya bekerja dan menyarankan pasien ke IGD rumah sakit terdekat, jika tak kuat menahan sakit. Akan tetapi, salah satu pelaku malah berbicara dengan marah dan merasa tak puas dengan pelayanan korban. Setelah kembali memberi penjelasan, korban malah diseret, dicekik, dan dibanting oleh pelaku ke lantai.

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto menilai, penyebab kekerasan yang dilakukan pasien pada nakes terjadi akibat komunikasi yang kurang baik. Slamet mengatakan, masyarakat sering kali menaruh harapan besar pada nakes agar bekerja ‘sempurna.’

Sayangnya, menurut Slamet, biasanya nakes sudah menjalankan SOP dengan benar, namun masih mendapatkan keluhan dari pasien yang emosi akibat kurang literasi.

“Mungkin terjadi emosi yang kurang baik. Biasanya masyarakat kita kan searching dulu di Google soal penyakitnya. Pas berobat nggak sesuai padahal nakes sudah sesuai SOP, malah percaya Google, jadi kalau sudah ke rumah sakit percayakan pada rumah sakit,” ujar Slamet dihubungi reporter Tirto, Jumat (28/4/2023).

Menurut Slamet, pihak rumah sakit, baik swasta atau pemerintah, perlu menjamin keselamatan nakes. Ia juga mendorong semua pihak untuk mensosialisasikan soal tanggung jawab nakes, agar terbangun saling pengertian di kalangan masyarakat.

Slamet berujar agar pengamanan di fasilitas kesehatan dapat ditambahkan. Ia berharap aparat penegak hukum juga dapat berlaku adil saat terjadi kasus kekerasan yang melibatkan masyarakat dan nakes.

“Ke depan, harus ada pengamanan ekstra khusus bagi nakes, terutama bagi yang bekerja di ruang IGD. Itu kan biasanya keluarga pasien panik dan kadang menjadi mudah emosi, dokter pun tadi terkadang lelah di IGD, jadi mudah tersinggung,” saran Slamet.

Kekerasan Berimbas pada Pemerataan Distribusi Dokter

Ketua IDI Wilayah Lampung, Josi Harnos menyayangkan terjadinya insiden ini. Ia menilai kekerasan pada dokter dapat berimbas pada distribusi dokter ke daerah terpencil menjadi terhambat.

“Hal ini dapat mengganggu proses distribusi para dokter dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil karena merasa tidak terjamin keamanannya dan perlindungan hukumnya, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Josi melalui keterangan tertulis.

Menurut catatan PB IDI, kekerasan pada dokter dan tenaga kesehatan dapat terdiri dari ancaman telepon, intimidasi, caci maki, serangan fisik tetapi tidak melukai, serangan fisik yang menyebabkan luka sederhana atau berat, pembunuhan, vandalisme dan pembakaran.

Profesional medis yang menghadapi kekerasan diketahui dapat mengalami masalah psikologis seperti depresi, insomnia, stres pascatrauma, ketakutan, dan kecemasan, yang menyebabkan keengganan untuk bertugas di wilayah terpencil.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto menegaskan, tenaga kesehatan berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diatur pada Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan, tenaga kesehatan berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya.

Politikus Fraksi PDI Perjuangan itu menyatakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab menjamin keselamatan para nakes. “Jika masalah seperti ini (penganiayaan dokter) terus terjadi, maka jadi preseden buruk bagi penempatan dokter untuk pemerataan akses layanan kesehatan,” ujar Edy, Kamis (27/4/2023).

Terkait insiden ini, Tim Kemenkes yang langsung meninjau kejadian ke Lampung Barat, menyatakan dua dokter magang yang mengalami tindak kekerasaan oleh pasien dalam kondisi aman. Kemenkes juga memastikan proses hukum akan terus diproses agar pelaku dapat diberikan hukuman setimpal.

“Yang tidak bisa ditolerir adalah terjadinya kekerasan kepada tenaga kesehatan. Kalau tidak ada proses hukum, tidak ada pembelajaran bagi masyarakat,” kata Direktur Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kesehatan Kemenkes, Zubaidah Elvia, Kamis (27/4/2023).

Kekerasan yang Terus Berulang & Urgensi Payung Hukum yang Kuat

Kekerasan baik secara fisik dan verbal kepada dokter dan nakes bukan sekali ini saja terjadi. Ada jejak panjang kasus kekerasan yang garda terdepan kesehatan negeri ini sering kali alami.

Bulan lalu, dokter spesialis paru yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Nabire, Papua Tengah, tewas dibunuh pada 9 Maret 2023. Korban bernama Mawartih Susanty, merupakan satu-satunya dokter spesialis paru di Nabire.

Menurut data IDI Papua, sejak 2019 sampai Maret 2023, ada empat dokter yang menjadi korban kekerasan. Tiga dokter spesialis tewas dan satu dokter umum terluka berat.

Sementara berdasarkan data Komnas Perempuan, dalam rentang 2022-2023, ada 9 kasus kekerasan terhadap perempuan perawat yang dilaporkan ke mereka. Tiga di antaranya adalah kekerasan yang terjadi di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan dan rekan kerja.

Komnas Perempuan menyebut kekerasan pada perawat perempuan dilakukan oleh pasien, rekan kerja, maupun orang yang tidak dikenal.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyatakan pada pertengahan 2021, ada 8 kasus kekerasan perawat di Indonesia sepanjang 2020-2021. Belum lagi kasus kekerasan yang terjadi pada masa awal penanganan Pandemi Covid-19, di mana dokter dan nakes menjadi ujung tombak penanganan virus Corona.

Kekerasan yang dialami dokter dan nakes, khususnya yang bertugas di daerah terpencil dan terluar, perlu penanganan yang serius oleh pemerintah. Negara harus menjamin mereka bertugas dengan aman.

Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan, Arianti Anaya menyesalkan, adanya kasus kekerasan yang kembali terjadi dialami oleh dokter di negeri ini. Ia menyatakan pemerintah daerah perlu menjamin keamanan nakes yang bertugas di daerahnya.

“Keamanan merupakan hal utama yang harus dipastikan oleh pemerintah daerah agar upaya pendistribusian dokter dapat berjalan, kita tahu saat ini masih banyak daerah kekurangan dokter,” ujar Ade, sapaan akrabnya, ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (28/4/2023).

Ade menilai seharusnya dokter-dokter yang bekerja di daerah dapat dipastikan keamanannya baik di tempat kerja maupun di tempat tinggalnya.

Atas kejadian ini, Ade menyatakan bahwa Kemenkes melakukan upaya pencegahan dan evaluasi dengan meningkatkan keamanan di lokasi fasilitas kesehatan dengan terus melakukan koordinasi bersama pemerintah daerah. Ia juga menyatakan pihaknya akan melakukan pembekalan kepada para nakes.

“Kemampuan komunikasi dokter juga perlu kita tingkatkan melalui pembekalan agar kedepannya tidak terjadi hal hal seperti ini,” kata Ade.

Pemerintah melalui Kemenkes saat ini telah mengusulkan tambahan aturan perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan dalam RUU Kesehatan. Juru bicara Kemenkes, Mohammad Syahril menyatakan, tambahan perlindungan hukum ini untuk memperkuat aturan saat ini yang dinilainya belum maksimal.

Pasal 282 ayat 2 DIM RUU Kesehatan, pemerintah mengatur Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan serta nilai-nilai sosial budaya. Termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan pada nakes.

“Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan” ujar Syahril.

Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani juga memastikan komitmen DPR dan pemerintah untuk mengedepankan keamanan dan kesejahteraan bagi nakes dalam pembahasan RUU Kesehatan. Dia berharap, regulasi ini dapat menjadi jaminan perlindungan negara terhadap nakes agar bisa bekerja dengan tenang tanpa rasa takut.

“DPR dan pemerintah akan berupaya memberi perlindungan hukum bagi nakes lewat aturan yang rigid. Selain itu, kesejahteraan para nakes juga akan menjadi prioritas mengingat profesi yang dijalani nakes bukan hal mudah,” kata Puan.

Ia juga mengajak seluruh masyarakat untuk menghargai profesi nakes. Ia meminta masyarakat berkomunikasi secara baik-baik jika ada kekurangan pelayanan yang diberikan nakes.

“Jika ada oknum nakes yang dianggap kurang dalam bekerja, selesaikan permasalahan tanpa perlu ada kekerasan,” imbau Puan.

Baca juga artikel terkait KASUS KEKERASAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz