Menuju konten utama

Koalisi Sipil Minta Kejati DKI Setop Kasus Haris-Fatia

Koalisi menilai kasus kriminalisasi pembela HAM, Fatia dan Haris, terkait kritiknya terhadap pejabat publik tampak dipaksakan.

Koalisi Sipil Minta Kejati DKI Setop Kasus Haris-Fatia
Direktur Lokataru Haris Azhar menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan kesehatan di Biddokkes Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (6/3/2023). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti karena mengkritik pejabat publik.

Haris dan Fatia menjadi tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Koalisi menilai kasus kriminalisasi pembela HAM, Fatia dan Haris, terkait kritiknya terhadap pejabat publik tampak dipaksakan.

Proses hukum yang memakan waktu sekitar 1 tahun 6 bulan memberi kesan keragu-raguan yang nyata dari kepolisian dan kejaksaan dalam melihat ada tidaknya unsur perbuatan pidana dalam perkara ini.

Pada 6 Maret 2023, proses hukum terhadap keduanya memasuki tahap penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap 2) dari Polda Metro Jaya kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Koalisi berpendapat penyidik Polda Metro Jaya dan jaksa Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah keliru dalam kasus ini.

"Tindakan Fatia dan Haris tidak dapat dipidanakan karena masih tergolong kritik yang sah terhadap pejabat publik, sekaligus bentuk partisipasi publik dalam rangka pengawasan pemerintahan," ucap Usman Hamid, salah satu anggota koalisi, dalam keterangan tertulis, Senin (6/3/2023).

Hal ini diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Seharusnya kasus ini tidak berlanjut, bola kepolisian dan kejaksaan tunduk pada Surat Keputusan Bersama Nomor 229 tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang telah secara jelas menyatakan bahwa bukan sebuah delik pidana apabila berbentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

Selanjutnya, berdasar Surat keterangan Komnas HAM Nomor 588/K-PMT/VII/2022 pada Juli 2022, menyatakan Fatia dan Haris merupakan pembela HAM. Jika dihubungkan dengan kritik mereka yang terkait lingkungan di Papua, maka mereka dilindungi oleh Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

Selain itu, Bab VI Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 menegaskan jika tindakan yang dilakukan menjadi bagian dari memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat maka penuntut umum harus menutup perkara tersebut demi hukum dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

"Maka kamu mendesak kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menghentikan perkara ini demi hukum. Jika tidak, maka kondisi ini semakin menunjukkan aparat penegak hukum turut menjadi aktor dalam menyempitnya ruang kebebasan," ucap Usman.

PelimpahanPerkara

Polisi melakukan pelimpahan tahap dua perkara ini. "Hari ini pelimpahan tahap dua kasus pencemaran nama baik terhadap Menko Marves," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Trunoyudo, di Polda Metro Jaya, Senin. Kemudian, Haris buka suara. Ia menyatakan bahwa P21 (status berkas perkara yang sedang ditangani dinyatakan lengkap), bertanggal hari ini.

“Ternyata P21-nya hari ini, jadi bukan dua pekan lalu seperti yang diberitakan," ujar Haris.

Dua pekan lalu Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menyebut berkas perkara lengkap per 6 Februari 2023. Mereka ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Maret 2022.

Kasus Haris dan Fatia bergulir sejak September 2021. Kasus ketiga orang ini bermula pada sebulan sebelumnya. Kala itu Fatia tampil dalam akun Youtube Haris Azhar yang berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada!!" Kuasa hukum Luhut menyomasi Fatia dalam tempo 5x24 jam sejak surat tersebut diterbitkan.

Hal ini juga berkaitan dengan temuan koalisi masyarakat sipil perihal indikasi kepentingan ekonomi dalam serangkaian operasi militer ilegal di Intan Jaya, Papua. Riset yang diluncurkan oleh Walhi Eknas, Jatam Nasional, YLBHI, Yayasan Pusaka, LBH Papua, WALHI Papua, Kontras, Greenpeace, Bersihkan Indonesia dan Trend Asia mengkaji keterkaitan operasi militer ilegal di Papua dan industri ekstraktif tambang dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik.

Dalam kajian koalisi, ada empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi dalam laporan ini yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata'ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Mitratama (IU Pertambangan).

Dua dari empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia dan PT Madinah Qurrata'ain adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer atau polisi termasuk dengan Luhut.

Baca juga artikel terkait KASUS HARIS AZHAR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri