tirto.id - Melalui Oslo Accords yang ditandatangani pada 1993dan 1995, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin bersepakat dengan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat untuk memulai proses damai. Awalnya, Israel dan PLO saling memberi pengakuan sebagai partner negosiasi. Kemudian, secara bertahap, pihak Israel akan menarik mundur pasukannya dan mentransfer kekuasaan atas sejumlah kota di Tepi Barat dan Jalur Gaza kepada bangsa Palestina. Kesepakatan ini diikuti dengan pembagian zonasi di Tepi Barat, berikut detil tata kelola pemerintahannya.
Meskipun demikian, tak semua elemen masyarakat Israel maupun Palestina menyambut hangat Oslo Accords. Seperti dirangkum dari Al Jazeera, kelompok sayap kanan Israel memandang PLO sebagai teroris yang tak layak diajak bernegosiasi, terlepas dari fakta bahwa Arafat mau mengakhiri aksi-aksi kekerasan. Selain itu, penduduk Israel takut bakal tergusur dari wilayah yang mereka klaim sebagai tanah leluhur. Di pihak Palestina, faksi-faksi di luar payung PLO seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ) menolak solusi dua negara sebagaimana diatur dalam Oslo Accords karena menyalahi hak-hak orang Palestina untuk kembali ke tanahnya yang dirampas sejak 1948.
Seiring negosiasi Oslo Accords berlangsung alot, Hamas dan PIJ mulai sering mengklaim berbagai serangan terhadap orang-orang Israel, terutama aksi bom bunuh diri dalam bus. Akan tetapi, aksi ini tidak muncul tiba-tiba. Pada Februari 1994, terjadi pembantaian terhadap sedikitnya 29 muslim di Masjid Ibrahim di kota tua Hebron. Pelakunya adalah seorang ultranasionalis pengikut ajaran Yahudi ortodoks Meir Kahane. Pembantaian ini mendorong aksi protes dari warga Palestina, yang direspons dengan brutal oleh tentara Israel. Setelah itu, baik sipil maupun militer Israel mulai jadi sasaran kekerasan militan Palestina. Keamanan domestik pun menjadi isu penting di mata publik Israel. Lalu muncul keraguan apakah kesepakatan damai dengan Palestina bisa menjamin keamanan warga Israel.
Pada waktu yang sama, kelompok sayap kanan Israel semakin lantang memprotes pemerintahan PM Rabin terkait Oslo Accords. Awal Oktober 1995, persis satu bulan sebelum Rabin tewas ditembak oleh ekstremis sayap kanan, terjadi demo besar di Yerusalem. Pada kesempatan itu, Associated Press merekam komentar seorang politikus anyar yang menonjol. “Rakyat Israel ingin perdamaian yang sesungguhnya. Artinya, perdamaian dengan keamanan... perdamaian yang bisa dipercaya dengan partner yang bisa dipercaya pula… Mereka tak merasa memilikinya. Mereka ingin perdamaian yang asli, bukan yang palsu…” ujarnya dalam bahasa Inggris yang lancar.
Kelak, ia terpilih sebagai Perdana Menteri Israel—termuda dalam sejarah dan paling lama berkuasa. Ia adalah Benjamin Netanyahu.
Periode Pertama (1996-99)
Dalam pemilu yang dilaksanakan tujuh bulan setelah kematian PM Rabin, Benjamin “Bibi” Netanyahu berhasil mengungguli rival politiknya dari Partai Buruh—mantan Menlu dan PM sementara Shimon Peres—dengan selisih suara tipis, kurang dari 1 persen. Kemenangan Netanyahu mempersulit Peres untuk meneruskan usaha perdamaian yang sudah dirintisnya bersama mendiang PM Rabin. Hasil pemilu ini juga di luar dugaan. Bagaimana mungkin orang “baru” dan “asing” seperti Netanyahu bisa terpilih sebagai pemimpin Israel? Apa langkahnya untuk mendorong perdamaian dengan bangsa Palestina?
Kala itu Netanyahu baru berumur 47 tahun, setahun lebih muda daripada usia negara Israel. Masa remajanya dihabiskan di Amerika Serikat, meskipun ia bolak-balik ke Israel pada dekade 1960-70 untuk memerangi negara-negara Arab bersama Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Kematian abangnya, Yonatan, dalam operasi militer Israel di Uganda (1976) menimbulkan duka mendalam bagi keluarga besar Netanyahu. Netanyahu sempat pulang ke Israel untuk mendirikan yayasan anti-terorisme atas nama Yonatan. Langkah inilah yang lantas menggiringnya ke jagat politik.
“Saya kira saya akan berkecimpung di dunia akademik atau bisnis,” Netanyahu pernah mengaku pada majalah Amerika Newsweek pada 2012 silam. “Kematian abang saya sudah mengubah hidup saya dan membimbing saya ke jalan yang sekarang,” imbuhnya. Apakah hal ini juga berkontribusi menentukan atau membentuk arah ideologi politiknya? Ternyata tidak. Kematian sang abang justru menguatkan kembali cara pandang Netanyahu terhadap dunia.
Kehidupan Netanyahu pun berlanjut di Amerika: menyelesaikan pendidikan tinggi di kampus-kampus Ivy League, meniti karier sebagai konsultan ekonomi, sampai akhirnya ditunjuk sebagai diplomat pada awal dekade 1980-an. Sejak menjadi wajah resmi Israel di Washington dan New York, Netanyahu jadi akrab dengan media Amerika dan elite politik Republikan yang semakin pro-Israel. Netanyahu baru terjun ke politik praktis pada 1988 setelah terpilih jadi anggota dewan perwakilan di parlemen Knesset. Ia mewakili Likud, partai sayap kanan yang suatu hari nanti bakal dipimpinnya.
Basis politik Netanyahu merupakan pihak yang cenderung tidak menyukai “elite lama” Israel, merujuk pada kaum elite beraliran kiri dan komunitas Yahudi Ashkenazi yang sekuler. Natan Sachs dalam artikel di Brookings berjudul “Benjamin Netanyahu and the politics of grievance” (2017) mengungkapkan, pendukung Netanyahu terdiri dari kalangan Yahudi Mizrahi, Yahudi ultra-ortodoks, orang-orang Partai Nasional Beragama (Mafdal), komunitas imigran berbahasa Rusia dari eks-negara Soviet. Mereka semua memandang para “elite lama” layaknya hantu. Dengan kata lain: Netanyahu memainkan kartu populisme.
Masih dikutip dari tulisan Scahs, Netanyahu adalah seorang Yahudi Ashkenazi yang punya cara pandang menyerupai Menachem Begin, pendiri Partai Likud sekaligus Perdana Menteri tahun 1977-83. Mereka memandang “elite lama” layaknya kaum “left-behind”—kiri dan terbelakang. Suara atau hak pilihnya dianggap sebagai “Israel kedua”, karena mereka dipandang sudah menentang cita-cita politik kaum Yahudi Ashkenazi sayap kanan. Sementara itu, warga negara Israel keturunan Arab atau Palestina cenderung merapat ke kelompok kiri, seperti aliansi parpol Arab di Israel yang mendukung solusi dua negara.
Disokong oleh basis pemilih sayap kanan, kemenangan Netanyahu berkaitan dengan interpretasinya terhadap langkah “perdamaian” dengan Palestina. Menurut Yoel Marcus, jurnalis media berhaluan kiri Haaretz yang kritis terhadap sang perdana menteri, Netanyahu sudah “mencuri” pesan perdamaian dari Partai Buruh dengan “menambahkan nada ketakutan dan janji” bahwa pemerintah tidak akan terburu-buru mewujudkannya. “Saat ini, ketakutan terhadap marabahaya akan perdamaian jauh lebih besar daripada harapan akan perdamaian,” lanjut Marcus.
Di awal pemerintahan, Netanyahu menegaskan bahwa konflik Israel-Palestina bukanlah penyebab kekacauan politik di Timur Tengah. Sebagaimana disampaikannya dalam wawancara dengan Haaretz pada November 1996, isu bangsa Palestina bukanlah penyebab, melainkan suatu produk konflik dengan negara-negara Arab yang menilai Israel sebagai “entitas asing yang tak berhak eksis di kawasan ini”. Netanyahu yakin, kalaupun kesepakatan tercapai dengan orang-orang Palestina, konflik antara Israel dan negara-negara Arab tidak akan tuntas. “Masalah ini bakal beres apabila seluruh dunia Arab, termasuk Iran yang non-Arab, mau menerima Israel agar menetap di sini, atau ketika negara-negara di sekitar kami menjalani reformasi demokratis,” ujarnya.
Netanyahu menyadari pentingnya menjaga relasi baik dengan Paman Sam. Meskipun hubungan Israel-AS tak selalu mesra, aliansi keduanya bisa dibilang cukup erat. Sejak Israel berdiri pada 1948, sejumlah administrasi presiden AS membela hak-hak Israel untuk mempertahankan diri dari negara-negara Arab. Selain itu, pada era Perang Dingin misalnya, administrasi Richard M. Nixon memandang Israel sebagai partner strategis untuk menghalau penyebaran pengaruh Soviet di Timur Tengah. Bantuan keuangan pun rutin dikirimkan dari Washington untuk mendukung berbagai macam program pemerintah mulai dari pembangunan ekonomi hingga urusan-urusan terkait militer.
Sekitar dua bulan setelah menang pemilu, Netanyahu melawat ke Amerika untuk memperkuat relasi diplomatik dengan pemerintahan Clinton. Selain itu, sebagai perdana menteri Israel pertama yang berkunjung ke Wall Street, ia ingin mengundang elite Amerika untuk berinvestasi di negaranya. “Datanglah ke Israel, karena tempatnya bagus buat bisnis… karena kami sedang memprivatisasi ekonomi. Kami punya masa depan ekonomi yang cerah. Jadilah bagian dari ini!” demikian ia berpesan dalam sesi bincang-bincang bersama jurnalis televisi Charlie Rose.
Maju-Mundur Menuju “Perdamaian”
Walaupun sejak awal menentang Oslo Accords, Netanyahu pada akhirnya mau berkompromi dengan Otoritas Palestina (PA). Hanya saja, langkah ini baru terwujud setelah dipicu oleh kebijakannya sendiri yang kontroversial dan memakan korban jiwa.
Pada September 1996, Netanyahu mengizinkan pembukaan akses pintu keluar untuk wisatawan di situs bersejarah Terowongan Tembok Barat, Yerusalem. Sebelumnya, turis harus putar balik setelah mencapai ujung terowongan. Pintu keluar ini tidak tembus ke dalam kompleks Bukit Bait Kuil atau Masjid Al-Aqsa, kawasan yang sensitif baik bagi kaum Muslim maupun Yahudi. Namun, proyek ini tetap ditentang warga muslim yang menilai Israel telah menodai kesucian tempat ibadah umat Islam. Mereka juga melihatnya sebagai bentuk klaim bangsa Yahudi atas Yerusalem.
Aksi protes pun menyeruak dan berujung pada bentrokan antara tentara Israel dan polisi Otoritas Palestina. Netanyahu bersikeras bahwa kerusuhan ini dipicu oleh hasutan Arafat. Ia juga tidak menyesali keputusannya terkait penggalian pintu keluar di Terowongan Tembok Barat. Menurutnya, proyek ini “tidak berdampak pada Kuil Bait Suci” sekaligus “mengekspresikan kedaulatan kami [bangsa Yahudi Israel] atas Yerusalem”. Terlepas dari itu, pada akhirnya ingar-bingar ini justru menggiring Netanyahu untuk mengambil langkah damai dengan Palestina.
Awal 1997, meskipun ditentang oleh sejumlah pejabat kementerian di kabinetnya, Netanyahu berjabat tangan dengan Arafat. Pihak Israel sepakat untuk menyerahkan 80 persen area kekuasaan di kota Hebron kepada Otoritas Palestina, diikuti dengan penarikan pasukan Israel dari Tepi Barat.
Akan tetapi beberapa minggu kemudian, dalam rangka membayar kekecewaan basis pendukungnya, Netanyahu memberi sinyal hijau pada proyek pembangunan kompleks pemukiman bagi orang-orang Yahudi Israel di Har Homa, disebut Jabal Abu Ghneim oleh komunitas Muslim Palestina. Padahal, kawasan di Yerusalem Timur itu masih disengketakan. Badan Keamanan PBB sempat turun tangan untuk mencegah Israel melanjutkan proyeknya di sana, namun langkah tersebut diveto oleh Amerika Serikat.
Kejatuhan Netanyahu
Periode pertama kepemimpinan Netanyahu hanya berlangsung 3 tahun—idealnya 4 tahun. Masih mengutip ulasan Sachs di artikel Brookings, ada risiko politis di balik kemesraan Netanyahu dengan basis politik sayap kanannya. Pada 1997, publik dikejutkan dengan komentar Netanyahu tentang Yitzchak Kadouri, seorang rabi berpengaruh di kalangan pemilih suara Yahudi Mizrahi. Netanyahu menyinggung betapa kaum kiri di Israel “sudah lupa apa artinya jadi orang Yahudi”. Meskipun menyindir kaum kiri, pemilih suara berhaluan tengah ikut gerah dengan sikap Netanyahu. Menurut Sachs, sikap Netanyahu ini turut membuatnya lengser dari kursi perdana menteri.
Di samping itu, menjelang akhir 1998, koalisi sayap kanan di parlemen Knesset bubar karena Memorandum Wye River. Memorandum ini difasilitasi Presiden Clinton di perkebunan Wye River, Maryland sebagai kelanjutan dari Oslo Accords. Berdasarkan isinya, pihak Israel mau mengurangi area kekuasaannya di Tepi Barat dan melepas 750 tawanan Palestina. Sementara itu, Otoritas Palestina berjanji akan lebih tegas memberantas kelompok-kelompok teroris dan menghukum mereka yang menghimpun persenjataan ilegal bahan peledak.
Terlepas mayoritas anggota parlemen Knesset sepakat dengan isi Memorandum, koalisi sayap kanan memprotes keras rencana Israel untuk menyerahkan sejumlah lahan kekuasaan kepada Otoritas Palestina. Setelah gagal mencapai kata sepakat, Knesset memutuskan untuk mengakhiri administrasi Netanyahu. Pemilu baru untuk memilih anggota parlemen dan perdana menteri dijadwalkan pada awal 1999. Sementara itu, bulir-bulir kesepakatan di Memorandum pun tak seutuhnya dijalankan. Israel hanya menyerahkan separuh wilayah dari yang sudah dijanjikan serta membebaskan 250 tawanan Palestina, sedangkan gerakan kelompok militan Palestina masih bercokol kuat.
Netanyahu ditinggalkan tokoh-tokoh kuat dari Likud dan koalisi sayap kanan. Akhirnya ia dikalahkan oleh Ehud Barak, politisi dari One Israel, parpol afiliasi Partai Buruh. Selisih suara mereka mencapai lebih dari 10 persen. Media Inggris Guardian memberitakan kekalahan Netanyahu sebagai “harapan bagi Timur Tengah”. Washington, berikut negara-negara Arab, dikabarkan merasa lega atas kemenangan Barak, pemimpin yang dipercaya bisa meneruskan negosiasi damai di kawasan Timur Tengah setelah mandek sekian bulan.
Setelah itu, Netanyahu masih aktif di pemerintahan. Ia sempat bekerja pada kabinet PM Ariel Sharon (2001-6) sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan, namun mengundurkan diri pada 2005 untuk memprotes penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza. Semenjak itu, Netanyahu memimpin Partai Likud sampai kemudian terpilih lagi jadi Perdana Menteri pada 2009. Terlepas dari segala drama yang mengiringi, posisi tersebut masih digenggamnya dengan kuat, sampai hari ini.
Editor: Windu Jusuf