Menuju konten utama

Negara-Negara Arab Makin Lembek ke Israel Setelah Abraham Accords

“Abraham Accords memberikan kesan pada Israel bahwa mereka bisa melanjutkan apapun tanpa hal signifikan dengan rakyat Palestina."

Negara-Negara Arab Makin Lembek ke Israel Setelah Abraham Accords
Api dan asap muncul selama serangan udara Israel di tengah meningkat nya kekerasan Israel-Palestina, di Jalur Gaza selatan, Selasa (11/5/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa/FOC/sa.

tirto.id - Di suatu bilik bercat putih yang dinamaiIsrael—Land of Creation”, terpampang banyak layar monitor berisi gambar video kemolekan alam dan situs-situs historis. Kementerian Pariwisata Israel baru saja berpartisipasi dalam Arabian Travel Market, pameran wisata yang diselenggarakan oleh otoritas Uni Emirat Arab (UEA) pada 16-19 Mei. Perhelatan yang diikuti 1.300 peserta dari 62 negara ini diharapkan dapat mengawali pemulihan sektor pariwisata dunia setelah porak-poranda akibat pandemi Covid-19.

Seiring kampanye pariwisata Israel berlangsung di ruangan sejuk ber-AC dalam arsitektur mewah Dubai World Trade Center, pesawat tempur Israel memborbardir Jalur Gaza dengan 55 serangan udara. Dampaknya fatal: tiga bangunan gedung runtuh dan 42 orang Palestina meninggal dunia. Lebih dari seminggu lamanya, perseteruan antara grup militan Palestina Hamas dan pasukan Israel membuahkan sederet aksi kekerasan. Korban jiwa berjatuhan, baik di perkotaan Israel dan teritori Hamas di Gaza. Sepuluh nyawa warga Israel melayang, sementara korban jiwa rakyat Palestina mencapai lebih dari 200 orang—61 di antaranya anak-anak. Terlepas dari tragedi yang terjadi, hal ini tampaknya harus dikesampingkan dari agenda bisnis pemerintah Israel di Dubai.

“Kami tidak membicarakan hal itu [ingar-bingar Hamas dan pasukan Israel]. Kami bicara tentang masa depan. Kami bicara tentang apa yang bisa dilakukan untuk membawa pariwisata masuk ke Israel,” ujar Ksenia Kobiakov, pejabat dari Kementerian Pariwisata Israel dikutip dari Associated Press (17/05). “Kami datang ke sini untuk menampilkan Israel sebagai destinasi wisata baru bagi UEA dan negara-negara Teluk, sebagai destinasi berwarna dan seru yang terbuka,” imbuhnya.

Sebelumnya, warga Israel sudah membanjiri pantai, pusat perbelanjaan, restoran dan berbagai arena hiburan di UEA. Tepatnya pada 8 November 2020, pesawat pertama yang memboyong rombongan turis dari Israel mendarat di Dubai. Dalam kurun beberapa minggu, jumlah wisatawan Israel di UEA membludak sampai puluhan ribu orang. Agar relasi bisnis ini terjaga baik, otoritas Israel sampai memperingatkan warganya yang tengah berlibur di sana untuk menghindari obrolan terkait keluarga kerajaan, politik domestik, maupun kebijakan UEA terhadap buruh migran. Intinya: boleh bersenang-senang di UEA, tapi jangan sampai bikin gusar pemerintahnya.

Di sisi lain, pihak Israel mengharapkan warga negara UEA, termasuk para ekspatriat, mau melakukan kunjungan balik ke Israel. Wisatawan muslim jadi target utamanya karena dianggap sebagai pasar potensial bagi industri kuliner vegetarian Israel, terutama di Tel Aviv, yang digadang-gadang oleh pemerintah sebagai ibukota dunia untuk kaum vegan.

Abraham Accord

Kerjasama pariwisata antara UEA-Israel mustahil terwujud apabila keduanya belum menjalin normalisasi hubungan, yang bisa tercapai berkat dorongan pemerintah Amerika Serikat pada September tahun lalu. Pemerintahan Presiden Donald J. Trump memfasilitasi perjanjian normalisasi antara UEA dan Israel dalam Abraham Accords (PDF). Dikutip dari isinya, perjanjian ini bertujuan untuk menciptakan kawasan Timur Tengah yang “stabil, damai dan makmur”, di antaranya melalui kerjasama investasi, pendidikan, sains dan teknologi, sampai pariwisata. Piagam ini juga mencatat bahwa UEA dan Israel akan bersama-sama “mewujudkan solusi yang dinegosiasikan terkait konflik Israel-Palestina sesuai kebutuhan sah dan aspirasi kedua bangsa”.

Selain UEA, pada hari yang sama Bahrain juga menandatangani Abraham Accords. Trump menggembar-gemborkan normalisasi kedua monarki dengan Israel sebagai pencapaian historis untuk mewujudkan perdamaian. “Setelah sekian dekade perpecahan dan konflik, kita menandai fajar bagi Timur Tengah baru,” ujar Trump. Menurutnya, Abraham Accords merupakan “pondasi untuk perdamaian yang komprehensif” bagi kawasan Timur Tengah.

Jared Kushner, menantu Trump yang juga aktor utama perencanaan Abraham Accords, memiliki pandangan serupa. “Kita menyaksikan sisa-sisa terakhir dari apa yang selama ini dikenal sebagai konflik Arab-Israel,” tulis Kushner di Wall Street Journal pada Maret silam. Dengan kehadiran wisatawan Israel di Dubai, Kushner menunjukkan bahwa kaum Yahudi bisa hidup damai berdampingan dengan kaum Muslim. Baginya, adalah mitos belaka apabila perdamaian antara negara-negara Arab dan Israel hanya dapat terwujud apabila konflik Israel-Palestina selesai. “Abraham Accords menunjukkan bahwa konflik tersebut tak lebih dari perselisihan lahan antara bangsa Israel dan Palesina, yang tak perlu sampai menghambat relasi Israel dengan dunia Arab yang lebih luas,” tulisnya.

Dalam pandangan sederhana Trump dan Kushner, Abraham Accords membuka peluang untuk memperbaiki tatanan politik di kawasan Timur Tengah. Singkatnya, negara-negara Arab diharapkan mengedepankan kerjasama strategis di bidang keamanan dan perdagangan dengan Israel, alih-alih menahan itu semua karena perkara Palestina. Abraham Accords juga dipandang bisa mengundang lebih banyak negara sekitar untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.

Terlepas dari itu, tidaklah tepat apabila Abraham Accords disederhanakan sebagai gerbang menuju perdamaian. Pasalnya, UEA dan Bahrain bukanlah negara monarki yang punya riwayat bermusuhan dengan Israel. Sebelum normalisasi terjalin, mereka sudah punya jaringan kerjasama dengan Israel, meskipun belum dijembatani oleh kanal diplomatik resmi.

Di samping itu, normalisasi hubungan dengan Israel yang dilakukan UEA dan Bahrain—kemudian disusul oleh Sudan dan Maroko—tak sekadar dilandasi oleh semangat menjalin kerjasama strategis. Amerika turut memberikan “hadiah” buat negara-negara Arab yang bersukacita menandatangani Abraham Accords. Dilansir dari tulisan Karen DeYoung dan Steve Hendrix di Washington Post, Amerika menghapus Sudan dari daftar negara sponsor aksi terorisme, sementara Kongres AS memberikan sinyal hijau untuk menjual sekiranya 50 armada pesawat tempur F-35 kepada otoritas UEA, tak lama setelah pemerintah Israel secara terang-terangan menyetujui rencana transaksi tersebut

Perdamaian yang dicita-citakan dalam Abraham Accords, termasuk solusi bagi konflik Israel-Palestina, tampaknya malah terabaikan. Masih merangkum artikel The Post, di bawah administrasi Trump, ISIS memang berhasil dilumpuhkan. Namun sedikitnya masih ada 10.000 pejuang militan di Irak dan Suriah. ISIS pun dikabarkan masih beroperasi di kawasan Afrika dan Afghanistan. Perang di Suriah, antara pasukan presiden Bashar al-Assad dan kelompok-kelompok oposisi terus bergejolak, seiring konflik berlangsung antara Saudi Arabia dengan pasukan Houthi di Yaman.

Saat ini, presiden AS yang baru terpilih, Joe Biden, mendapat sorotan karena tidak tegas dalam mengutuk tindakan Israel sekaligus dikritik kubu konservatif karena sudah menyia-nyiakan momentum perdamaian yang diangkat dalam Abraham Accords. Di balik itu semua, pada prinsipnya Abraham Accords memang tidak didesain untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Fungsi utamanya tak lain sekadar bersifat strategis: mendorong normalisasi hubungan diplomatik antara negara-negara Arab dengan Israel.

“Abraham Accords memberikan kesan pada Israel bahwa mereka bisa melanjutkan apapun tanpa hal signifikan dengan rakyat Palestina,” demikian disampaikan H.A. Hellyer, peneliti think tank Carnegie Endowment for International Peace di Washington DC kepada Vox. Artinya, Abraham Accords justru mendorong pihak Israel semakin berani melakukan segala hal yang mereka kehendaki—khususnya terkait perdagangan dan kerjasama ekonomi dengan negara-negara Arab. Berbekal dukungan penuh dari Paman Sam, pihak Israel bisa beramah-tamah dengan para tetangga Arab tanpa perlu kepikiran untuk memenuhi hak-hak bangsa Palestina.

Bagaimana halnya pandangan dari sisi para negara Arab yang menandatangani Abraham Accords? Mengutip analisis Ishaan Tharoor di Washington Post, keputusan mereka menunjukkan suatu bentuk kelelahan politik dengan perkara Palestina. Sebagian alasannya dapat ditarik pada sikap dari sejumlah elite politik di negara-negara Arab, yang belakangan ini tampaknya lebih dipusingkan baik oleh Iran maupun Ikhwanul Muslimin.

Hal tersebut diiyakan oleh ahli Timur Tengah di think tank Carnegie, Karim Sadjadpour. “Hubungan strategis UEA-Israel dipicu oleh ketakutan yang sama terhadap Iran dan diresmikan oleh Amerika Serikat,” ujar Sadjadpour. Sadjadpour menambahkan, Abraham Accords yang dielu-elukan Trump sebagai pencapaiannya dapat dianalogikan sebagai usaha membubuhkan nama “Trump” di bangunan hotel yang sebenarnya sudah lama berdiri.

Abraham Accords bisa dilihat sebagai peristiwa penting dari serangkaian sikap adminsitrasi Trump yang condong pada pemerintah Israel. Sebelum peresmian Abraham Accords, relasi administrasi Trump dengan otoritas Palestina sudah memburuk. Pada 2017, administrasi Trump mengakui kota suci Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke sana. Setahun kemudian, pemerintah AS memotong lebih dari USD200 juta anggaran bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Pada 2019, administrasi Trump memberikan pengakuan terhadap Dataran Tinggi Golan sebagai teritori Israel, yang oleh PBB dan komunitas internasional dianggap diduduki secara ilegal.

Respons Negara Arab: Kompak tapi Lemah?

Negara-negara Arab tidak tinggal diam terhadap konflik Israel-Palestina, termasuk mereka yang menormalisasi hubungannya dengan Israel. Sebelum pemerintahan Trump mendorong normalisasi hubungan Israel dengan UEA, Bahrain, Maroko dan Sudan, pada 1979 Mesir sudah melakukannya—dibantu Presiden Jimmy Carter. Saat ini, Mesir tengah berusaha menengahi konflik Hamas-Israel dengan mengupayakan gencatan senjata, yang belum juga tercapai meski sudah didukung negara-negara lain seperti Perancis dan Yordania. (update:

Yordania, dimediasi oleh Presiden AS Bill Clinton, juga sudah menormalisasi hubungan dengan Israel sejak 1994. Relasi keduanya berjalan baik, meskipun cenderung dingin. Belakangan ini, hubungan keduanya dikabarkan memburuk, salah satunya terjadi pada 2019 ketika dua warga Yordania ditahan oleh otoritas Israel karena dugaan pelanggaran keamanan. Pada waktu yang sama, publik dan elite politik Yordania, termasuk Raja Abdullah II, tergolong vokal mengkritisi penindasan otoritas Israel terhadap rakyat Palestina. Terkait kerusuhan yang baru saja terjadi di Yerusalem dan Gaza, mayoritas anggota parlemen Yordania sampai menyerukan agar diplomat Israel diusir dari Amman.

Infografik Abraham Accords

Infografik Abraham Accords & Konflik Israel-Palestina. tirto.id/Fuad

Ketika terjadi eskalasi di Masjid Al-Aqsa dan penggusuran di Syeikh Jarrah, Kemenlu UEA turut mengeluarkan pernyataan resmi untuk mengecam aksi otoritas Israel. Akan tetapi, di luar itu, elite penguasa UEA terkesan berhati-hati menunjukkan reaksinya. Presiden Khalifa bin Zayed Al Nahyan atau Perdana Menteri Mohammed bin Rashid Al Maktoum tampaknya belum berkomentar secara publik. Sementara itu, dikutip dari situs berita pemerintah Emirates News Agency, Putra Mahkota Abu Dhabi Mohamed bin Zayed Al Nahyan (MBZ) “mengutuk segala bentuk kekerasan dan kebencian” serta menekankan pentingnya mengakhiri agresi di Al-Aqsa. Artikel berita tersebut tak sekali pun menyebut nama otoritas Israel.

Kantor-kantor media yang berasosiasi dengan pemerintah UEA dikabarkan nyaris tidak mengulas aksi kekerasan yang tengah bergejolak di tanah Palestina. Sebagaimana disampaikan oleh Bessma Momani, dosen ilmu politik di Waterloo University Canada kepada NPR, “Baik pemimpin, menteri luar negeri maupun surat kabar besar, tidak benar-benar meliput banyaknya kasus kematian dan kehancuran di Gaza.” Momani melanjutkan betapa kejadian ini merupakan “momen yang memalukan buat negara-negara Teluk”. Mereka tidak bisa mempengaruhi politik Israel, termasuk menahan pasukan Israel agar tidak menyerang Gaza. Hal itu, menurut Momani, membuat mereka terlihat lemah di depan rakyatnya sendiri. “Pada akhirnya, mereka memberikan kesepakatan normalisasi pada Israel, tapi tidak betul-betul memetik apapun buat rakyat Palestina,” ujar Momani.

Di Khartoum, Sudan, pemerintah transisional yang dipimpin Abdel Fattah al-Burhane mengatakan bahwa normalisasi dengan Israel “tidak ada hubungannya dengan hak bangsa Palestina untuk membangun negaranya sendiri”. Terlepas dari itu, Burhan “menyesalkan” kejadian yang menimpa warga sipil di Gaza dan mendorong resolusi terhadap konflik Israel-Palestina. Sebelumnya, ketika dipimpin oleh rezim Presiden Omar al-Bashir, Sudan menunjukkan sikap anti-Israel yang kuat. Namun, Bashir lengser pada April 2019 setelah diprotes massa. Kini, di bawah pemerintahan Burhane, Sudan mencoba mengakhiri kebijakan isolasionis dan memperbaiki ekonominya, salah satunya dengan menjalin normalisasi hubungan bersama Israel—langkah yang akhirnya membebaskan Sudan dari daftar hitam Amerika Serikat sebagai negara sponsor teroris.

Sementara di Maroko, hampir seribu warga berdemonstrasi mendukung pembebasan Palestina. Pihak yang protes meliputi warga sipil, politisi dari partai-partai kiri dan kelompok Islamis di Maroko, yang juga menentang normalisasi Maroko-Israel. Di sisi lain, normalisasi ini dipandang strategis karena Amerika Serikat berkenan mengakui kedaulatan pada Maroko atas teritori Sahara Barat yang statusnya diperdebatkan. Terlepas dari itu, otoritas Maroko kukuh mendukung Palestina. Selain mengeluarkan pernyataan untuk mengutuk aksi kekerasan di tanah Palestina, otoritas Maroko juga tetap mendukung solusi dua-negara untuk konflik Israel-Palestina. Seminggu silam, mereka dikabarkan mengirimkan 40 ton bantuan makanan dan obat ke Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Tak bisa dipungkiri, negara-negara yang baru menormalisasi hubungannya dengan Israel tampak bersikap canggung atau setengah-setengah dalam merespons tragedi Palestina. Meskipun mereka terang-terangan mengecam aksi kekerasan yang terjadi, belum terlihat aksi nyata untuk menengahi perselisihan atau mendorong langkah perdamaian. Di samping itu, pemberitaan di media massa cenderung terbatas, terutama di monarki seperti UEA dan Bahrain. Guardian sempat mengamati sirkulasi tagar #PalestineIsNtMycause (“Palestina bukan urusanku”) di lini massa media sosial di UEA, Bahrain dan Kuwait akhir pekan silam. Tagar ini disinyalir sebagai respons yang disponsori otoritas negara, yang mungkin sengaja disebarluaskan untuk melawan derasnya ekspresi dukungan terhadap Palestina oleh akun-akun Twitter di Gaza dan Yerusalem Timur.

==============

Pembaruan: Israel, Hamas, kelompok Jihad Islam Palestina mengumumkan berlakunya gencatan senjata mulai Jumat (21/05/2021), pukul 02.00. Keputusan ini diambil setelah muncul desakan udari Presiden AS Joe Biden kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk melakukan "de-eskalasi". Sumber Al-Jazeera menyebut Mesir, Qatar, dan PBB menawarkan peran mediasi.

Baca juga artikel terkait IMPERIALISME atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf