tirto.id - Partai Keadilan Sejahtera memberikan tiga catatan penting saat mengevaluasi 2 tahun kepemimpinan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Pertama, koalisi gemuk pemerintahan Jokowi membuat kualitas kontrol melemah. Kedua, penanganan pandemi membaik meski mengorbankan kekuatan ekonomi. Ketiga, sikap emosional dalam berpolitik harus berpindah menjadi rasional. "Agar tidak menghabiskan energi sosial dan kapital yang dimiliki bangsa," kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, Selasa (19/10/2021).
Bersuara sendirian sebagai oposisi di parlemen, PKS punya peluang mendapat dukungan masyarakat lebih luas. Tiga butir di atas telah lama menjadi perhatian masyarakat sipil pro-demokrasi, lengkap dengan kajian kritis dan mendalam mengenainya. Isu mereka bahkan lebih luas dari itu, mulai dari HAM sampai agraria—sesuatu yang dapat menjadi bahan mobilisasi dukungan. Meski demikian, wajah Islamis pada PKS membuat masyarakat sipil menjaga jarak. Peran-peran masyarakat sipil pun masih asing bagi kelompok islamis.
Islamisme sebagai posisi ideologis lebih sering diterjemahkan ke dalam gagasan dan strategi politik, dari yang demokratis sampai yang tidak demokratis. Sumber daya yang mereka miliki terus bergerak menuju ke arah sana, tak jarang dalam bentuk kontestasi di antara sesama mereka, terutama dalam penguasaan ruang kampus, takmir masjid, bahkan birokrasi. Sebagian kelompok Islamis yang terhubung dengan jaringan transnasional membuat kontestasi tersebut semakin berisik. Mereka biasanya bersatu untuk tujuan tertentu, seperti ekonomi dan politik.
Ketergantungan kepada Politikus
Sejak Jokowi dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014, tepat hari ini 7 tahun lalu, kelompok islamis tak bisa melepaskan diri dari dua hal: ketokohan Prabowo Subianto dan isu-isu tentang pribadi dan pendukung Jokowi. Sebagai seorang yang sekular, Prabowo tentu bukan sosok ideal bagi kaum islamis. Ia berkoalisi dengan PDIP, partai sekular yang spektrumnya paling jauh dari kelompok islamis, baik di Pilpres 2009 maupun Pilkada DKI 2012. Pada yang terakhir, Prabowo memajukan Jokowi dan Ahok, dua nama yang menjadi sorotan tajam kelompok islamis di kemudian hari.
Ketika pada akhirnya menggalang kekuatan islamis lewat Koalisi Merah Putih, mantan menantu Soeharto ini pun tak menunjukkan komitmen serius kepada Islam. Ia hanya bermain dengan hal-hal simbolis di masa kampanye, seperti memekikkan takbir atau mengubah namanya menjadi Haji Ahmad Prabowo Subianto. Meski dangkal, dampak semua itu berhasil menggema menjadi sentimentalitas berbasis agama.
Dalam artikel bertajuk "Rival Populisms and the Democratic Crisis in Indonesia: Chauvinists, Islamists and Technocrats", Marcus Mietzner menyebut wacana Prabowo sebagai populisme sauvinis. Prabowo menempatkan diri sebagai juru selamat bangsa dari para elite korup dan etnis Cina yang mengancam nasionalisme dan perekonomian nasional. Persinggungan isu ini dengan kelompok islamis hanya pada pilihan pragmatis Prabowo yang membutuhkan suara kelompok Islam, tetapi resonansinya berhasil meluas. Kalangan yang sebelumnya jauh dari unsur politik turut tergerak, dari komunitas perempuan yang bangga menyebut dirinya emak-emak sampai ulama muda yang tengah naik daun seperti Abdul Somad dan Adi Hidayat.
Peran politikus Gerindra, Fadli Zon, sangat penting di sini. Fadli Zon Tumbuh sebagai aktivis Islam di akhir Orde Baru, bekerja di beberapa media Islam, bergiat di Gerakan Pemuda Islam, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam, dan turut menjadi Ketua DPP Partai Bulan Bintang. Ia juga dekat dengan Prabowo sejak menjabat di Institute for Policy Studies, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, dan hingga kini di DPP Gerindra. Posisi unik ini menjadikan Fadli Zon mampu bernarasi tentang kegentingan umat Islam (yang terbaru soal pembubaran Densus 88) untuk menjaga tensi politik, meski ia mengaku kecewa dengan partai berbasis agama.
Dengan narasi Fadli Zon dan pihak sekular lain seperti Rocky Gerung, yang juga mengkritik Jokowi, kaum Islamis memiliki semacam “bahan bakar intelektual”. Cuitan Fadli Zon di Twitter, video Rocky Gerung di YouTube, dan ucapan keduanya di temuwicara televisi beredar dengan cepat dari satu grup WhatsApp ke grup WhatsApp lain. Persebaran isu di media sosial yang nyaris tak terkendali membulatkan narasi tersebut menjadi bola liar: menggelinding tanpa arah dan diterima dengan amarah. Komposisi aneh karena pijakan ideologis yang berbeda-beda ini membuat kelompok islamis sangat bergantung pada pasokan isu kelompok sekular, ditambah isu-isu lama yang masih mereka percaya seperti kebangkitan PKI.
Cherian George dalam Hate Spin: the Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy (2016: 4) menyebut keadaan ini sebagai pelintiran kebencian, yang didefinisikannya sebagai “penghinaan dan ketersinggungan yang sengaja diciptakan, dan digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas kelompok untuk memobilisasi pendukung dan menekan lawan.” Berbeda dari ujaran kebencian biasa, para pialang politik berperan besar dalam pelintiran kebencian ini. Mereka memanipulasi emosi masyarakat dengan suatu kalkulasi politis yang dingin dan tenang. Mobilisasi pendengung (buzzer) dalam politik Indonesia, dari pihak politis manapun itu, tepat berada dalam konteks ini. Di tangan politikus, hal ini adalah jembatan untuk mencapai ambisinya. Di tengah masyarakat, ia adalah api dalam sekam yang dirawat dalam desas-desus, tanpa analisis yang mandiri dan berarti.
Memulihkan Populisme Islam
Tanpa kemandirian dalam membaca gejala, kelompok islamis akan terus bergantung pada kekuatan politikus—termasuk mereka yang sekular. Dengan kekuatan yang tersisa sekarang, menunggu hasil kompromi politik para elite partai Islam sama sia-sianya dengan mengharapkan sosok sejenis Prabowo di masa depan. Retorika populisme seperti ketika Aksi Bela Islam tahun 2016, dengan memanfaatkan gelombang hijrah dan sejenisnya yang tengah digandrungi, jelas bukan pilihan yang benar. Ongkos sosialnya tinggi jika hanya meruncingkan polarisasi lagi, sementara hasilnya tak pernah pasti. Agar tak semakin centang perenang, mereka harus mengambil jalan lain yang lebih memutar. Populisme Islam harus dipulihkan dengan cara yang lebih progresif.
Pertama, kaum islamis harus berpikir dan memandang lebih luas dari kerangka kepartaian. Langkah ini mungkin yang paling sulit dibayangkan oleh kaum islamis. Tatapan mata mereka selalu mengarah pada penguasaan politik dan hukum untuk mewujudkan kepatuhan masyarakat yang “sesuai Islam.” Mereka yang anti-demokrasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia pun menyebut diri sebagai partai politik, meski tak ikut pemilu dan saat ini sudah bubar secara kelembagaan. Ketika partai politik Islam yang tersedia dianggap tak memuaskan, sebagian kaum islamis kerap mendirikan partai baru meski dengan kualitas dan kuantitas yang rendah.
Pada Pemilu 1999, ada 17 partai Islam berlaga dan sebagian besar dipimpin orang-orang yang pernah terlibat di PPP masa Orde Baru. Lili Romli dalam "Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia" menguraikan faktor kemunculan partai-partai Islam itu, yakni estimasi berlebihan para elite terhadap mayoritas muslim Indonesia untuk memilih mereka berdasarkan kesamaan agama. Ia menyebutnya sebagai “mitos politik kuantitas” lantaran hasil yang diharapkan tak pernah memuaskan mereka. Di ranah pemilihan presiden juga sama: hingga 2018, tak ada satu pun kader partai Islam memiliki tingkat elektabilitas di atas 1%. Partai-partai Islam baru yang dideklarasikan setelah Pilpres 2019, seperti Masyumi Reborn, Partai Gelora, Partai Dakwah Rakyat Indonesia, atau Partai Ummat, kemungkinan bernasib sama.
Kedua, kaum Islamis harus mewujudkan gerakan sosial berbentuk masyarakat sipil yang lebih serius dan independen. Sumber daya kalangan Islamis yang merentang dari kaum miskin kota (seperti pada eks-FPI) dan mahasiswa (seperti Gerakan Tarbiyah dan eks-HTI) adalah bekal yang baik untuk berwacana di banyak isu. Keterlibatan mereka di bidang-bidang yang mereka hidupi dan pelajari dapat menjadi lokus perjuangan yang lebih autentik dibandingkan mengikuti kepentingan politikus. Jika masih terbata-bata mewujudkannya, mereka bisa belajar dari contoh masa lalu dan masa kini.
Di tahun 1980-an, ketika intervensi politik PPP terhadap NU begitu besar, Abdurrahman Wahid yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU menegaskan bahwa NU kembali ke Khittah 1926 sebagai jam’iyah (organisasi) dan jama’ah (komunitas). Djohan Effendi dalam Pembaruan tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (2010) merekam keberhasilan Gus Dur dalam membangun NU sebagai masyarakat sipil. Pesantren secara perlahan menjadi basis pengembangan masyarakat yang diisi oleh generasi muda NU yang mulai berwacana tentang gagasan-gagasan politik kritis. Mereka juga membaca dan mendiskusikan kembali asumsi-asumsi keagamaan lama yang tertuang dalam kitab kuning, lalu menimbangnya dengan gagasan-gagasan modern seperti demokrasi, HAM, dan gender.
Usaha sejenis dilakukan oleh muslim modernis seperti Sudjoko Prasodjo, Dawam Rahardjo, dan Adi Sasono. Bahtiar Effendi dalam Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (2009: 180-183) menyebut peran mereka di ranah transformasi sosial sebagai “memperagam makna politik Islam.” Agenda mereka berorientasi pada masyarakat. Suara politis mereka mengarah pada pembentukan masyarakat yang kuat, alih-alih partai politik, yang berhadap-hadapan dengan negara. Mereka terlibat di dalam kerja-kerja penelitian dan pemberdayaan dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat.
Posisi yang tidak partisan membuat mereka bisa leluasa memasuki pelbagai lapisan masyarakat tanpa perlu dicurigai membawa kepentingan politis tertentu. Mereka justru ingin memberi makna yang lebih luas dari politik, di ranah dan program yang lebih beragam. Selain itu, mereka mencukupkan diri dengan peran reformis sehingga tetap mampu menjalin hubungan dengan negara dan partai politik.
Meski tak selalu mulus, hasil perjuangan di atas adalah simbiosis antara aktivisme dan intelektualisme Islam yang berperan signifikan hingga sekarang. Di tingkat pemikiran, gerakan semacam ini menjadi lahan subur bagi pertumbuhan wacana seperti “pembaruan Islam” dan “Islam liberal” yang menghangatkan situasi perdebatan di awal era Reformasi. Kaum Islamis tentu menolak wacana semacam itu, tetapi dimensi transformatifnya tetap penting dipelajari untuk kepentingan masyarakat sendiri.
Sebagai perbandingan, organisasi masyarakat sipil hari ini juga memiliki dasar ideologis yang beragam, merentang dari reformis sampai revolusioner. Namun, cakupan isu mereka yang merentang (anti korupsi, HAM, agrarian, lingkungan, perempuan dan anak) membuatnya diterima banyak kalangan, terutama yang benar-benar terpinggirkan secara strukrural oleh kebijakan pemerintah yang pincang. Ketika diturunkan menjadi gerakan sosial, seperti #ReformasiDikorupsi, hasilnya adalah gelombang yang signifikan.
Kehadiran kelompok Islamis, dengan segala modal sosial dan kulturalnya di ranah hajat hidup orang banyak akan memberi warna tersendiri bagi kelompok pro-demokrasi. Tanpa tendensi menjadi sektarian, penguatan basis masyarakat adalah penguatan umat Islam itu sendiri, karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Langkah ini pula yang akan memperbaiki hubungan kelompok Islamis dengan kelompok Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Kepentingan politik yang tinggi di kalangan mereka kerap membuat dua ormas ini menaruh curiga.
Pada kasus NU di masa Jokowi, kecurigaan tersebut bahkan terartikulasi dalam kepentingan mereka pada pembubaran HTI dan FPI. Sementara itu, banyak kader Muhammadiyah yang terbawa gelombang kaum Islamis sejak 212. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir sampai harus berpesan, “Umat Islam harus cerdas, melek politik, dan tidak gampang terpolarisasi,” ketika menyatakan tak ikut Reuni 212.
Konsistensi mengambil peran masyarakat sipil oleh kalangan Islamis mungkin baru terbukti beberapa waktu lagi. Tetapi, ujiannya terbesarnya akan terus datang setiap Pemilihan Umum. Di Pemilu 2024, untuk mengambil contoh terdekat, mereka harus memutuskan dengan segera: menjadi kekuatan bermartabat yang kritis terhadap kekuatan politik mana saja tetapi berterima di hadapan semua massa rakyat atau memberikan cek kosong pada sosok tertentu (yang kini mengarah kuat pada Anies Baswedan) dengan sehimpun jargon dan dalil agama yang makin hambar.
==========
Ismail Al-'Alam tinggal di Yogyakarta; berkuliah di Magister Filsafat Keilahian, Peminatan Studi Perdamaian, Universitas Kristen Duta Wacana dan di Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma; bekerja di Yayasan Bentala dan Rumah Pengetahuan Amartya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan