tirto.id - Anggota Koalisi Independen dan Demokratisasi Penyiaran, R. Kristiawan, menilai wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih lemah. Salah satu implikasinya adalah muncul iklan partai politik yang ditayangkan televisi di luar masa kampanye.
KPI telah mengeluarkan Surat Edaran No. 225/K/KPI/31.2/04/2017 pada April 2017 berisi larangan kepada lembaga penyiaran untuk menayangkan iklan/mars/himne parpil di luar masa kampanye. Sayangnya, surat edaran ini digagalkan melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang dilayangkan oleh Partai Berkarya dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia.
Kristiawan menyayangkan putusan PTUN tersebut karena lembaga penyiaran yang menayangkan iklan/mars/himne parpol di luar masa kampanye sudah melanggar frekuensi publik.
"Frekuensi yang dipakai televisi itu milik masyarakat. Maka, tidak boleh dipakai untuk sarana pemenangan politik," katanya kepada Tirto, Kamis (10/5).
"UU pemilu mengatur masa kampanye. Kalau setiap hari kita lihat kampanye, ini sudah tidak benar. Perindo, misalnya, setiap hari menayangkan iklan partai. Tidak boleh itu. Itu aktivitas politik. Jadi, saya heran ada putusan PTUN seperti itu," ujar Kristiawan menyebut parpol yang didirikan oleh Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group.
Dugaan pelanggaran frekuensi publik diperkuat karakter frekuensi radio itu sendiri. Pada televisi, salurannya sangat terbatas. Masyarakat mau tidak mau melihat, atau setidaknya melewati saluran televisi, yang menampilkan iklan politik tersebut. Ini berbeda dari media cetak atau elektronik, masyarakat punya otoritas untuk memilih konten yang ingin mereka ketahui saja.
"Frekuensi ini mau tidak mau mesti kita terima. Ia masuk tanpa perlu kita undang. Itu namanya pervasif (memiliki kemampuan untuk menyebar)," katanya.
Soal ketidakmampuan KPI untuk membatasi tayangan-tayangan seperti itu, ujar Kristiawan, karena memang kewenangan KPI sangat terbatas. Merujuk negara-negara demokratis lain, menurut Kristiawan, idealnya semua aturan yang dibuat KPI tidak bisa lagi digugat oleh pihak manapun, termasuk oleh pemerintah.
"Di Indonesia, KPI secara hukum dibuat sangat lemah," ujarnya.
Hingga 2005, izin siar sepenuhnya diatur oleh KPI. Namun UU 32/2002 tentang penyiaran, yang memberi wewenang penuh kepada KPI untuk memberi izin siar, kemudian digugat. Akhirnya, kewenangan perizinan dari KPI dipangkas dan dibagi dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Usaha itu dianggap sebagai pelemahan KPI, sama seperti putusan PTUN kemarin.
"Konyolnya, pelemahan KPI dilakukan di MK," imbuhnya.
Baca juga:
Menyesalkan Putusan PTUN soal Iklan Politik di TV
Karena Iklan Perindo, MNC Grup Kena Sanksi
KPI Keluarkan 674 Sanksi untuk Lembaga Penyiaran
Menancapkan Mars Perindo lewat Stasiun TV milik Pribadi
Pengurus Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) bidang penyiaran, Bayu Wardhana, setuju pendapat Kristiawan. Menurutnya, frekuensi publik tak sepatutnya digunakan untuk sarana politik. Bila memang bertujuan mengenalkan partai kepada masyarakat, seharusnya seluruh partai mendapat bagian atau kesempatan yang sama.
"Iklan parpol harusnya itu adil," katanya kepada Tirto.
Berdasarkan UU Penyiaran, Bayu menilai bahwa media harus bersikap independen. Sayangnya, kepemilikan media televisi oleh pemilik partai belum diatur oleh undang-undang. Meski revisi UU Penyiaran sedang dibahas oleh DPR, Bayu sanksi bahwa aturan soal kepemilikan tersebut dievaluasi. "Saya sudah lihat drafnya. Itu sama sekali tidak ada," katanya.
Karena tak ada regulasi ketat soal pembatasan pemilik media oleh pimpinan parpol, surat edaran KPU yang mengatur iklan parpol di luar masa kampanye jadi ompong belaka. Meski pesan iklan parpol itu tidak mengajak khalayak untuk memilih, tapi dengan menyiarkannya terus-menerus tetap bisa memengaruhi preferensi pemilih.
"Frekuensi publik yang dipakai televisi ini ibarat jalan raya atau taman kota yang dilewati semua orang. Karena televisinya dimiliki parpol, jadinya dipakai sendiri dan jualan produknya sendiri," kata Bayu menganalogikan situasi pemakaian televisi sekarang.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino