tirto.id - Pengakuan Brigjen Pol Siswandi dan La Nyalla Mattalitti soal dana miliaran rupiah yang diminta partai politik sebagai syarat memperoleh rekomendasi Pilkada memunculkan kembali dugaan adanya mahar politik. Hal ini disinyalir sebagai salah satu penyebab mahalnya biaya pesta demokrasi pemilihan kepala daerah ini.
Data Litbang Kemendagri terkait Pilkada serentak 2015, misalnya, mengkonfirmasi soal mahalnya biaya politik ini. Hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk menjadi walikota/bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp20 hingga Rp30 miliar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar Rp20 sampai 100 miliar.
Akibatnya, tak sedikit para kandidat yang maju dalam Pilkada tersebut mencari dana tambahan di luar yang telah dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik dalam bentuk Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) maupun Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Maka tak heran jika dalam kajian KPK “Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada” menemukan fakta bahwa pengeluaran aktual pilkada lebih besar dari LPPDK dan LPSDK.
Data dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang dikutip KPK dalam kajian tersebut menyebutkan, ada empat sumber pengeluaran yang menyebabkan tingginya ongkos politik ini, yaitu: Pertama, biaya “perahu” pencalonan kepala daerah atau yang sering dikenal dengan mahar politik. Kedua, dana kampanye untuk politik pencitraan. Ketiga, ongkos konsultasi dan survei pemenangan. Keempat, praktik politik uang.
Selama ini, praktik antara mahar politik dan dana saksi yang diminta partai kepada kandidat memang sulit dibedakan. Apalagi UU Pilkada tidak mengatur secara rinci soal dana saksi, sehingga hal ini menjadi celah bagi partai untuk mencari dana dari calon yang membutuhkan rekomendasi di pilkada.
Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan mengaku saat ini pihaknya memang tidak mengatur tentang mekanisme dana saksi ini. Selama ini, kata Wahyu, KPU mempersilakan partai politik menetapkan biaya saksi sendiri, karena KPU tidak bisa mengatur wilayah internal partai.
Wahyu beralasan, istilah “dana saksi” menjadi kewenangan partai politik. Dalam konteks ini, parpol mempunyai kewenangan penuh apakah ingin meminta dana saksi atau tidak kepada kandidat. “Kami mengatur yang umum-umum saja. Bagaimana mereka saksi di TPS, honor berapa, bukan urusan KPU,” kata Wahyu di kantor KPU, Jakarta, Rabu (17/1/2018).
KPU sendiri tidak berencana mengatur lebih jauh mengenai dana saksi ini. Namun, Wahyu mengaku, pihaknya akan mengatur lebih lanjut tentang masalah sumbangan dana kampanye. Ke depan, kata dia, setiap pasangan calon membuat rekening dana kampanye, dan rekening dana kampanye ini harus rinci, seperti siapa penyumbang, nominal uang dan asal-muasal uang sesuai PKPU No. 5 tahun 2017 tentang Dana Kampanye, serta UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
“Kita tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang dana saksi. Tetapi bahwa nanti laporan dana kampanye itu mereka silakan membuat untuk kegiatan [dana saksi] ini,” kata Wahyu. Ia menambahkan “belum [diatur]. Jadi kalau tentang mahar atau bukan mahar itu bukan wilayah kami.”
Komisioner Bawaslu RI, Fritz Edward tidak memungkiri jika selama ini belum ada aturan yang detail tentang keberadaan dana saksi ini. Bawaslu sendiri belum mengeluarkan aturan khusus dalam bentuk Perbawaslu terkait dana saksi sebagai bagian dari dana kampanye. Akan tetapi, Bawaslu tetap mengawasi soal dana saksi yang kerap dijadikan celah bagi parpol sebagai mahar politik.
“Pertanyaannya, saksi itu kan baru akan dipergunakan untuk bulan Juni, sedangkan sekarang baru Januari. Apakah secara logika mungkin dana yang dipergunakan di bulan Juni akan diserahkan sekarang, sementara sekarang masih punya waktu?” kata Fritz saat ditemui di Bawaslu, Jakarta, Rabu kemarin.
Fritz tidak menampik istilah dana saksi ini akan mengarah kepada dugaan praktik mahar atau tidak. Ia mengingatkan, apabila dana saksi dapat digolongkan sebagai mahar, maka pelaku dan penerima dana bisa dikenakan sanksi pelanggaran pemilu.
Mereka bisa dikenakan melanggar Pasal 187 b dan 187 c UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 187 huruf b, misalnya, menyatakan “Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Sementara Pasal 187 huruf c berbunyi “Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Hingga saat ini, kata Fritz, Bawaslu memang belum menemukan indikasi mahar politik. Namun, kata dia, pihaknya sedang memantau dua kasus dugaan mahar politik secara serius, yakni: pernyataan La Nyalla terkait adanya dugaan mahar Rp40 miliar untuk ikut Pilgub Jatim, serta pengakuan Brigjen Pol Siswandi yang ingin ikut dalam Pilwalkot Cirebon.
Dalam kasus ini, Bawaslu Jawa Timur tengah berusaha mengonfirmasi kebenarannya kepada La Nyalla, pada Rabu (17/1/2018). Sementara Brigjen Pol Siswandi akan diklarifikasi pada Jumat (19/1/2018) oleh pihak Panwaslu Cirebon Kota. Selain 2 kasus itu, kata Fritz, pihaknya juga memproses kasus lain, seperti di Batubara, Sumatera Utara dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Ke depan, kata Fritz, Bawaslu berencana membuat aturan khusus untuk mencegah praktik mahar politik dengan dalih dana saksi. Namun demikian, kata dia, pihaknya perlu melihat posisi dana saksi sebelum membuat aturan tersebut.
“Mungkin itu akan diatur, tapi mungkin pertanyannya dana saksi itu masuk ke mana? Apakah dana operasional atau masuk kepada dana kampanye atau laporan yang dilaporkan di dalam dana kampanye itu,” kata Fritz.
Jadi Celah Cari Uang
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan, selama ini memang sulit sekali membedakan antara dana saksi dengan mahar politik. Alasannya, pemerintah belum mengatur soal dana saksi ini. Dalam UU No 10 tahun 2016, misalnya, pemerintah hanya mengatur dana kampanye, sehingga tidak ada detail secara spesifik untuk mendefinisikan dana kampanye sebagai mahar.
“Dana saksi itu sendiri dana yang tidak jelas pertanggungjawabannya karena dana kampanye itu kan adalah dana yang digunakan calon sejak dia ditetapkan sebagai calon sampai kampanye berakhir. Dana-dana yang beredar di masa tenang, di hari pemungutan suara, itu tidak dianggap sebagai bagian dari dana kampanye,” kata Titi saat ditemui Tirto, di kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu.
“Jadi dari sana sendiri sebenarnya dana saksi ini pengeluaran yang tidak menjadi bagian dari dana kampanye, lalu pelaporan pertanggungjawabannya juga tidak jelas,” kata Titi.
Menurut Titi, selama ini dana saksi justru diatur oleh setiap partai. Parpol lah yang menentukan biaya setiap saksi dan jumlah saksi yang ditempatkan di setiap TPS. Sepengetahuan Titi, setiap parpol mematok anggaran setidaknya seratus ribu per orang di tiap TPS.
Setiap TPS pun, kata Titi, bisa ditempatkan sekitar 2 hingga 4 orang saksi di luar saksi TPS. Ia justru melihat ada makna lain dari pengerahan saksi tersebut. “Kalau saya meliaht saksi tidak sekadar saksi, tetapi juga untuk memobilisir. Jadi kalau dia bisa meng-hire banyak orang itu bagian juga untuk mengkonsolidasi dukungan. Tapi kalau memang di situ biaya saksi ini kita tidak pernah mendapatkan informasi yang jelas berapa, kemudian sumbangan dapat dari mana, itu enggak pernah ada,” kata Titi.
Titi menyatakan, dana kampanye pasangan calon bisa diperoleh dari sejumlah cara, yakni sumbangan partai politik atau gabungan partai politik, sumbangan pasangan calon dan/atau sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan atau badan hukum swasta.
Hal itu sesuai dengan Pasal 74 UU 10 tahun 2016 ayat 1 tentang jalur penerimaan dana calon. Sementara itu, Pasal 74 ayat 5 menjelaskan tentang dana kampanye perseorangan paling banyak berjumlah Rp75 juta, sementara badan hukum swasta paling banyak Rp750 juta. Namun, tidak ada satu pun ketentuan besaran dana saksi serta definisi dana saksi.
Titi khawatir, munculnya permintaan dana saksi telah merendahkan harkat dan marwah partai sebagai institusi kaderisasi pemimpin daerah dan negara. “Jadi kalau kemudian semua dibebankan kepada calon, calon yang menjadi penanggung jawab, maka partai hanya menjadi institusi sebagai open penyedia perahu, melepaskan fungsinya sebagai institusi kaderisasi dan rekrutmen politik,” kata Titi.
Menurut Titi, permasalahan dana saksi ini telah menjadi persoalan yang bertahun-tahun tidak terselesaikan. Karena itu, kata Titi, pemerintah harus menutup celah ini agar tidak terjadi istilah mahar politik dengan dalih dana saksi. Ia menyarankan agar pengadaan dana saksi diatur sedemikian rupa. Sebab kewenangan penetapan dana saksi tidak bisa diatur dalam PKPU, tetapi dengan mengubah undang-undang tentang dana kampanye.
“Jadi dananya itu tidak hanya dana kampanye, tapi dana pilkada. Jadi dana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah pasangan calon. Semua dana yang dia keluarkan dari memulai masa pencalonan sampai penetapan hasil harus dilaporkan," kata Titi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz