Menuju konten utama

Megawati, Dinasti Politik dan Pengalaman Pascakolonial

Trah Sukarno dalam politik Indonesia juga banyak dialami negara-negara pascakolonial. Namun Megawati punya kekhususan.

Megawati, Dinasti Politik dan Pengalaman Pascakolonial
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berpidato sebelum membuka membuka rapat koordinasi Tiga Pilar PDI Perjuangan di Pangkalpinang, Bangka Belitung, Kamis (9/2). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Megawati dikabarkan ingin pensiun dari politik. Selain pernah menjabat sebagai wakil presiden (2000-2001) dan presiden (2001-2004), ia juga memegang posisi ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak partai tersebut berdiri pada 1999 hingga hari ini. Pada 1993, ia terpilih dalam kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan bertahan hingga 1996, ketika rezim Orde Baru mendudukkan Soerjadi dan menggeser putri Sukarno dari pucuk kepemimpinan partai secara paksa. Peristiwa itu disambut dengan kerusuhan besar di Jakarta pada 27 Juli 1996.

Kedudukan sosial sebagai anggota trah Sukarno adalah sebuah currency dalam politik Indonesia. Selain Megawati, publik mengenal nama Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra. Melihat besarnya pengaruh keluarga Megawati dalam PDIP, Puan Maharani dan Prananda Prabowo, dua anak Megawati, diduga kuat akan mengisi pucuk kepemimpinan partai.

Politik Dinasti

Karya klasik Stephen Hess, America's Political Dynasties from Adams to Kennedy (1966) mendefinisikan dinasti politik sebagai "keluarga yang memiliki setidaknya empat anggota bernama [belakang] sama, terpilih menduduki jabatan federal". Hari ini Amerika Serikat memiliki beberapa trah yang berpengaruh di politik nasional, yang bisa disaksikan dalam panggung pemilu 2016: keluarga Bush dan keluarga Clinton.

Pada saat Hess menulis America’s political dynasties, tercatat 22 dinasti politik, termasuk keluarga Adam, Taft, Roosevelt, Kennedy yang masing-masing pernah melahirkan satu atau dua presiden. Dinasti politik di Amerika menghasilkan delapan presiden, tiga wakil presiden, tiga puluh tiga senator, dua belas gubernur negara bagian, enam puluh enam anggota House of Representatives, serta sembilan menteri.

Itu memang jumlah yang banyak walau bukan mayoritas. Jumlah anggota keluarga yang tidak terjun ke politik juga banyak. Mereka pun tak lepas dari masalah keseharian orang kebanyakan, mulai dari kecanduan obat, bunuh diri, skandal seks, korupsi, dan banyak lagi.

Modal kebudayaan, jejaring bisnis, serta pengetahuan khas “orang dalam” tentang cara politik bekerja, memungkinkan suatu trah politik untuk terus menduduki jabatan-jabatan publik pada level yang berbeda-beda.

Di sejumlah negara Dunia Ketiga, keberadaan dinasti politik dimungkinkan salah satunya oleh pengalaman pascakolonialisme. Trah politik penghasil kepala negara/pemerintahan di negara-negara yang baru merdeka pasca-Perang Dunia II seperti India, Indonesia, atau Malaysia dapat dilacak sampai ke lingkaran elit terpelajar yang memutuskan terjun ke kancah politik di zaman kolonial.

Indira Gandhi dan Rajiv Gandhi adalah anak dan cucu dari Jawaharlal Nehru; Perdana Menteri Singapura saat ini, Lee Hsien Loong, adalah anak Lee Kuan Yew; Najib Razak, Perdana Menteri Malaysia, adalah anak dari Tun Abdul Razak, perdana menteri kedua Malaysia. Kecuali Soekarno, mereka sempat mengenyam pendidikan tinggi di Amerika Serikat atau Inggris sebelum akhirnya berkarir di jalur politik.

Orang-orang ini dikenang di negeri masing-masing sebagai “pendiri bangsa.” Nama mereka ditulis dengan harum di buku-buku sejarah dan dikenang lewat monumen-monumen dan beragam perayaan.

Selain yang dikenal sebagai “pendiri bangsa” atau “presiden/perdana menteri pertama”, sosok pembaharu seperti Zulfikar Ali Bhutto—yang digulingkan dalam sebuah kudeta dan mati digantung—juga menghasilkan dinasti. Transisi demokratik pun melahirkan keluarga politik.

Laurent-Désiré Kabila, Presiden Republik Kongo (1997-2001), misalnya, yang menggulingkan diktator Mobutu Sese Seko. Delapan hari setelah Laurent-Désiré Kabila dibunuh, ia digantikan oleh putranya, Joseph Kabila, yang berkuasa hingga hari ini. Lain halnya dengan keluarga Aquino di Filipina, yang telah berpolitik sejak Servillano Aquino terpilih menjadi anggota Kongres pada 1898. Pembunuhan senator Benigno Aquino, Jr., memicu People Power pada 1986 yang menggulingkan diktator Ferdinand Marcos. Corazon Aquino mengambil peran penting sebagai tokoh oposisi setelah kematian suaminya dan terpilih sebagai presiden di tahun yang sama. Pada 2010 Benigno Aquino, putra Corazon, terpilih sebagai Presiden Filipina.

Megawati memiliki dua kredensial tersebut: sebagai putri proklamator dan sebagai salah satu pemimpin oposisi terhadap rezim Soeharto pada dekade 1990an.

Akhir Politik Dinasti?

Dinasti politik, kendati bertahan melalui sistem pemilu yang bebas, cenderung korup. Nama besar kerap kali juga jadi beban, khususnya untuk anggota klan yang kurang kompeten. Mereka akan selalu dibandingkan dengan pendahulunya yang dinilai atau diingat publik sebagai cemerlang.

Di Kongo, para pengkritik mengecam Laurent-Désiré Kabila karena di bawah pemerintahannya, korupsi dan pembunuhan politik tetap terjadi, bahkan disponsori negara—tidak berbeda jauh dengan era Mobutu. Putranya Joseph Kabila dilaporkan memiliki 70 perusahaan tambang emas, berlian, tembaga, dan mineral lainyang dikontrol oleh istri, dua anak, dan delapan saudara kandungnya.

Benigno Aquino mulai berkuasa dengan program pemberantasan korupsi. Pada akhir jabatan, korupsi lekat dengan namanya. Di India, dominasi dinasti Nehru harus tunduk pada Narendra Modi. Rahul Gandhi tak mampu menjelaskan kasus korupsi yang dilakukan adiknya.

Sementara Bilawal Bhutto Zardari, yang kini memimpin Partai Rakyat Pakistan, putra Benazir Bhutto, selain dianggap tak memiliki kharisma sang bunda, juga dibebani oleh rekam jejak ayahnya, Asif Ali Zardari, yang terpilih sebagai presiden pada 2008, setahun setelah kematian tragis Benazir di tangan militan Taliban. Pemerintahan Zardari ditandai oleh skandal korupsi, nepotisme dan kegagalan meredam militansi Islamis.

Infografik Politik Dinasti

Survey Kompas mencatat bahwa menjelang pemilu 2014, Megawati bukan sosok yang populer. Pengaruhnya terbatas pada simpatisan PDIP, kalah dari Joko Widodo yang kelak ia ajukan sebagai kandidat presiden, dan dari popularitasnya sendiri pada pemilu 1999, ketika PDIP memenangkan mayoritas suara di parlemen.

Persepsi publik atas Megawati pun tak sepenuhnya positif. Kendati tim ekonomi Megawati dinilai berhasil membuat stabil ekonomi nasional setelah dihajar krisis finansial Asia 1997, publik mengingat pemerintahannya menjual 41,94 saham Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. Pada 2003, Megawati juga memberlakukan Darurat Militer di Aceh, suatu kebijakan yang dinilai mengembalikan provinsi tersebut ke era Darurat Operasi Militer (1988-1998).

Adapun putri Megawati, Puan Maharani, menteri dalam kabinet Jokowi, juga bukan menteri yang populer dalam persepsi publik. Status sebagai anggota dinasti Sukarno membuatnya sulit untuk tidak selalu dibanding-bandingkan dengan kakeknya.

Ini baru dinasti yang menghasilkan presiden, belum yang melahirkan kepala daerah seperti dinasti Ratut Atut di Banten dan banyak lagi. Setelah kasus korupsi Ratu Atut terungkap beberapa tahun silam, publik rupanya semakin kritis terhadap praktik politik dinasti. Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden menunjukkan kecenderungan tersebut—meskipun penunjukkannya sebagai kandidat barangkali juga bisa dilihat sebagai cara untuk mengamankan praktik-praktik dinastik pada lapis tertentu.

Di India, terpilihnya politisi ultra-kanan Narendra Modi sebagai perdana menteri India menunjukkan fenomena serupa. Demikian pula di Amerika pada pemilu 2016 lalu, ketika nama Bernie Sanders dan Donald Trump, yang berasal dari spektrum politik yang berseberangan, tiba-tiba mencuat. Mereka tidak hanya mewakili orang luar partai (outsiders), tapi juga orang di luar dinasti politik.

Sebagaimana Partai Rakyat Pakistan yang sulit dilepaskan dari trah Bhutto, PDIP pun tampaknya mengalami nasib yang sama. Rekam jejak yang baik dan buruk, serta kredensial ganda Megawati (sebagai keluarga proklamator dan pemimpin oposisi) pada akhirnya ikut melekat pada partai tersebut.

Baca juga artikel terkait MEGAWATI SOEKARNOPUTRI atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Windu Jusuf