Menuju konten utama

Mahar Politik, Potret Buruk Transparansi Keuangan Partai

Guna mengatasi potensi korupsi dana partai dan mahar politik, kader atau anggota partai dapat aktif melaporkan dugaan penyelewengan ini kepada penegak hukum.

Mahar Politik, Potret Buruk Transparansi Keuangan Partai
Ilustrasi Pimpinan Partai. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/17

tirto.id - Pengelolaan dana partai politik mulai sorotan pascakonflik Partai Hanura mencuat. Oesman Sapta Odang selaku Ketua Umum Partai Hanura dituding menggelapkan dana partai ke rekening pribadinya oleh sejumlah anggota yang kemudian menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (18/1/2018).

Tuduhan itu dilayangkan Ketua DPD Hanura Sumatera Selatan Mularis Djahri bahwa OSO diduga memindahkan dana parpol sebesar Rp200 miliar ke rekening pribadinya.

Pengamat politik dari Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati menilai, masalah dana partai tak bisa dilepaskan dari isu mahar politik dan transparansi keuangan partai. Menurut Mada, kemunculan mahar politik ini dilatari terbatasnya sumber pendanaan parpol.

“Jadi mahar politik harus dilihat dari konteks yang lebih luas. Persoalan keuangan partai akhirnya yang membuat mahar politik terjadi,” kata Mada kepada Tirto, Jumat (19/1/2018).

Karena telah menjadi salah satu sumber pendanaan parpol, praktik pemberian mahar kerap terjadi menjelang pemilu atau Pilkada. Masalahnya, kata dia, transparansi dan tanggung jawab pengelolaan dana parpol belum berjalan dengan semestinya sehingga membawa dampak buruk untuk parpol.

“Saya menduga banyak praktik pengelolaan uang mahar itu personal, sehingga tak menutup kemungkinan masuk kantong pribadi,” ujar Mada.

Dampak buruk ini terjadi, kata Mada, karena lemahnya keterbukaan anggaran parpol di Indonesia. Mada meyakini banyak kader dan pengurus parpol yang tidak mengetahui detail keuangan partai dan urusan keuangan ini hanya diketahui ketua umum dan bendahara partai.

Mada menilai, partai di Indonesia seharusnya sadar bahwa mereka merupakan lembaga publik yang berbeda dengan perusahaan swasta. Partai dituntut transparan dan mencari sumber pendanaan yang sesuai peraturan.

“Salah satu dimensi bahwa parpol bisa dikatakan dikelola demokratis adalah pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Maksudnya, pengelolaan diketahui publik dan anggotanya sendiri,” tuturnya.

Mahar Politik dan Penyelewengan Dana Parpol Bisa Dipidana

Guna mengatasi potensi korupsi dana partai dan mahar politik, kader atau anggota partai dapat aktif melaporkan dugaan penyelewengan ini kepada penegak hukum.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz berkata, pelaku dapat terkena ancaman hukuman seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Jeratan pidana, kata Donal, dapat dikenakan pada maling dana parpol karena uang partai termasuk kategori milik publik serta bagi partai dan calon yang memberikan duit mahar. Meski sudah ada regulasinya, Donal menyebut, tak banyak anggota partai yang melaporkan dugaan penyelewengan ini.

“Karena banyak pengurus parpol khususnya di daerah belum terlalu memahami aspek-aspek tata kelola keuangan yang baik dalam pendanaan partai," ujar Donal kepada Tirto.

Penindakan serta pencegahan maling dana parpol dianggap Donal bisa melibatkan instansi penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polisi, Kejaksaan, dan Badan Kesbangpol di daerah.

Ihwal dana parpol ini, Direktur Politik Dalam Negeri di Kemendagri Bahtiar menjelaskan dana parpol seharusnya hanya digunakan untuk tugas dan fungsi pokok partai. Secara spesifik ia mengatakan, penggunaan dana parpol yang bersumber dari bantuan pemerintah bahkan harusnya hanya digunakan untuk dua hal; kegiatan pendidikan politik dan operasionalisasi kesekretariatan parpol.

“Hasil pelaksanaan bantuan keuangan parpol di audit oleh BPK RI. Jika terjadi penyimpangan, maka dapat diberi tindakan sesuai hasil audit BPK RI apakah misalnya termasuk kerugian negara dan lain-lain,” ujar Bahtiar kepada Tirto.

Pedoman penggunaan dana parpol dan sanksi bagi oknum yang menyalahgunakannya tercantum pada UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Parpol, PP Bantuan Keuangan Parpol, dan Peraturan Mendagri Nomor 6 tahun 2017 tentang Tatacara Penganggaran, Penyaluran dan Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Parpol.

Kontroversi Dana Parpol

Dugaan penyelewengan dana milik Hanura oleh OSO membuka kembali pembicaraan seputar tata kelola uang parpol. Isu ini sempat mencuat ketika pemerintah mewacanakan memberi kenaikan anggaran bagi partai sejak Maret 2017.

Dalam rencana kenaikan ini, Pemerintah akan memberi bantuan Rp1.000 per suara sah dari sebelumnya Rp108 per suara sah. Rencana kenaikan ini tertuang di Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 pada 29 Maret 2017 dan saat ini masih berada di Sekretariat Negara. Tak hanya itu, dasar aturan kenaikan dana bantuan parpol juga terdapat di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 01 tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik.

Pada November lalu, Pemprov DKI berencana menaiKkan dana bantuan partai dari Rp108 menjadi Rp4.000 per suara. Kenaikan ini menuai kecaman dari berbagai pihak seperti yang dilakukan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam. Roy menyebut, rancangan revisi sebuah PP tak bisa dijadikan acuan menyusun APBD. Kenaikan dana bantuan parpol atas dasar rancangan revisi PP disebut melanggar asas dan prinsip penyusunan APBD.

“Itu ngawur namanya. Ini cacat. Makanya di satu sisi Pemprov DKI tentu keliru, yang mengevaluasi juga keliru,” ujar Roy kepada Tirto.

Dalam konteks penyusunan dana bantuan parpol dalam APBD-P 2017 dan APBD 2018, Roy menyebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan landasan hukum. Kedua anggaran tersebut, kata Roy, semestinya tetap menggunakan PP 5/2009 yang hingga kini belum direvisi.

Baca juga artikel terkait KONFLIK HANURA atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih