Menuju konten utama

Kenaikan Dana Partai Politik Bukan Jaminan Bebas Korupsi

FORMAPPI menilai kenaikan dana parpol bukan jaminan akan bebas korupsi. Perlu pengawasan dan transparansi dalam penggunaannya.

Kenaikan Dana Partai Politik Bukan Jaminan Bebas Korupsi
Gedung DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Pemerintah telah menyetujui dana partai politik naik delapan kali lipat, dari Rp108 menjadi Rp1.000 per suara sah. Namun, angka itu dinilai belum ideal untuk memenuhi semua kebutuhan parpol sehingga tidak menutup kemungkinan mereka tetap menggunakan skema crowdfunding atau menggalang dana dari anggota dan simpatisan.

Wasekjen Partai Golkar, TB Ace Hasan Syadzili menyatakan, partainya tetap akan menggunakan crowdfunding atau dana sukarela dari anggota dan simpatisan untuk memenuhi pendanaan. Ia menganggap kenaikan dana tersebut tidak cukup untuk memenuhi anggaran operasional partai.

“Anggaran partai, besar sekali. Golkar itu karyawannya lebih dari 100 orang. Kalau gaji per orangnya UMR Rp3 juta rupiah, sudah lebih dari Rp300 juta. Belum lagi pemeliharaan gedung dan lain-lain,” kata Ace saat dikonfirmasi Tirto, pada Senin (28/8/2017).

Selama ini, kata Ace, dengan dana bantuan dari negara sebesar Rp108 per suara sah, Golkar mewajibkan anggotanya, terutama yang mempunyai jabatan untuk memberikan iuran bagi pendanaan partai berlambang pohon beringin itu.

“Kalau kami di fraksi, kami tiap bulan diminta berkontribusi. Jumlahnya sesuai kesepakatan fraksi. Kalau ada acara di partai, kami pun menyumbang,” kata Ace.

Namun demikian, kata Ace, penambahan dana partai delapan kali lipat yang disetujui pemerintah patut diapresiasi. Hal itu menandakan pemerintah sudah mulai serius dalam memperkuat demokrasi di Indonesia.

Dalam hal ini, partai politik memiliki tugas dan fungsi yang besar dalam memperkuat demokrasi di Indonesia sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.

“Fungsi itu seperti kaderisasi, di mana kepala-kepada daerah, calon-calon anggota legislatif itu harus diberikan pemahaman tentang aspek-aspek kenegaraan. Itu bisa dilakukan oleh parpol. Dan itu bisa dibiayai oleh negara,” ujarnya.

Ace berpendapat, ukuran pemberian dana partai melalui perolehan suara sudah tepat. Hal itu akan mendorong partai untuk melakukan tugas dan fungsinya. “Artinya, semakin besar suara yang didapat, semakin besar kepercayaan masyarakat. Karena suara kan bergantung pada kepercayaan,” ujarnya.

Meski begitu, Ace menyatakan tidak bisa memberi angka ideal bagi pendanaan partai, karena hal itu mesti mempertimbangkan APBN. Jangan sampai negara justru terbebani dan membuat alokasi APBN untuk kepentingan rakyat terganggu.

Baca juga:

Hal senada juga diungkapkan Ketua PDI Perjuangan, Andreas Pareira. Penambahan dana parpol pada dasarnya sudah mencerminkan perhatian pemerintah pada keberadaan partai politik dan demokrasi. Namun, kata Andreas, angka tersebut belum bisa dikatakan ideal untuk memenuhi seluruh kebutuhan, sehingga iuran dan sumbangan kader serta simpatisan masih dibutuhkan.

“Di PDIP dari anggota partai belum efektif. Yang efektif adalah dari kader partai yang di legislatif,” kata Andreas kepada Tirto, Senin.

Untuk itu, penting bagi parpol untuk memasukkan di dalam AD/ART-nya mengenai kewajiban kader untuk turut mendanai partai. “Tetapi ini tergantung dengan partai masing-masing ya. Kalau crowdfunding itu kan tanggung jawab publik yang sifatnya sukarela,” ujarnya.

Dana Parpol Harus Transparan

Sementara itu, Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sebastian Salang menganggap wajar apabila partai masih menggunakan skema crowdfunding meskipun pemerintah telah menyetujui penambahan dana partai hingga delapan kali lipat.

“Kalau parpol yang suara terbanyak saja dengan 23 juta suara, itu hanya mendapat Rp23 miliar rupiah dengan Rp1.000 per suara sah. Kita harus objektif, itu belum cukup,” kata Sebastian Salang, pada Tirto, Senin (28/7/2017).

Di sisi lain, crowdfunding atau bantuan yang sah secara hukum dari pihak luar hanya ada menjelang momen politik, seperti pemilu saja. “Saya masih pesimis penambahan pendanaan ini bisa meminimalisasi korupsi. Karena partai masih akan tetap menekan anggotanya untuk memberikan iuran. Dan itu rawan korupsi,” ujarnya.

Karena itu, harus diberlakukan transparansi dan pengawasan yang lebih terkait pendanaan partai oleh negara agar dana tersebut tepat sasaran. “Itu harus tetap diawasi oleh BPK dengan meminta pertanggungjawaban yang jelas dari partai,” kata Salang.

Selain itu, perlu juga diberlakukan sanksi kepada partai yang terbukti tidak bertanggung jawab dan kadernya masih melakukan korupsi di daerah atau di tingkat pusat.

Dalam konteks ini, ada dua bentuk sanksi yang bisa diberikan kepada parpol. Pertama, pemberhentian pendanaan untuk partai yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Kedua, dilarang mengikuti pemilu di tingkat pusat maupun di daerah.

“Karena selama ini kalau ada kader partai yang korupsi, kan yang dihukum dia saja, tapi partai selalu aman-aman saja,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, TB Ace Hasan Syadzili pun menyatakan partainya siap untuk terbuka dan transparan terhadap dana yang diberikan oleh pemerintah. “Saya pribadi setuju kalau dana ini harus diberlakukan seperti dana lembaga negara lainnya. Harus ada pertanggung jawaban dan laporan pada BPK.”

Baca juga: Jerat Korupsi Bendahara Partai

Baca juga artikel terkait DANA PARPOL atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz