Menuju konten utama

Menguji Komitmen Parpol Soal Larangan Eks Koruptor Maju Caleg

Anggota Dewan Pengarah DPP Gerindra, Muhammad Syafi'i mengakui ketidaksetujuan partainya terhadap isi PKPU No. 20/2018. Alasannya, aturan itu tidak membawa keadilan bagi masyarakat.

Menguji Komitmen Parpol Soal Larangan Eks Koruptor Maju Caleg
Deretan kursi anggota DPR yang kosong pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/7/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto.

tirto.id - Sejumlah partai politik menyatakan komitmennya untuk tidak mendaftarkan bakal calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berlatar belakang eks terpidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak.

Komitmen itu keluar setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang para bekas terpidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak menjadi bakal calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019. Larangan itu termuat di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

Kesediaan mematuhi aturan KPU itu disampaikan salah satunya oleh Partai Demokrat. Wakil Dewan Pembina DPP Demokrat Agus Hermanto berkata, partainya akan menghormati dan mengikuti aturan KPU ihwal pendaftaran bakal caleg.

Agus juga menyatakan secara tersirat bahwa Demokrat tak akan mengajukan hak angket untuk mempertanyakan aturan KPU ihwal pendaftaran bakal caleg. Menurut dia, aturan yang sudah dikeluarkan KPU harus ditaati semua pihak termasuk parpol sebagai peserta pemilu.

“Sekarang peraturan itu sudah ada. Kita semua sebagai warga negara harus mengikuti aturan yang resmi dikeluarkan [...] apabila mau menjadi caleg. Kita harus mengikuti semua aturan yang sudah ada,” kata Agus, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/7/2018).

Pasal 4 PKPU 20/2018 mewajibkan parpol mendaftarkan bakal caleg sesuai ketentuan seperti yang sudah disebut di atas. KPU RI tak segan mengembalikan berkas pendaftaran bakal caleg jika sistem informasi pencalonan (Silon) milik mereka mendeteksi nama politikus yang pernah menjadi eks terpidana tiga jenis perkara itu.

Parpol diwajibkan mengganti nama bakal caleg yang melanggar ketentuan dengan politikus lain. KPU RI tetap melarang mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan kasus korupsi menjadi bakal caleg meski mereka telah mengakui kejahatannya di muka publik.

Komitmen Demokrat senada dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Wakil Sekretaris Jenderal PAN Soni Sumarsono berkata, partainya mendukung penuh aturan KPU soal bakal caleg.

Soni mengklaim bahwa partainya sudah sejak lama membangun sistem untuk menangkal keberadaan bakal caleg berlatar belakang eks terpidana kasus korupsi. Karena itu, PAN mendukung aturan KPU yang baru diundangkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) itu.

"Ya pasti lah kami berkomitmen tidak mendaftarkan bakal caleg eks terpidana kasus korupsi. Bahkan sebelum aturan itu dibuat oleh KPU, secara internal partai [status eks terpidana kasus korupsi] sudah menjadi pertimbangan yang sangat serius," ujar Soni kepada Tirto.

Komitmen berikutnya datang dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan berkata, partainya tidak akan mendaftarkan bakal caleg yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi, bandar narkoba, atau kejahatan seksual pada anak.

Menurut Daniel, aturan KPU ihwal pendaftaran bakal caleg itu merupakan terobosan. Ia yakin keberadaan aturan itu bisa membantu mewujudkan parlemen yang lebih baik dan bersih kedepannya.

"PKB amat berkomitmen tidak mencalonkan bakal caleg sesuai larangan KPU. Dari pemilu sebelumnya [komitmen tidak mencalonkan eks napi kasus korupsi] sudah menjadi bagian dari pakta integritas," kata Daniel kepada Tirto.

PDI Perjuangan juga senada dengan Demokrat, PAN, dan PKB. Sekretaris Badan Pendidikan dan Latihan Pusat (Badiklatpus) DPP PDIP, Eva Kusuma Sundari berkata, partainya akan menjamin ketiadaan bakal caleg berlatar belakang eks terpidana kasus korupsi.

Akan tetapi, PDIP meminta peran masyarakat dalam mengawasi proses pendaftaran bakal caleg. Sebabnya, ada potensi ketidaksempurnaan sistem parpol dalam menyeleksi bakal caleg sesuai ketentuan KPU.

"Semoga masyarakat membantu pula agar niat baik ini terwujud. Misalnya [membantu] dengan melaporkan bukti dan fakta yang kelewat dari partai," tutur Eva kepada Tirto.

Sikap berbeda disampaikan Partai Gerindra. Melalui Anggota Dewan Pengarah Muhammad Syafi'i, partai itu mengakui ketidaksetujuan mereka terhadap isi PKPU No. 20/2018. Menurut Syafi'i, aturan itu tidak membawa keadilan bagi masyarakat. Ia menganggap seharusnya tidak ada batasan syarat bakal caleg yang bisa didaftarkan parpol untuk pemilu 2019.

“Ada juga orang yang dulu jahat sekarang baik, sebaliknya ada yang sekarang baik belum tentu ke depannya tidak jahat. Jadi, mereka yang sudah bebas dari hukuman dan sudah melalui lembaga pemasyarakatan harus bisa kembali ke masyarakat dengan haknya sebagai anggota masyarakat, termasuk menjadi caleg," ujar Syafi'i kepada Tirto.

Anggota Komisi III DPR RI itu menyebut, partainya akan mencalonkan seseorang menjadi bakal caleg sesuai catatan yang ada saat ini. Menurut Syafi'i, jika orang terkait berkomitmen melakukan kebaikan, maka pendaftaran bakal caleg bisa dilakukan terlepas dari masa lalu individu itu.

"Yang pasti kami melihat dia [sosok bakal caleg] hari ini. Kalau dia baik dan berkomitmen melakukan kebaikan, membela rakyat, bangsa dan negara, saya kira itu terpenting. [Terlepas dari masa lalu orang], kan masa lalu bisa macam-macam," ujar Syafi'i.

Meski menyatakan tidak setuju atas isi PKPU 20/2018, kata dia, Gerindra mengklaim bahwa hingga kini belum ada nama bakal caleg yang memiliki latar belakang eks terpidana kasus korupsi. Syafi'i memastikan hal tersebut, dan ia yakin tidak ada mantan koruptor yang mendaftar sebagai bakal caleg melalui partainya.

Infografik CI Komitmen Parpol Soal Caleg Mantan Napi Korupsi

Efektivitas Aturan KPU Hapus Korupsi di Parlemen

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengakui bahwa aturan KPU soal larangan eks napi kasus korupsi menjadi caleg merupakan terobosan. Akan tetapi, ia meragukan efektivitas aturan itu untuk menghapus korupsi di lembaga perwakilan tingkat pusat dan daerah.

Menurut Lucius, tidak ada sedikitpun jaminan bahwa PKPU terkait akan efektif menghapus korupsi di parlemen. Aturan itu disebutnya bisa jadi satu langkah kecil merawat harapan agar anggota DPR bisa bekerja tanpa mencari celah untuk korupsi.

"Garansi PKPU ini untuk menjamin penghapusan korupsi tentu sulit diharapkan. Lihat saja sikap DPR yang mencerminkan posisi partai politik merespons kehadiran PKPU ini. Masih banyak anggota DPR yang sulit untuk menerima PKPU ini dengan dalih melanggar UU," ujar Lucius kepada Tirto.

Formappi menganggap aturan KPU itu tidak serta merta menutup peluang politikus bermental korup untuk menjadi bakal caleg. Menurutnya, bisa jadi politikus bermental korup yang selama ini belum beraksi tetap lolos menjadi caleg.

Lucius berkata, figur bermental korup sulit dilacak karena proses seleksi bakal caleg tak akan serius mencari tahu sikap pribadi para kandidat terkait korupsi.

"Peluang korupsi juga tetap ada jika tak ada keseriusan parpol untuk memastikan korupsi sebagai sebuah kejahatan yang harus dihindari oleh anggota DPR. Apalagi tata kelola parpol juga masih menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya sikap koruptif pada kadernya," ujar Lucius.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz