Menuju konten utama

Bawaslu: KPU Langgar HAM Jika Larang Eks Koruptor Jadi Caleg

Pelanggaran HAM terjadi karena KPU menghilangkan hak mantan napi koruptor itu untuk dipilih sebagai legislator.

Bawaslu: KPU Langgar HAM Jika Larang Eks Koruptor Jadi Caleg
Sejumlah aktivis antikorupsi yang tergabung dalam "Paguyuban Koruptor Indonesia" melakukan aksi di gedung KPK, Jakarta, Minggu (9/7). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) jika tetap melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkotika, dan kejahatan seksual menjadi calon legislator (caleg) di pemilu 2019.

Menurut Fritz, pelanggaran HAM terjadi karena KPU menghilangkan hak para pesakitan untuk dipilih sebagai legislator. Bawaslu menganggap apa yang hendak dilakukan KPU tak sesuai dengan intensi DPR selaku pembuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Itu [persoalan caleg] sudah dibahas habis pansus UU 7 Tahun 2017 dan sudah dijelaskan di rapat Komisi II kemarin [...] Sekarang pertanyaannya apakah KPU dapat melakukan sesuatu di luar intensi pembuat UU? Apabila KPU masih melakukan itu, bagi saya, KPU telah melakukan pelanggaran HAM berat di mana menghilangkan hak orang untuk dapat dipilih," ujar Fritz di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (24/5/2018).

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi II, Selasa (22/5/2018); DPR, pemerintah, dan Bawaslu menolak wacana larangan napi korupsi menjadi caleg. Saat itu, rapat membahas masukan untuk rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD.

Ketiga lembaga itu sepakat mengembalikan aturan ihwal mantan napi korupsi sesuai Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu. Aturan itu menyebut, orang tidak bisa menjadi caleg jika pernah melakukan tindak pidana yang diancam penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka ia mengaku ke publik sebagai mantan napi.

Fritz menjelaskan, Bawaslu menolak gagasan itu karena UU Pemilu tak melarang mantan napi kasus korupsi menjadi caleg. Ia menyebut ketiadaan aturan itu karena DPR menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42 Tahun 2015 dan 51 Tahun 2016 sebagai salah satu dasar membuat aturan caleg.

"Dasar itulah yang dipergunakan perancang, original intent, drafter, sehingga tak ada dalam ketentuan itu di UU Pemilu. Semua sangat mungkin diuji materi," ujar Fritz.

Alasan Pemerintah

Pada kesempatan lain, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga mengungkap alasan yang serupa dengan Bawaslu. Menurut Tjahjo, pemerintah menolak wacana larangan napi korupsi menjadi caleg karena tak ingin menimbulkan gugatan.

Tjahjo berkata aturan mengenai pemilu, baik yang dikeluarkan KPU atau Bawaslu, harus berdasarkan UU. Akan tetapi, ia mempersilakan KPU membuat larangan itu jika tetap kukuh pada pendiriannya.

"Dalam konteks ini KPU berkukuh ya itu hak KPU [...] Saya tahu niatnya baik, untuk mengurai salah satu solusi apakah benar kepala daerah yang terkena masalah hukum itu akibat proses masa lalu. Saya [bersikap] ya sudah kalau itu jadi keputusan KPU itu haknya," ujar Tjahjo di kawasan Sudirman.

Menteri dari PDI Perjuangan itu mempersilakan masyarakat yang tidak puas dengan PKPU Pencalonan mengajukan gugatan. Gugatan ia persilakan jika KPU tetap memasukkan larangan napi korupsi menjadi caleg di PKPU nanti.

"Kalau itu tetap dijadikan pegangan oleh KPU ya silakan karena KPU sudah ada keputusan MK bahwa dia mandiri dalam menyusun PKPU. Kalau ada masyarakat yang nggak puas ya silakan gugat ke MK," ujar Tjahjo.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Yuliana Ratnasari