tirto.id - DPR, pemerintah, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menolak gagasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ihwal larangan mantan narapidana korupsi, bandar narkotika, dan terorisme menjadi calon legislator (caleg). Sikap ini dinilai telah mengecewakan publik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengklaim masyarakat ingin mendapat daftar caleg yang bersih pada pemilu mendatang. Menurutnya, larangan itu penting diterapkan untuk memperbaiki citra DPR yang selama ini dikenal korup.
"Tidak hanya itu, urgensi larangan mantan napi kasus korupsi memasuki arena kontestasi elektoral juga berangkat dari fenomena residivis korupsi lalu kembali melakukan kejahatan yang sama setelah selesai menjalani hukuman," kata Titi dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (24/5/2018).
Sikap DPR, Pemerintah, dan Bawaslu dalam wacana larangan napi korupsi menjadi caleg terlihat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi II, Selasa (22/5/2018).
Saat itu, rapat membahas masukan untuk rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD. Ketiga lembaga itu sepakat mengembalikan aturan ihwal mantan napi korupsi sesuai Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Aturan itu menyebut, orang tidak bisa menjadi caleg jika pernah melakukan tindak pidana yang diancam penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka ia mengaku ke publik sebagai mantan napi.
KPU berkukuh mempertahankan rancangan aturan soal mantan napi korupsi. Lembaga itu ingin tak ada satu pun mantan napi korupsi yang bisa menjadi caleg.
"KPU seharusnya tidak menyerah karena hasil atau keputusan konsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah [...] bersifat tidak mengikat, sesuai putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016. Putusan MK menegaskan KPU adalah lembaga yang independen, khususnya dalam penyusunan PKPU," ujar Titi.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Yuliana Ratnasari