tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana melarang mantan narapidana koruptor naik jadi calon legislatif pada Pemilu 2019. Tidak main-main, KPU bahkan sudah menuangkan hal itu dalam draf Peraturan KPU soal Pencalonan. Pro dan kontra atas rencana KPU itu pun tercipta.
Salah satu pihak yang tak sependapat adalah komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Lewat salah satu anggotanya Fritz Edward Siregar, Bawaslu mengatakan KPU tidak memiliki hak membatasi hak seseorang.
"Kami [Bawaslu] kurang sependapat apabila, misalnya, pembatasan pencalonan mantan narapidana melalui peraturan KPU. Kalau mau silakan ubah UU," kata Fritz di kantor Bawaslu, Jakarta (05/05/2018).
Menurut Fritz, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28J dengan tegas mengatakan pembatasan hak-hak dasar warga negara, salah satunya hak politik, hanya bisa dibatasi lewat undang-undang.
Ia menambahkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 11 nomor 17 tahun 2003 tertanggal 24 Februari 2004 dinyatakan pembatasan hak pilih juga diperbolehkan melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Artinya bahwa kita semua punya hak, maka [hak] itu hanya bisa dikurangi oleh undang-undang, [atau] oleh putusan pengadilan," kata Fritz.
Fritz memperkuat argumentasinya dengan mengutip putusan MK Nomor 51 tahun 2016 dan 42 tahun 2015 yang menegaskan mantan napi kasus korupsi yang ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah cukup mengumumkan kepada publik bahwa dirinya mantan napi koruptor.
Meski begitu, ia mengakui memang menginginkan calon legislatif yang bersih dari kasus korupsi. Selain melakukan pelarangan narapidana korupsi melalui undang-undang, ia pun mendorong agar seluruh caleg menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Dari laporan KPK baru 10% anggota DPR kabupaten, kota, Provinsi dan DPR RI yang memenuhi persyaratan untuk LHKPN. Saya rasa untuk menjalankan tugas sebagai wakil rakyat itu penting," kata Fritz.
Anggota Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan harus ada harmonisasi antara Peraturan KPU dengan Undang-Undang. Jika KPU memaksa melarang mantan napi koruptor menjadi caleg, sementara Undang-Undang tidak mengatur soal itu, KPU rentan menghadapi gugatan.
"Karena, kan, nanti ketika mau mendaftar [caleg] dianggap tidak memenuhi persyaratan di PKPU, padahal di undang-undangnya boleh," kata Ninik.
Sementara Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengapresiasi langkah KPU yang mencoba menyaring mantan napi korupsi menjadi caleg pemilu 2019. Hal ini lantaran, menurutnya, upaya mencegah calon-calon legislatif yang memiliki rekam jejak buruk seharusnya ada di level partai politik tidak pernah dilakukan partai. Plus tidak ada perangkat hukum mendorong hal itu.
"10 tahun masa Pak SBY enggak ada agenda reformasi tata kelola partai politik, 3,5 tahun Pak Jokowi juga tidak ada reformasi tata kelola partai politik. Kalau mau digabungkan, keduanya [sudah mencapai] 13,5 tahun," kata Donal di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat (05/05/2018).
Menurutnya KPU harus mencari siasat agar aturan di dalam PKPU yang masih penyusunan ini tidak segera dimentahkan di pengadilan. Donal memberi saran untuk hal ini.
"Waktu itu, saya dan kawan-kawan mengusulkan, ubah aja syarat calon itu menjadi syarat pencalonan," kata Donal.
Syarat pencalonan adalah syarat yang harus dipenuhi partai politik untuk mencalonkan kadernya di Pemilu. Sedangkan syarat calon adalah syarat yang harus dipenuhi individu calon legislatif untuk maju di Pemilu 2019.
"Itu bisa jadi kewenangan bagi partai politik untuk mengaturnya. Bisa saja parpol menambahkan syarat pencalonan, misalnya, bakal calon tidak boleh terlibat dalam kasus kekerasan terhadap perempuan," katanya. "Yang penting KPU bisa menyiasati agar tidak mudah dibatalkan," tutup Donal.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Muhammad Akbar Wijaya