Menuju konten utama

Soal PKPU Caleg Koruptor, Integritas Bawaslu dan DPR Dipertanyakan

Dalam hal ini, menurut peneliti Formappi, Bawaslu dan DPR terkait PKPU tidak serius dalam melaksanakan pemilu berintegritas.

Soal PKPU Caleg Koruptor, Integritas Bawaslu dan DPR Dipertanyakan
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (2/7/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto.

tirto.id - Polemik antara Bawaslu, DPR, Kemendagri dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI perihal Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 semakin meruncing. Bawaslu dan DPR bahkan secara terang-terangan menolak aturan KPU yang mengatur larangan mantan terpidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg) di pemilu mendatang.

Bawaslu, DPR, dan Kemendagri tetap kompak menolak peraturan tersebut dengan alasan berlawanan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf (g) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.

Ketua Bawaslu RI Abhan bahkan menyatakan caleg yang merasa dirugikan dengan PKPU tersebut bisa menggugat ke Bawaslu. Alasannya, menurut Abhan, setiap produk keputusan KPU bisa menjadi objek sengketa di pemilu.

"Maka, nanti upaya hukumnya adalah upaya sengketa ke Bawaslu,” kata Abhan, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin (2/7/2018).

Nantinya, kata Abhan, Bawaslu akan memutuskan pencoretan caleg mantan narapidana korupsi sesuai dengan undang-undang atau tidak. Sebab, menurut Abhan, pegangan utama Bawaslu adalah undang-undang.

Di sisi DPR, muncul wacana untuk mengajukan hak angket kepada KPU. Wacana ini disampaikan Anggota Komisi II dari Fraksi PPP, Ahmad Baidowi atau yang akrab disapa Awiek yang menyatakan, di internal Komisi II terdapat pembicaraan informal akan segera mengajukan hak angket ke KPU guna meluruskan PKPU sesuai UU yang ada.

Pengajuan hak angket ini, kata Awiek, bukan sebuah hal mustahil. Lantaran, pada 2009 menurutnya sudah pernah ada hak angket untuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang juga bermula dari obrolan informal antar anggota Komisi II DPR.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo pun telah memberikan lampu hijau atas wacana pengajuan hak angket. Ia menyatakan akan menyampaikan usulan ini kepada seluruh anggota DPR dalam waktu dekat untuk menjadi keputusan.

"Yang bisa menjawab adalah 560 anggota dan 10 fraksi. Saya nanti akan menyampaikan kepada teman-teman apa keputusan mayoritas fraksi," kata Bambang, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Pemberian lampu hijau ini terjadi lantaran Bambang berpandangan PKPU harus sejalan dengan UU Pemilu agar tidak menjadi preseden buruk peraturan yang tumpang tindih ke depannya. Meskipun, menurut dia, PKPU adalah wewenang KPU sendiri sebagai lembaga independen.

Dalam hal ini, Bambang menilai PKPU tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mengikuti kontestasi politik, termasuk mantan koruptor. Maka, ia meminta kepada KPU agar meninjau ulang larangan mantan koruptor menjadi caleg.

"Kecuali ada keputusan lain yang diputuskan pengadilan misalnya hak politiknya dicabut. Tapi sejauh itu tidak ada, tentu tidak boleh satu lembaga pun yang mencabut hak politik warga negara karena dijamin oleh konstitusi," kata Bambang.

Respons berbeda justru datang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Undang-Undang memberikan kewenangan kepada KPU untuk membuat peraturan,” kata Presiden Jokowi, sebagaimana dilansir laman setkab.go.id.

Meski demikian, Jokowi berkata, apabila kemudian ada pihak-pihak yang berkeberatan dengan aturan tersebut, maka ia mempersilakan pihak-pihak tersebut untuk menggunakan mekanisme yang ada dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.

Infografik Current Issue Bawaslu Rusak Integritas Pemilu

Bawaslu dan DPR Dinilai Tak Berkomitmen Menjaga Integritas Pemilu

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai sikap Bawaslu dan DPR menunjukkan kedua lembaga tersebut tidak serius dalam melaksanakan pemilu yang berintegritas di negeri ini.

Hal ini, kata Lucius, lantaran kedua lembaga tersebut lebih mementingkan prosedural ketimbang substansi. Padahal, menurutnya, PKPU yang disusun KPU telah tepat secara substansi untuk memperbaiki kualitas pemilu dan kondisi lembaga negara dari korupsi.

"Ini parah banget. Padahal sebagai regulator mereka juga punya tanggungjawab atas regulasi tersebut," kata Lucius kepada Tirto, Selasa (2/7/2018).

Sebagai pembuat undang-undang, menurut Lucius, seharusnya DPR memasukkan pasal larangan kepada mantan narapidana korupsi menjadi caleg di UU Pemilu. Sehingga, menurutnya, antara klaim DPR mendukung pemberantasan korupsi dan fakta di lapangan bisa selaras. Bukan seperti saat ini yang menjadikan KPU sebagai kambing hitam kesalahan prosedural.

"Tambah aneh dan lucu lagi jika mereka menggunakan hak angket untuk mempertanyakan PKPU larangan napi koruptor," kata Lucius.

Pengajuan hak angket untuk PKPU, menurut Lucius, sangat memungkinkan membuat salah satu hak DPR tersebut sebatas menjadi "mainan politik murahan" saja. Sebuah hal yang semestinya tidak dilakukan anggota DPR di tengah sorotan masyarakat akan kinerja mereka yang dianggap buruk.

Maka, kata Lucius, sebelum memutuskan hak angket, sebaiknya DPR membenahi dulu kerangka berpikirnya dalam memandang keberadaan PKPU. Hal ini agar tidak malah mengubur harapan masyarakat Indonesia mempunyai wakil rakyat yang bersih dari korupsi ke depannya.

Sementara terkait sikap Bawaslu, menurut Lucius, tidak berbeda dengan DPR. Ia pun menyebut lembaga pengawas pemilu tersebut hanya sebatas berkeinginan menunjukkan kuasanya kepada KPU melalui penolakan terhadap PKPU larangan caleg mantan koruptor.

"Tentu saja ini penyalahgunaan kewenangan," kata Lucius.

Lebih dari itu, kata Lucius, Bawaslu telah melupakan semangat pembentukannya, yakni untuk membuat pemilu yang lebih berintegritas dan terhindar dari kecurangan. Termasuk di antaranya suap menyuap dan prilaku koruptif lainnya.

"Ketika untuk perkara yang substansial mereka dengan mudah digoyahkan oleh hal yang prosedural, saya menduga pengawasan yang akan dilakukan Bawaslu juga dilakukan tanpa spirit mendasar memperjuangkan Pemilu yang berintegritas," kata Lucius.

Ada pun Ketua KPU, Arief Budiman menilai sikap Bawaslu yang menolak PKPU larangan caleg mantan koruptor adalah sebuah hal yang wajar. Akan tetapi, ia tidak sepakat jika hanya Bawaslu yang bisa menafsirkan PKPU tersebut.

"Yang berhak menyatakan yang benar dan yang tidak itu MA, jangan kemudian ditafsirkan sendiri," kata Arief, di kantor KPU, Selasa (2/7/2018).

Untuk wacana angket DPR terhadap KPU, Arief percaya lembaga legislatif tersebut tidak mungkin akan merealisasikannya. "Saya percaya enggak bakal dilakukan. Enggak," kata Arief.

Menjawab kritikan Lucius dan Arief, Komisioner Bawaslu, Muhammad Afifudin menyatakan pihaknya tidak mempersoalkannya. Menurutnya, siapa pun berhak menilai Bawaslu. Akan tetapi, ia berkeyakinan pihaknya tidak melakukan pelanggaran hukum apa pun.

"Kami tidak mau melakukan perbuatan yang melanggar UU. Pembuatan hak memilih dan dipilih itu hanya dibatasi oleh UU putusan pengadilan. Semua ada jalur aturannya. Kita datang ke semua partai dan meminta komitmen partai untuk tak mencalonkan caleg mantan koruptor," kata Afif kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz