Menuju konten utama

Yang Mendukung dan Menolak Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg

Golkar dan PDIP menentang larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg.

Yang Mendukung dan Menolak Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan didampingi anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Sejumlah fraksi di DPR berbeda pandang tentang rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang narapidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg). Mereka yang menentangi berdalih larangan itu bertentangan dengan hak asasi manusia lantaran setiap orang berhak memilih dan dipilih.

“Sikap KPU ini melanggar hak asasi seseorang. Yang bisa membatasi hak politik seseorang hanya pengadilan berdasarkan keputusan sidang,” kata anggota Komisi II Fraksi Golkar Firman Soebagyo kepada Tirto, Senin (28/5/2018).

Firman mengatakan peraturan yang dibuat KPU bertentangan dengan Pasal 240 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009 atas uji materi tiga pasal di undang-undang tersebut dan Undang-Undang Pemda. Uji materi diajukan Robertus, eks terpidana kasus pembunuhan di Pagar Alam, Sumatera Selatan.

Dalam putusannya, MK membolehkan mantan terpidana dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih menjadi peserta Pemilu. “KPU ini kan pelaksana undang-undang. Keberadaannya juga karena undang-undang. Jadi tidak boleh melanggar undang-undang. Peraturan KPU itu hierarkinya di bawah undang-undang,” kata Firman.

Firman mengklaim para ahli hukum yang pernah diminta pendapat oleh Komisi II telah menyatakan norma di UU Pemilu sudah sesuai dengan azas keadilan. Sebab selama menjalani hukuman para koruptor juga tidak bisa berpolitik. “Hukuman lima tahun itu sudah cukup untuk membuat koruptor jera dan dicabut hak politiknya,” kata Firman.

Pendapat senada disampaikan anggota Komisi II Fraksi PDIP Komarudin Watubun. Baginya larangan KPU bagi narapidana korupsi menjadi caleg tak beralasan. Sebab menurutnya korupsi bisa dilakukan siapa saja. "Yang sekarang belum jadi koruptor kan belum tentu malaikat. Bisa saja dia karena belum ketahuan. Yang sudah mantan terpidana korupsi juga belum tentu akan melakukan itu lagi,” katanya.

Menurut Komarudin, norma dalam UU Pemilu Pasal 240 ayat 1 sudah mensyaratkan seorang mantan narapidana korupsi mengumumkan secara terbuka di media massa tentang rekam jejak kehidupannya. Menurutnya, itu sudah cukup sebagai bentuk pengawasan dan pendidikan politik bagi pemilih.

“Pemilih tentunya bisa memilah dan memilih siapa yang layak dipilih dan tidak," kata Komarudin.

Pendukung Peraturan KPU

Pendapat berbeda muncul dari Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera. Menurutnya, Pasal 8 huruf (j) PKPU yang melarang mantan napi korupsi menjadi caleg merupakan tafsiran progresif KPU terhadap UU Pemilu dengan tujuan mendapatkan hasil pemilu yang lebih baik. “Sebagai bagian pertanggungjawaban publik, usul KPU boleh dan sah. Dan pembuatan Peraturan KPU domainnya KPU,” kata Mardani kepada Tirto.

Mardani pun menyatakan, rapat konsultasi antara DPR dengan pemerintah yang menolak peraturan tersebut tidak mengikat KPU. Ini menurutnya sesuai dengan keputusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang menyatakan KPU merupakan lembaga independen.

“Saya mendukung KPU. Tapi KPU harus siap menghadapi gugatan para pihak di Mahkamah Agung," kata Mardani.

Mardani mengatakan hak seseorang memilih dan dipilih mestinya tidak menjadi hambatan masyarakat mendapatkan pemilu yang berkualitas. "Hak untuk dipilih iya, tapi dengan pertimbangan mendapatkan hasil yang lebih berkualitas."

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni menilai integritas Pemilu ditentukan berdasarkan tiga hal, yakni penyelenggara, pemilih, dan peserta. Sehingga, keputusan KPU melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg adalah tepat.

Menurut Titi, tidak sedikit peserta pemilu yang pernah terbukti terlibat tindak pidana korupsi atau mantan narapidana korupsi. Bahkan, menurutnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat sedikitnya 59 anggota DPR/D terpilih dalam Pemilu 2014 berstatus hukum tersangka, terdakwa, atau terpidana korupsi.

Dari jumlah tersebut, terdapat pula mantan napi korupsi yang terpilih menjadi anggota legislatif, salah satunya yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Muhammad Taufik.

Semua itu, kata Titi, menjadi ironi bagi pelaksanaan Pemilu di negeri ini yang dari tahun ke tahun selalu diupayakan menjadi lebih berintegritas. "Upaya KPU melarang mantan narapida kasus korupsi untuk mencalonkan diri merupakan bagian dari membangun integritas peserta dan kandidat Pemilu," kata Titi kepada Tirto.

Seperti halnya Mardani, Titi berpandangan KPU tetap bisa mensahkan larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg dalam PKPU meskipun berbeda pandangan dengan DPR, kemendagri dan Bawaslu.

"KPU merupakan lembaga mandiri dan independen dalam menyelenggarakan Pemilu salah satunya dalam penyusunan regulasi dan mempunyai kewajiban moral menjaga integritas Pemilu," kata Titi.

Pihaknya bahkan mengusulkan norma-norma alternatif dalam Peraturan KPU untuk menguatkan norma tersebut, yakni: Pertama, menambah persyaratan pengajuan bakal calon dalam Pasal 7 ayat 1 Peraturan KPU, dengan ketentuan “daftar calon yang diusung oleh partai politik tidak memuat mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkotika, dan terorisme”.

Kedua, menambahkan persyaratan bakal calon pada Pasal 8 ayat 1 Peraturan KPU dengan ketentuan, “Mantan terpidana yang dikecualikan atau dapat dicalonkan bukan merupakan mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkotika, dan terorisme”.

Titi juga membantah anggapan politikus Golkar dan PDIP bahwa larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg melanggar HAM. Menurutnya, KPU justru menerapkan peraturan yang adil dan tidak diskriminatif pada Pemilu 2019.

"Penataan pencalonan berupa larangan bagi mantan napi korupsi ini juga diberlakukan bagi capres dan cawapres sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf d UU 7/2017. Berarti apakah juga dianggap melanggar hak memilih dan dipilih?" kata Titi.

Hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kemendagri, dan Komisi II DPR pada 22 Mei 2018 lalu menolak usulan draf Peraturan KPU (PKPU) bahwa mantan narapidana korupsi dilarang menjadi calon legislatif (caleg).

Bawaslu, Komisi II dan Kemendagri bersepakat mengembalikan persyaratan seseorang menjadi caleg ke Pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di sana disebutkan seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana.

Dengan demikian, mantan narapidana korupsi tetap dapat mendaftarkan diri sebagai caleg di Pemilu 2019 mendatang.

Namun, KPU tetap bersikukuh memasukkan larangan narapidana korupsi sebagai caleg dalam draf Peraturan KPU, yakni Pasal 8 huruf (j). Hal ini disampaikan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

"Jadi di seberang sana ada pemerintah, DPR dan Bawaslu, ajaibnya argumen utama mereka sama yaitu menolak norma diajukan KPU. Tetapi kita jalan terus, PKPU dipastikan akan keluar, jadi norma larangan (mantan) napi koruptor menjadi Caleg itu sudah kita putuskan," kata Wahyu dalam diskusi, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5/2018).

Keputusan ini, kata Wahyu, diambil KPU lantaran korupsi merupakan bagian dari kejahatan luar biasa. Sehingga, perlu ditambahkan dalam norma PKPU selain terorisme dan narkoba.

Baca juga artikel terkait PILEG 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Muhammad Akbar Wijaya