Menuju konten utama

Ironi Pemberantasan Korupsi yang Cuma Jadi Basa-basi Partai Politik

Partai politik pernah menandatangani pakta integritas bersama KPU yang salah satu isinya tidak akan menjadikan bekas napi korupsi sebagai caleg.

Ironi Pemberantasan Korupsi yang Cuma Jadi Basa-basi Partai Politik
Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional Ali Mukhni (kanan) memperhatikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) memeriksa berkas pendaftaran bakal calon legislatif di Padang, Sumatera Barat, Rabu (17/7/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi

tirto.id - Sejumlah partai politik masih mengusung bekas narapidana kasus korupsi sebagai calon anggota legislatif (caleg). Hal ini menjadi ironi lantaran di saat bersamaan para politikus partai terus mendengungkan jargon pemberantasan korupsi.

Partai Golkar yang mengusung jargon "Golkar Bersih" misalnya menjadikan dua bekas napi korupsi sebagai caleg. Salah satunya TM Nurlif bekas terpidana kasus korupsi menerima suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda S Goeltom pada tahun 2004 lalu. Nurlif menjadi caleg DPR untuk Dapil Aceh. Selain itu ada juga Iqbal Wibisino caleg dari Dapil Jawa Tengah yang pernah divonis satu tahun karena korupsi dana bansos Kabupaten Wonosobo 2008. Mengapa mereka tetap dijadikan di Caleg?

"Pak Nurlif adalah ketua DPD Golkar Provinsi Aceh. Sementara Pak Iqbal adalah ketua harian DPD Golkar Jateng," kata Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/7/2018).

Selain Golkar ada Partai Gerindra yang juga mencalonkan mantan narapidana sebagai caleg. Meskipun Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto doyan meneriakkan kebocoran anggaran, tapi tak berarti partainya anti terhadap mantan narapidana korupsi. Pada 2019 nanti Gerindra mengusung Muhammad Taufik sebagai caleg DPRD DKI Jakarta. Taufik tercatat pernah terlibat kasus korupsi saat menjadi Ketua KPU DKI Jakarta pada Pemilu 2004 silam.

Tapi partai selalu punya alibi dan pembelaan diri. Menurut mereka setiap warga negara yang sudah bebas menjalani hukuman memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Termasuk hak untuk memilih dan dipilih dalam politik. Lagi pula, UU No. 17/ 2017 tentang Pemilu Pasal 240 ayat 1 huruf g membolehkan mantan napi korupsi jadi caleg. “Seorang caleg yang berstatus mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.” demikian kelonggaran dan fasilitas yang diberikan undang-undang.

Sehingga tak heran meskipun Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto telah menandatangani pakta integritas dengan KPU untuk tidak mencalonkan bekas napi korupsi hal ini bisa saja diabaikan. "Itu kan komitmen moral. Tentu kejadian korupsi bukan sekarang, tapi yang lalu. Jadi menurut saya harus dibedakan antara kejadian yang sudah terjadi dan pada saat sedang berlangsung," kata Ace.

Infografik CI Komitmen Parpol Soal Caleg Mantan Napi Korupsi

Bukan cuma Golkar dan Gerindra, PDIP juga mengusung bekas napi korupsi sebagai caleg di DPRD Sidoarjo:Sumi Harsono. Ia adalah satu dari 44 anggota dewan periode 1999-2005 yang meraup anggaran SDM hingga Rp 21,4 miliar rupiah. Politikus PDIP Masinton Pasaribu mengatakan meskipun Peraturan KPU melarang napi korupsi jadi caleg, akan tetapi hal itu tidak mesti diikuti.

“Ya, mantan komisioner KPK saja nyaleg dari PDIP. Itu bukti kami tetap komitmen tentang pemberantasan korupsi,” katanya langsung menutup percakapan dengan Tirto, saat ditemui di daerah Jakarta Pusat, Sabtu (21/7/18) lalu.

Salah satu Wakil Ketua Umum DPP Demokrat Roy Suryo mempersilakan KPU sebagai tim penyeleksi mencoret daftar caleg dari Demokrat yang pernah tersangkut kasus korupsi. “Meski peraturan itu melanggar hak asasi manusia,” katanya.

Walau demikian, Roy mengaku partainya tetap memiliki agenda memberantas korupsi untuk Indonesia. “Isu korupsi itu harus kita hantam habis, harus kita lawan. Karena itu merupakan penggerogot terbesar dari republik ini,” kata mantan Menteri Pemuda dan Olahraga tersebut.

“Jika ada kader Demokrat yang tersangkut korupsi, langsung tersangkakan saja.”

Melihat fenomena ini kerap terjadi dan terus berulang-ulang membikin aktivis dan pegiat anti-korupsi gerah. Salah satunya Donal Fariz, dari Indonesia Corruption Watch—LSM yang fokus melakukan pengawasan dan pelaporan aksi korupsi kepada publik.

Ia menilai jika parpol masih tetap mengusung nama-nama yang memiliki kasus korupsi sebagai caleg hal tersebut sudah sangat melawan hukum. “Ini merupakan bentuk pembangkangan hukum oleh partai, karena peraturan dari KPU sudah sangat jelas,” katanya saat dihubungi Tirto lewat sambungan telepon, Sabtu (21/7/18) lalu.

Apalagi menurutnya partai-partai yang memiliki bacaleg mantan koruptor telah menandatangani pakta integritas ke KPU. Seperti diketahui, salah satu isi pakta integritas tersebut berupa penyataan tidak mencalonkan mantan narapidana kasus korupsi, kekerasan seksual, dan bandar narkoba.

“Itu merupakan sejumlah dokumen yang harus dan wajib diisi dan ditandatangani oleh partai kepada KPU.”

Donal mengatakan hal yang harus dilakukan oleh KPU adalah tetap berpegang teguh pada peraturan: KPU harus mengembalikan berkas-berkas kepada parpol jika ada bacalegnya yang pernah menjadi koruptor. “Dan jika setelah mengganti nama atau orang, namun masih juga mantan koruptor, KPU harus tetap mencoretnya,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait PILEG 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Muhammad Akbar Wijaya