tirto.id - Usai gagal dicalonkan sebagai wakil presiden dalam deklarasi yang dinyatakan oleh Joko Widodo dan Koalisi Indonesia Kerja, Mahfud MD mengatakan dia "maklum" atas keputusan tersebut.
Di depan wartawan, dalam sebuah unggahan di akun Instagram @mohmahfudmd, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Dewan Penasihat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila itu mengatakan bahwa dia sudah bertemu dengan Jokowi. "Saya katakan bahwa Pak Jokowi ndak usah bersalah atau apa. Wong saya juga ndak apa-apa,” ujarnya.
Pilihan Jokowi terhadap Kiai Haji Ma'ruf Amin, Rais Aam PBNU, posisi yang diisi oleh kiai besar dalam jabatan kultural Nahdlatul Ulama, menurut Mahfud MD sebagai satu hal yang logis dalam politik Indonesia mutakhir.
"Seumpama saya jadi Jokowi, mungkin saya akan melakukan hal yang sama. Karena kan situasinya ini politik, permainan politik. Di dalam permainan politik," ujarnya, "saya sampaikan ke Pak Jokowi [bahwa] saya tidak kecewa."
Nama Mahfud MD sebagai pendamping Jokowi muncul secara cepat melesat. Namun, secepat kemunculannya, namanya juga cepat meleset.
Mahfud bahkan mengungkapkan diri telah ditunjuk sebagai calon wakil presiden. Pernyataan Mahfud hanya berselang dua jam sebelum Jokowi bersama sembilan partai politik koalisi mengumumkan pencalonan diri.
“Ini panggilan sejarah, saya diminta untuk mendampingi [Pak Jokowi] dan saya cawapres,” kata Mahfud di rumahnya di Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat, sekitar pukul 16.00 Kamis kemarin, 9 Agustus 2018.
Yakin bakal dipilih Jokowi, Mahfud berkata sudah menyiapkan kemeja yang bakal digunakan saat deklarasi. “Tadi pagi diminta CV, terus jahit baju,” tambahnya.
“Favoritnya Pak Jokowi, kemeja putih,” ia menjelaskan alasannya "akan" mengenakan kemeja putih saat deklarasi.
Namun, menjelang deklarasi, kabar Mahfud sebagai cawapres dimentahkan oleh cuitan Abdul Kadir Karding, Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa, pada pukul 17.40:
"Rapat antara pak @jokowi dan ketum-ketum, sekjen partai pendukung memutuskan Prof Dr K.H. Ma’ruf Amin sebagai calon Wapres Pak Jokowi."
Cuitan Karding sergap dibanjiri komentar, termasuk dikutip oleh sejumlah media daring yang menunggu kabar kepastian pendamping Jokowi. Sekitar satu setengah jam kemudian, atau pukul 18.21, Jokowi akhirnya resmi mengumumkan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu sebagai calon wakil presiden.
“Dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai elemen masyarakat, maka saya putuskan dan telah mendapatkan persetujuan dari parpol Koalisi Indonesia Kerja bahwa yang akan mendampingi saya sebagai cawapres 2019-2024 adalah Profesor Ma'ruf Amin,” demikian Jokowi saat deklarasi di Restoran Plataran Menteng, Jakarta Pusat.
Bukan Sekali Ini Saja
Nama Mahfud MD bukan kali pertama muncul lalu digadang-gadang sebagai kandidat dalam hiruk-pikuk pemilihan presiden. Pada Pilpres 2014, namanya sempat terkerek dan diyakini sebagai calon kuat wakil presiden, baik untuk mendampingi Joko Widodo maupun Prabowo Subianto. Dalam sejumlah sigi lembaga survei, namanya disimulasikan dan dijodohkan dengan Jokowi dan Prabowo.
Sebelum Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi-Jusuf Kalla, nama Mahfud juga sempat dibidik Partai Gerindra sebagai calon pendamping Prabowo pada 2012, bersama calon lain, yakni Jusuf Kalla dan Sri Mulyani. Mahfud bak magnet dalam konstelasi parpol peserta pemilu sebagai calon wakil presiden di luar kader partai.
Mundur pada 2011 dalam kasus KPK versus Polri, atau dikenal Cicak vs Buaya, Mahfud mencuat di tengah pemberitaan dan disebut-sebut sebagai pemimpin ideal. Mantan menteri pertahanan di era Gus Dur dan guru besar hukum tata negara itu termasuk yang vokal dalam kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.
“Bulan Juni 2011, Kompas memberitakan hasil survei, nama saya sudah ada di tengah. Taruhlah 15 besar, saya masuk 15 besar, sudah ada di tengah," ujar Mahfud, dikutip dari Liputan6.com.
Menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), Mahfud mengerem diri untuk beropini sebab, bagaimanapun, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang bertugas untuk memoderasi dan menegakkan konstitusi di tengah kekuatan eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Setelah tak menjabat lagi di MK, di tengah politik Indonesia menghadapi Pilpres 2014, Mahfud kembali jadi narasumber untuk dimintai pendapat atau jadi "pengamat" hukum dalam dinamika politik tanah air. Namanya kemudian dibidik sebagai salah satu calon wakil presiden dan sempat diusung Partai Kebangkitan Bangsa untuk mendampingi Joko Widodo. Namun, tiket itu batal diberikan PKB.
Perubahannya, Mahfud berbalik arah dan merapat ke kubu Prabowo, didapuk sebagai ketua tim pemenangan Prabowo dan Hatta Rajasa. Dalam Pilpres 2014 yang membelah suara konstituen, dan jadi permulaan dari sebuah perseteruan politik yang berlanjut sampai sekarang, kubu Prabowo-Hatta kalah dengan selisih suara 6,30 persen dari Jokowi-JK.
Kini, lima tahun kemudian, bak menggenapkan pepatah klasik bahwa sejarah kadang berulang, nama Mahfud kembali muncul tapi kemudian terbuang dalam pertarungan politik di Indonesia yang lebih sering mengedepankan transaksional.
Meski batal diusung, Mahfud bersikap legawa. "Menurut saya biasa di dalam politik, itu tidak apa-apa. Kita harus lebih mengutamakan keselamatan negara daripada sekadar nama Mahfud, nama Ma'ruf Amin atau nama lain," ujarnya.
"Kita mendukung negara ini harus terus berjalan."
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam