Menuju konten utama

Penghapusan Premium, Kebijakan Jokowi yang Maju Mundur Sejak 2014

Penghapusan BBM premium merupakan kebijakan Jokowi yang maju mundur sejak 2014. Meski belum resmi, tapi sejumlah SPBU sudah tak menjual.

Penghapusan Premium, Kebijakan Jokowi yang Maju Mundur Sejak 2014
Sebuah papan pemberitahuan tentang Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium yang telah habis habis, terpampang di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jalan Tole Iskandar, Depok, Jawa Barat, Selasa (20/2/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Wacana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium kembali mengemuka. Upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo yang maju mundur sejak 2014 ini kembali dibahas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di penghujung 2021.

Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Soerjaningsih dalam Focus Group Discussion (FGD) Kegiatan Penyediaan dan Pendistribusian BBM dan LPG PT Pertamina (Persero) kembali menyinggung masalah ini. Ia sebut, upaya peralihan pertalite dan premium ini bagian strategi pemerintah berupaya memperbaiki kondisi lingkungan dengan mendorong penggunaan BBM yang ramah lingkungan.

“Kita memasuki masa transisi di mana premium (RON 88) akan digantikan dengan pertalite (RON 90), sebelum akhirnya kita akan menggunakan BBM yang ramah lingkungan,” kata Soerjaningsih dalam rilis FGD pada 20 Desember 2021.

Ia menyebut premium dan pertalite akan dihapus dan diganti BBM yang lebih ramah lingkungan yakni pertamax. Namun, peraturan ini masih menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo melalui pengesahan Peraturan Presiden (Perpres).

Soerjaningsih mengatakan, premium saat ini hanya digunakan oleh tujuh negara saja. Volume yang digunakan pun sangat kecil. Kesadaran masyarakat menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih baik, menjadi salah satu penyebabnya. Saat ini, pemerintah tengah menyusun roadmap BBM ramah lingkungan dengan menyediakan kualitas bahan bakar lebih baik.

“Dengan roadmap ini, ada tata waktu di mana nantinya kita akan menggunakan BBM ramah lingkungan. Ada masa di mana pertalite harus dry, harus shifting dari pertalite ke pertamax,” kata dia.

Proses shifting pertalite ke pertamax ini juga menjadi salah satu bahasan FGD agar peralihan ini tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. “Sehingga kita juga mencermati volume pertalite yang harus disediakan untuk masyarakat,” kata dia.

Menurut dia, perubahan dari premium ke pertalite akan mampu menurunkan kadar emisi CO2 sebesar 14 persen, untuk selanjutnya dengan perubahan ke pertamax akan menurunkan kembali emisi CO2 sebesar 27 persen.

Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Sub Holding Pertamina Commercial & Trading, Irto Ginting menjelaskan, pihaknya belum berencana melakukan pengurangan kuota distribusi. Bahkan belum ada persiapan mengenai pemetaan wilayah mana saja yang akan dikurangi suplainya.

Irto mengatakan, sebelum ada instruksi, Pertamina memastikan masih akan menjual pertalite atau bensin dengan RON 90 pada 2022.

“Kami pastikan bahwa pertalite tetap kami distribusikan di tahun 2022. Belum [rencana pengurangan suplai]” kata Irto saat dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (29/12/2021). Namun saat ditanya apakah premium juga akan tetap dijual pada 2022, Irto tidak menjawab.

Wacana Lama yang Maju Mundur

Wacana penghapusan BBM jenis premium sebenarnya bukan hal baru. Bahkan pada 2014, Presiden Jokowi telah menerbitkan Perpres 191/2014 yang intinya membatasi distribusi premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) sekaligus mencabut subsidinya. Perpres itu sejalan dengan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas pada 2015. Pertamina pada waktu itu berjanji pada tim untuk menghapus premium dalam dua tahun.

Sayangnya, menjelang Idulfitri 2018 dan Pemilu 2019, pemerintah mengambil langkah mundur dengan merevisi perpres tersebut. Imbasnya, Pertamina harus menyalurkan premium lagi di seluruh wilayah, termasuk Jamali. Pemerintah waktu itu berdalih harga minyak dunia sedang naik sehingga perlu menjaga daya beli masyarakat lewat BBM berharga murah.

Menilik sejarahnya, besaran subsidi energi ini pernah menjadi momok yang begitu menakutkan bagi APBN hingga 2014. Bukan hanya besarannya yang terus meningkat pesat, melainkan juga sifatnya mengikat dan memberikan tekanan politik yang besar.

Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Joko Tri Haryanto mengatakan, tak jarang subsidi energi ini menjadi barometer utama kinerja politik seorang presiden. Untungnya, pemerintah mengambil kebijakan radikal untuk menghapus subsidi premium serta menjalankan mekanisme subsidi tetap solar per 1 Januari 2015.

Sebagai perbandingan, hingga APBN 2014 saja beban subsidi BBM dan LPG mencapai Rp240 triliun, sementara subsidi listrik Rp101,8 triliun sehingga total subsidi energi mencapai Rp341,8 triliun.

Usai pencabutan subsidi premium, beban subsidi BBM dalam APBN kemudian terjun bebas. APBN 2015 mencatat realisasi subsidi energi turun menjadi Rp60,8 triliun dan sempat menyentuh alokasi terendah di 2016 sebesar Rp43,7 triliun. Karena tekanan nilai tukar, subsidi BBM sedikit mengalami peningkatan di 2019 menjadi Rp90,3 triliun.

Peningkatan itu pun muncul akibat kenaikan beban subsidi LPG dari Rp38,7 triliun di 2017 menjadi Rp58,0 triliun di 2019. Sementara yang murni subsidi BBM, terus turun dari Rp38,9 triliun di 2018 menjadi Rp32,3 triliun di 2019 dan Rp20,8 triliun proyeksi 2020. Beban LPG yang meningkat merupakan bentuk komitmen lain pengalihan subsidi minyak tanah menuju energi bersih.

Pemerintah memang tidak mensubsidi premium secara langsung. Namun pemerintah menugaskan BUMN-nya untuk mencover kebutuhan masyarakat itu. Kementerian ESDM menetapkan harga untuk wilayah di luar Jamali, sementara Pertamina menetapkan harga di wilayah Jamali.

Meski demikian, Kementerian ESDM menyatakan, penetapan harga oleh Pertamina harus tetap berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sedangkan untuk luar wilayah Jamali, harga premium ditetapkan langsung oleh pemerintah.

Tarik Ulur Penghapusan Premium

Mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas cum dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi menyarankan agar pemerintah segera mengeksekusi kebijakan penghapusan premium ini. Apalagi sejumlah SPBU memang sudah banyak yang tidak menyediakan BBM dengan oktan 88 itu.

“Pemerintah sekarang harus memutuskan menghapus premium, baru kemudian ke depan baru menghapus pertalite. Jangan lakukan itu secara bersamaan. Sekarang banyak SPBU yang tidak menjual premium lagi. Sehigga tidak ada alasan bagi pengadaan,” kata Fahmi kepada reporter Tirto.

Fahmi menyarankan, sebaiknya upaya penghapusan pertalite dilakukan usai pemerintah sukses menghapus premium. Terlebih saat ini banyak konsumen yang sudah beralih dari premium ke pertalite.

“Kalau pertalite itu kalau dihapuskan tahun 2022 ini akan memiliki efek domino. Yaitu terhadap inflasi, kemudian menggerus daya beli masyarakat. Kalau menurut saya premium harus dihapus, tidak akan ada resistensi atau perlawanan dari konsumen karena jumlah mereka sudah sangat kecil. Tapi kalau pertalite yang jumlahnya sekitar 63 persen ini, kalau dihapus juga di tahun depan maka akan memiliki dampak terhadap inflasi,” kata Fahmi.

Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan penghapusan BBM jenis premium dan pertalite dikaji matang. Sebab saat harga komoditas tak terkendali dan kondisi perekonomian belum stabil selama pandemic COVID-19. Pemerintah sebaiknya tidak menghapus premium dan pertalite pada 2022.

“Banyak harga pangan yang sudah gak terkendali. Sekarang pemerintah jangan nambah-nambahin dengan pertalite dan premium akan dihapus, kan itu akan berpengaruh ke harga komoditas. Jadi itu akan memberatkan biaya ditribsusi yang nantinya akan dibebankan ke konsumen,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (30/12/2021).

Bhima menjelaskan, keputusan untuk peniadaaan premium dan pertalite itu akan mempengaruhi harga komoditas secara langsung.

“Kan pick up-nya pakai apa? Pakai BBM. Itu paling sensitif kan, jadi memang pemerintah ini kayak gak punya empati. Di saat seperti ini malah ada isu peniadaaan premium dan pertalite. Kemudian ada juga kebijakan PPN 11 persen itu kan ngaruh juga ke pajak pajak lain, jadi tema besar 2022 itu memang inflasinya akan tinggi sekali. 5 persen mungkin lebih,” kata Bhima.

Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono mengatakan pemerintah masih terus membahas peraturan presiden (perpres) mengenai penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 88 atau premium. “Masih dibahas di kementerian terkait,” kata dia kepada wartawan, Rabu (29/12/2021).

Baca juga artikel terkait BBM PREMIUM atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz