Menuju konten utama
M. Dasim, Kepala SPBU Tendean

"SPBU Sudah Tak Bebas Lagi Menjual BBM Premium"

Pertamina sengaja membentuk kondisi di SPBU agar konsumen dipaksa beralih dari Premium ke Pertalite atau Pertamax.

Avatar Kepala Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 34.127.02 Tendean, Jakarta Selatan, M. Dasim. tirto.id/Sabit

tirto.id - M. Dasim, Kepala SPBU 34.127.02 Tendean, Jakarta Selatan, membenarkan ada penjatahan BBM Premium untuk SPBU di tempatnya. Ia berkata, pada 2017 Pertamina sudah mulai mengatur jatah Premium. Atau, katanya, dalam bahasa halus Pertamina, ada "pengaturan." Bukan hanya BBM berkadar oktan (RON) 88 saja yang diatur, tapi juga nozzle (selang dispenser) Premium.

Dasim bukan orang baru dalam dunia SPBU. Ia sudah berkecimpung selama 20 tahun. Dan ia bukan satu-satunya yang merasakan dampak aturan dari Pertamina.

Dalam pantauan reporter Tirto, pengaturan jatah Premium itu terjadi di SPBU 34.16411 Kartini, Depok Lama, SPBU 34.12605 Tanjung Barat Raya, SPBU 34.12205 Palmerah Barat, SPBU 34.11405 Slipi, dan SPBU 24.35174 Raja Basa, Bandar Lampung. Begitupun SPBU 31.126.01 milik PT Pertamina Retail di Tanjung Barat. Namun, pembatasan stok Premium ini berbeda-beda.

SPBU Tanjung Barat, misalnya, sebelum ada pembatasan, bisa membeli Premium 16.000 kiloliter per hari di Depo Plumpang. Kini, pihak SPBU hanya bisa membeli 8.000 kiloliter per dua hari atau dalam seminggu tiga kali ke Pertamina. Sedangkan SPBU Pertamina Retail di Tanjung Barat mendapatkan jatah lebih besar, 16.000 untuk hari pertama dan 8.000 untuk hari kedua.

Selain membatasi jatah Premium serta mengurangi selang dispenser, Pertamina juga memasang papan harga SPBU 'Pasti Prima' dengan tidak mencantumkan produk Premium. Jika pun ada, produk ini hanya berupa teks berjalan, yang lebih tidak terlihat bagi konsumen.

Langkah-langkah Pertamina ini sejalan janji perusahaan negara itu kepada Komite Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri pada Maret 2015.

Berikut petikan wawancara M. Dasim kepada Reja Hidayat dari Tirto.

Pengaturan jatah BBM Premium di SPBU Anda seperti apa?

Pertamina punya formulasinya berdasarkan penjualan rata-rata. Kalau biasanya beli Premium di Plumpang bisa berapa aja untuk BBM Premium, tapi sekarang sudah enggak bisa.

Masalah hitung-hitungan antara SPBU satu dengan yang lain belum tentu sama. Istilahnya, pengusaha SPBU tidak bisa menebus BBM, khususnya Premium, semau dia. Kalau SPBU beli, pengirimannya sesuai yang diatur oleh Pertamina.

Sejak kapan?

Pengaturan pembatasan itu sudah berkali-kali berubah. Sebelum Lebaran sudah mulai pembatasan, kalau tidak salah awal tahun 2017. Tapi, pada saat mudik Lebaran, Pertamina memberikan kebebasan pembelian BBM Premium.

Tapi setelah Lebaran, Pertamina membuat pengaturan pembelian Premium. Ada sekitar dua sampai tiga minggu yang lalu diberlakukan kembali pengaturan pembelian Premium. Pertamina sudah menyampaikan persoalan pengaturan Premium ke pihak SPBU.

Pemberitahuannya dalam bentuk apa?

Biasanya ada petugas sales representative (SR) dari Pertamina. Mereka yang berhubungan langsung dengan pihak SPBU. Jadi, kebijakan pengaturan itu disampaikan kepada kita. Ya, arah pengaturannya agar bahan bakar khusus (BBK) seperti Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamina Dex naik (kuotanya).

Anda bilang, ada pembebasan pembelian BBM Premium saat Lebaran. Bisa dijelaskan?

Jadi, pada saat Lebaran, suplai BBM Premium ke masyarakat diberikan jorjoran agar tidak terjadi kelangkaan. Tapi, untuk SPBU di kota tidak ada pengaruhnya karena penduduknya pergi mudik. Mungkin, untuk wilayah rest area di Pantura ada peningkatan. Kalau di kota, terutama hari raya, pasti konsumsi BBM turun.

Untuk wilayah mudik, mereka memberikan kebebasan agar tidak terganggu mudik sehingga Pertamina menjamin pasokan BBM Premium. Tapi kalau sekarang, enggak ada lagi pembebasan pembelian. Mungkin ini salah satu trik dari Pertamina untuk mengalihkan BBM Premium ke BBM Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Series. Itu yang didorong oleh Pertamina.

Untuk nozzle atau selang dispenser, ada berapa jumlahnya di SPBU Anda?

Nozzle di SPBU kita ada 24. Untuk jalur khusus, enggak boleh ada BBM subsidi, khusus Pertamax dan Pertamax Series. Akhirnya, nozzle kita tutup. Jadi, nozzle untuk Premium yang tadinya banyak, enggak bisa banyak lagi.

Apa ada pengurangan selang dispenser Premium?

Ada. Kalau nozzle Premium berlebihan, itu dibagi dua. Misalnya, nozzle ada empat, harus dibagi dua-dua. Kalau enggak ada alirannya, maka digantung, ditutup, atau dikunci. Nozzle hanya boleh beroperasi dua aja untuk Premium. Sementara untuk kendaraan sepeda motor hanya boleh satu nozzle.

Satu nozzle untuk satu motor di SPBU. Aturan itu siapa yang buat?

Pertamina. Jadi masyarakat di sini enggak tahu. Aturannya, Pertamina hanya bisa buka satu nozzle Premium untuk sepeda motor. Mau sepanjang apa pun antrean kendaraan sepeda motor, tetap satu nozzle.

Sebelum ada pengaturan, ada berapa nozzle Premium di SPBU?

Awalnya ada 14 nozzle Premium. Setelah ada pembatasan, kita hanya boleh 4 nozzle. Satu nozzle untuk kendaraan bermotor, 3 nozzle untuk mobil. Turunnya drastis banget.

Memang enggak bisa seperti dulu lagi. Masyarakat memang didorong untuk beralih ke BBM Pertalite.

Pertamina kenapa harus pusing? Kalau memang enggak subsidi lagi Premium, ya bilang. Kalau mau ganti nama, ya bilang. Jadi, jangan dikacaukan dengan kata subsidi. Kita juga yang repot seperti pembatasan BBM Premium. Kalau Premium enggak subsidi, ya hapus aja, ganti Pertalite.

Nozzle Premium sedikit, padahal masyarakat ingin cepat dalam pembeliannya. Daripada banyak nozzle digantung atau dikunci, kita juga ingin cepat habis BBM. Ngapain ramai-ramai antre di SPBU?

Orang jadi malas antrean panjang sehingga orang terpaksa beralih ke Pertalite. Kalau menurut saya, ada aspek politisnya juga.

Masyarakat, kan, kalau dengar kata Premium, seolah-olah pemerintah melakukan subsidi BBM. Padahal sudah enggak ada subsidi lagi.

SPBU cuma dijadikan bumper kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Pertamina.

Apakah ini cara Pertamina mendorong masyarakat beralih ke Pertalite?

Iya. Jadi secara enggak langsung, Pertamina mengajarkan kepada konsumen beralih ke Pertalite. Ngapain antre panjang-panjang? Di situ masyarakat didorong dengan cara-cara seperti itu.

Berapa konsumsi Premium dalam sehari?

Dalam sehari 10 ton dan mungkin bisa di bawahnya. Sebelumnya, bisa mencapai 15-20 ton. Dampak penurunan konsumsi ini dipengaruhi juga oleh pembangunan proyek di dekat SPBU. Awalnya, jalan layang Transjakarta Tandean-Ciledug, sekarang underpass Mampang.

Apa pengusaha SPBU diajak musyawarah oleh Pertamina untuk jatah BBM Premium?

Enggak ada. SPBU ini harusnya mitra. Tapi kita hanya bisa manut-manut aja apa yang Pertamina bilang. Usaha SPBU sekarang enggak prospek karena tidak ada kepastian dari Pertamina. Pengusaha butuh kepastian kalau pinjam duit di bank. sekarang lancar, satu-dua tahun kemudian berubah kebijakan. Kalau mandek, gimana?

Ini yang menyebabkan terjadinya kredit macet. Lagi adem usahanya, tiba-tiba ada perubahan. Enggak bisa berkembang. Kalau kebijakannya lebih baik, mending. Rata-rata kebijakannya itu pahit.

Bukankah ada Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) untuk memperjuangkan anggotanya?

Enggak ngaruh. Dapat jabatan pengurus di Hiswana Migas, mereka mengurus relasinya lebih mudah untuk urusan pribadi. Untuk urusan organisasi, enggak ada perjuangannya. Kita juga enggak begitu merasakan pengaruhnya ke kita (SPBU).

Salah satu contoh yang tidak diperjuangkan?

Untuk mendapatkan margin yang tinggi, SPBU harus perbaiki performance terlebih dahulu. Dan perbaikan itu semua butuh investasi. Ada program Pasti Prima, boleh marginnya tinggi. Tapi waktu ikut program Pasti Prima, SPBU harus ganti solar menjadi Dexlite. Banyak yang ngeluh seperti itu.

SPBU dipaksa ikut program mereka. Memang marginnya besar, misalnya Rp300 bisa jadi Rp1.000. Tetapi omzetnya terjun bebas karena masyarakat belum mampu secara finansial membelinya.

Selain itu, ada juga modal SPBU belum balik tapi pemiliknya enggak boleh jual lagi Premium.

Sekarang, untuk investasi di rest area aja butuh biaya yang besar, sementara pihak SPBU dilarang menjual Premium di sana. Ya jadi babak belur. Ini yang membuat pemilik SPBU sakit kepala.

Misalnya, solar ganti Dexlite dipaksain, padahal konsumen belum terbentuk. Harga Dexlite mahal. Konsumen kendaraan kita ini bukan orang kaya. Orang sok kaya, punya kendaraan, perawatan enggak dipikirkan. Pentingnya jalan. Mobil mewah isinya Premium. Menang gaya, doang.

Jadi dikasih angin surga, tapi bukan angin surga yang kita dapat tetapi pinggiran neraka.

Sekarang bicara SPBU, tiap tahun pengeluaran pasti bertambah. Faktor karyawan. Saya pusing kalau bicara Upah Minimum Kota. Gimana enggak pusing? Margin keuntungan ditentukan pemerintah, itu pun harus investasi dulu. Jadi omzetnya bertambah atau berkurang? Ya, berkurang.

Untuk papan harga SPBU, ada yang warna merah dan biru. Tahu klasifikasinya?

Kalau biru, 'Pasti Prima'. Kalau merah, 'Pasti Pas'. Kalau Pasti Pas ada ketentuan lain. Ada berapa hal yang harus dipenuhi sesuai persyaratan Pertamina. Margin juga beda sesuai klasifikasi.

Pasti Pas ada tiga tingkatan good, excellent, dan biasa. Kalau good, ada beberapa yang harus dipenuhi seperti minimarket yang dinilai berjaring nasional seperti Alfamart. Lalu excellent itu syaratnya harus ada stan penjualan yang berjaring internasional seperti KFC.

Sekarang bukan hanya bicara SPBU aja, tapi fasilitas niaga di dalamnya juga dinilai. Tapi, menurut saya, dari waktu ke waktu, penjualan SPBU bukan naik tapi cenderung menurun. Saya pernah mendapat omzet Premium dalam sehari 120 ton, lalu terjun bebas sampai 10 ton.

Tahun berapa dapat omzet Premium 120 ton dalam sehari?

Tahun 2000 masih 120 ton. Seluruh armada Blue Bird dulunya isi di sini walaupun pul-nya menyebar. Maka ramai terus. Kita ada bahan bakar gas (BBG) juga. SPBU kita menjadi pilot project BBG pertama di Jakarta.

Dalam papan harga SPBU warna biru, produk Premium tidak ada. Apakah ini salah satu cara untuk menghilangkan premium?

Iya, ada kaitannya, sih

Sudah berapa lama bekerja di SPBU?

Sudah lama, pergantian manajemen udah empat kali. Saya sejak 1997 bekerja di SPBU. Dulu 1997 itu masih manajemen Blue Bird, diambil alih oleh Pertamina, lalu diambil alih Gatra Megah Idor. Lalu diambil lagi Bestindo Putra Perkasa.

Baca juga artikel terkait BBM atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam