Menuju konten utama

Subsidi Pertamax ala Kardaya dan Jonan Dinilai Kontraproduktif

Wacana soal pemberian subsidi pertamax dinilai kontraproduktif dengan kebijakan subsidi BBM yang selama ini diterapkan pemerintah Jokowi-JK.

Subsidi Pertamax ala Kardaya dan Jonan Dinilai Kontraproduktif
Menteri ESDM Ignasius Jonan (kiri) dan Wakil Menteri Arcandra Tahar (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax atau RON 92 mulai 2020. Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, wacana ini berawal dari usulan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra, Kardaya Warnika.

Jonan mengatakan, melalui pengalihan subsidi ini, Kardaya berharap masyarakat dapat beralih menggunakan pertamax yang memiliki oktan 92 sebagai BBM yang lebih ramah lingkungan.

“Ada wacana subsidi mau dibalik, jadi premium tidak dapat subsidi, tapi pertamax yang diberikan subsidi," kata Jonan dalam rapat bersama Komisi VII di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senaya, Jakarta, seperti dikutip Antara, Selasa (19/3/2019).

Kardaya saat dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis (21/3/2019) membenarkan bila dirinya yang mencetuskan ide itu.

Politikus Gerindra itu mengatakan pertamax perlu disubsidi lantatan harga pembeliannya tidak jauh berbeda dengan BBM jenis premium. Di saat yang sama, kata dia, negara lain juga beralih ke BBM beroktan tinggi.

“Subsidi Pertamax itu saya pertama kali mengusulkan. Kalau disubsidi, kan, rakyat jadi banyak yang pakai. RON tinggi jadi udara lebih bersih,” kata Kardiya.

Namun, ide Kardaya yang direspons positif Jonan itu dikirik Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Ia menilai pemerintah tak seharusnya memberikan subsidi pada BBM jenis pertamax.

Sebab, kata Fabby, rencana Kementerian ESDM itu bertentangan dengan komitmen Presiden Joko WIdodo untuk mengurangi subsidi BBM yang notabene merupakan kebijakan populis di era pemerintahan sebelumnya.

“Ini [subsidi pertamax] kebijakan yang ngawur. Jangan terjebaklah dengan kebijakan populis yang ada implikasi (negatif) jangka panjang,” kata Fabby saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/3/2019).

Fabby mengatakan sejak 2007-2008, pemerintah sudah memiliki rencana untuk mencabut subsidi BBM. Namun, hal itu baru terealisasi pada masa pemerintahan Jokowi-JK yang menjadi salah satu janji kampanye pada Pilpres 2014.

Akibatnya, kata Fabby, Indonesia memiliki keringanan fiskal sehingga mampu mengalokasikan anggaran untuk hal lain yang lebih produktif.

Namun, kata Fabby, jika benar subsidi pertamax direalisasikan, maka ia yakin langkah itu akan membebani anggaran. Padahal, menurut dia, pemerintah masih memiliki menyiasatinya dengan cara lain. Salah satunya menekan biaya produksi BBM agar lebih efisien sehingga harga pertamax lebih murah.

"Orang kita sudah menghapuskan subsidi, kok dia malah memberikan subsidi ke pertamax. Kan bisa masyarakat menggunakan pertamax tanpa membebani anggaran,” kata Fabby.

Karena itu, Fabby menilai alasan ramah lingkungan pada pertamax tidak dapat diterima.

Sebab, kata Fabby, sebelum rencana subsidi pertamax ini, pemerintah sudah mulai menunjukkan ketidakkonsistenan yang diduga berkaitan dengan kepentingan politik dan elektroal. Misalnya membolehkan kembali penjualan BBM jenis premium di Jawa dan menaikan kuota subsidi BBM.

“Saya kira ini kebijakan yang tidak tepat. Ini bertentangan dengan agenda Pak Jokowi yang janji mengurangi subsidi,” kata Fabby.

Hal senada diungkapkan ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya. Ia bahkan meragukan fisibilitas rencana pemberian subsidi untuk pertamax itu.

Berly menuturkan, jika pemerintah memiliki proyeksi lebih panjang, maka rencana subsidi ini bisa jadi kurang tepat. Sebab, hal itu dapat bertentangan dengan fokus pemerintah ke mobil listrik. Padahal, pemerintah tengah menyiapkan landasan hukum untuk insentif penggunaan mobil listrik seperti keringanan PPn.

“Memang ada perbaikan kualitas bahan bakar dari premium ke pertamax. Tapi lebih baik fokus ke mobil listrik. Ini lebih besar dampaknya [pada lingkungan]” kata Berly saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu kemarin.

Di sisi lain, Berly juga mengingatkan bahwa subsidi BBM saat ini lebih menguntungkan kelas menengah ke atas. Belum lagi, yang disasar adalah pertamax yang notabene adalah jenis BBM yang belum pernah terjamah subsidi.

Karena itu, ia menyarankan agar keringanan bagi kendaraan pribadi lebih baik dibatasi hanya kepada masyarakat yang mau beralih menggunakan mobil listrik. Di luar itu, kata dia, subsidi sebaiknya hanya berhak diberikan pada transportasi publik.

“Subsidi BBM secara prinsip lebih menguntungkan menengah ke atas. Saya tidak menolak, tapi mempertanyakan saja. Lebih baik juga perbaiki transportasi publik,” ucap Berly.

Terkait ini, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto belum menjawab konfirmasi dan pertanyaan reporter Tirto.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama, Agung Pribadi pun juga tak dapat berkomentar. Ia mengaku tidak tahu-menahu mengenai rencana itu.

Baca juga artikel terkait PERTAMAX atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz