Menuju konten utama

Inkonsistensi Jokowi di Balik Molornya Penghapusan Premium

Pertamina akan memangkas jumlah produk BBM premium dan pertalite yang tak sesuai standar batasan oktan demi menjaga standar emisi karbon. Namun, pemerintah masih menunda-nunda rencana ini.

Inkonsistensi Jokowi di Balik Molornya Penghapusan Premium
Pengendara motor mengisi bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertalite di SPBU daerah Jakarta Pusat, Senin (9/4/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - PT Pertamina berencana memangkas jumlah produk BBM. Dalam diskusi virtual, Senin (15/6/2020), Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyebut alasan lingkungan dan regulasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang batasan oktan jadi alasan pemangkasan.

Ia memang tak menyebutkan pasti jenis BBM yang akan dihapus. Namun merujuk Permen LHK 20/2017, mungkin yang akan dihapus adalah bahan bakar berstandar Euro 2 seperti Premium (RON 88) dan Pertalite (RON 90), serta Solar (CN 48). Dalam permen itu dijelaskan tentang standar bahan bakar Indonesia, yaitu minimal Euro 4 alias RON di atas 91 untuk bensin dan CN di atas 51 untuk solar.

Jumat (12/6/2020) lalu Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan ia merestui pengurangan produk BBM. Namun sehari sebelumnya Pertamina mengeluarkan pernyataan tertulis yang menegaskan Premium-Pertalite tetap dijual.

Pernyataan ini sekali lagi menegaskan maju mundur pemerintah dalam memangkas BBM kualitas bawah.

Jauh sebelumnya, pada 2014 lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres 191/2014 yang intinya membatasi distribusi Premium di Jawa, Madura, dan Bali sekaligus mencabut subsidinya. Perpres itu sejalan dengan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas tahun 2015. Pertamina pada waktu itu berjanji pada tim untuk menghapus Premium dalam dua tahun.

Namun, jelang Idulfitri 2018 dan Pemilu 2019, pemerintah mengambil langkah mundur dengan merevisi perpres. Imbasnya, Pertamina harus menyalurkan Premium lagi di seluruh wilayah. Pemerintah waktu itu beralasan harga minyak dunia sedang naik sehingga perlu menjaga daya beli masyarakat lewat BBM berharga murah.

“Waktu itu kan jelang 2019 itu mau dihapus. Tapi karena mau pemilu, entah kenapa bisa balik lagi,” kata peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov saat dihubungi Jumat (19/6/2020) lalu.

Abra mengatakan semestinya pemerintah tidak perlu maju mundur seperti ini. Belajar dari kasus Premium, situasi itu jelas merepotkan Pertamina karena mereka harus mengembalikan penampungan dan tanker ke BBM lama. Di sisi lain, kebijakan itu menimbulkan beban kompensasi penugasan pada APBN sekalipun bukan subsidi, sampai-sampai menjadi piutang pemerintah selama tiga tahun.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah semestinya konsisten dengan Permen LHK 20/2017. Peraturan ini menegaskan soal peralihan standar emisi Euro 2 ke Euro 4, konsekuensinya Premium, Pertalite, dan Solar mesti dihapus. Ketentuan bagi bensin sudah berlaku sejak 2018 alias 18 bulan setelah beleid diteken, sedangkan solar sudah di depan mata, yaitu tahun 2021 alias empat tahun sejak beleid.

“Kalau dulu konsisten saja dengan itu harusnya enggak susah-susah juga pelaksanaannya,” ucap Fabby saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (19/6/2020).

Karena terus menunda-nunda itulah akibatnya implementasi peraturan ini semakin rumit. Menghapus BBM beroktan rendah memang penuh tantangan, kata Fabby, sebab 70-80 persen penjualan Pertamina masih didominasi produk Euro 2. Kilang Pertamina juga belum seluruhnya siap memproduksi Euro 4, sementara operasi Kilang Balikpapan yang menjadi kandidat kuat malah mundur dari 2022 ke 2024.

Fabby mengatakan masyarakat belum tentu khawatir atau protes karena Premium-Pertalite dihapus. Absennya BBM berkualitas rendah justru memaksa BBM dengan harga terendah terakhir menjadi lebih murah.

Hentikan Impor BBM Standar Euro 2

Mantan Kepala Tim Khusus Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri pada tahun 2015 sudah memberi rekomendasi menghentikan impor RON 88 dan Gasoil 0,35% sulfur alias solar subsidi. Sebaliknya, diganti dengan impor RON 92 dan Gasoil 0,25% sulfur. Ketika itu Euro 2 tidak lagi dipakai dunia bahkan ASEAN.

Faisal juga meminta agar kilang RON 88 segera dialihkan menjadi RON 92 lantaran diduga menjadi sarang permainan mafia migas, seperti diberitakan Antara.

Permintaan Faisal tak mengada-ada. Pasalnya, impor BBM hanya tersedia minimal RON 92. RON 88 diperoleh usai RON 92 dicampur naphta sehingga membuat harga RON 88 lebih mahal dari BBM kualitas lebih tinggi, sebagaimana dikutip Antara.

Di sisi lain, harga BBM Indonesia tergolong aneh. Menurut Global Petrol Prices, per 15 Juni 2020, harga RON 95 atau kualitas terendah Malaysia 0,36 dolar AS/liter, sedangkan Indonesia 0,65 dolar AS/liter. Jika asumsi Rp14 ribu/dolar AS, maka RON 95 Malaysia (Rp5.040) lebih murah dari Pertamax (Rp9.000) dan Premium (Rp6.540) sekalipun.

“Bagaimana mungkin bensin berkadar oktan jauh lebih tinggi [RON 95] lebih murah dibandingkan dengan RON 88?” tulis Faisal Basri dalam blog.

Faisal juga menilai Pertalite bukan tanpa cela. Bahan bakar ini sudah ditinggalkan negara-negara ASEAN lain, skema harga dan campurannya pun tak transparan. Ia pun tak heran Pertalite tak terdaftar di harga acuan MOPS.

Baca juga artikel terkait BBM BERSUBSIDI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri