Menuju konten utama
Perlindungan Data Pribadi

Ironi Dokumen Kependudukan: Data Pribadi yang Jadi Bungkus Gorengan

Maraknya kasus dokumen pribadi muncul ke publik dinilai karena ketidakpahaman institusi pemerintah yang berwenang.

Ironi Dokumen Kependudukan: Data Pribadi yang Jadi Bungkus Gorengan
Petugas Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Tasikmalaya bersiap memusnahkan KTP Elektronik di Halaman Setda Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (17/12/2018). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/aww.

tirto.id - Surat permohonan pembuatan KTP eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, bocor ke publik. Surat yang memuat data diri (nama lengkap, alamat, dan nomor Kartu Keluarga) menjadi bungkusan kudapan. Melalui akun Twitter @howtodresvvell, hal tersebut menjadi viral di media sosial.

Susi, selaku pemilik dokumen, kebingungan. Ia tak paham kenapa dokumen yang semestinya rahasia tetiba menjadi bungkusan. “Saya harus berpendapat apa? Hal seperti ini bukannya sudah biasa terjadi?” tulis Susi di Twitter.

Kebocoran dokumen data pribadi non-elektronik kerap terjadi. Pada 25 Mei 2021, akun Twitter @FOODFESS2 pernah mengunggah foto gorengan yang terbungkus fotokopi KTP. Pada 9 Mei 2021, akun Twitter @faizaufi mengunggah foto nasi kucing dengan pembungkus Kartu Keluarga. Pada 4 Maret 2021, akun Twitter @catuaries mengeluhkan pejabat birokrasi yang keran meminta salinan KTP elektronik.

Agar kejadian tersebut tidak terulang, Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menyarankan agar dokumen administrasi publik beralih ke digital. Ia juga menyangsikan tata kelola Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri dalam memperlakukan dokumen warga negara.

“Biasanya dimusnahkan dengan berbagai metode. Agar data-data yang sudah tidak diperlukan tidak jatuh kepada pihak yang dapat menyalahgunakan,” kata dia.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arief Fakrullah juga menyarankan agar dokumen yang sudah tidak terpakai untuk dimusnahkan oleh pemiliknya. Agar aman, katanya.

Zudan juga berharap masyarakat lebih waspada sebelum membuang dokumen berisi data kependudukan. Sebab ia menilai masih banyak masyarakat yang menjual kertas berisi data pribadi secara kiloan ke pihak ketiga.

“Pada prinsipnya semua dokumen yang ada NIK dan no KK harus disimpan dengan baik oleh setiap pihak yang berkepentingan,” kata Zudan, Rabu (29/12/2021).

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 104 Tahun 2019 tentang Pendokumentasian Administrasi Kependudukan terdapat klausul pemusnahan dokumen sebagaimana yang tertera dalam Pasal 9 ayat (1); bertujuan untuk mengurangi volume dokumen yang tak berlaku lagi dan mengurangi biaya pemeliharaan. Pemusnahan dokumen dilakukan oleh Disdukcapil Kabupaten/Kota sebagaimana mandat Pasal 9 ayat (5).

Permendagri yang sama juga mengatur ketentuan pelayanan legalisir atas fotokopi dokumen sebagaimana tertera dalam Pasal 18, “untuk membuktikan kesesuaian fotokopi dokumen dengan basis data kependudukan dan dokumen kependudukan.”

Legalisir fotokopi tidak berlaku bagi dokumen kependudukan dengan format digital dan sudah ditandatangani secara elektronik dan KTP-el tidak memerlukan pelayanan legalisir, sebagaimana mandat Pasal 19 ayat (6).

Ketidakpahaman Institusi Pemerintah yang Berwenang

Maraknya kasus dokumen pribadi muncul ke publik, alih-alih dimusnahkan dinilai karena ketidakpahaman institusi pemerintah yang berwenang, kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar. Ia menekannya, semestinya data kependudukan tidak boleh bocor.

“Mengacu UU Adminduk, data kependudukan itu bagian data pribadi yang mesti dilindungi. Seluruh prinsip dan instrumen perlindungan data pribadi harus ditekankan,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto, Kamis (30/12/2021).

Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan bahwa, Instansi Pelaksana wajib menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas peristiwa kependudukan dan peristiwa penting. Begitu juga dalam Pasal 79 ayat (1) berbunyi, data perseorangan dan dokumen kependudukan wajib disimpan dan dilindungi kerahasiaannya oleh negara.

UU Adminduk bahkan mengatur sejumlah sanksi dan denda bagi mereka yang sengaja menyebarluaskan, mencetak, atau menerbitkan dokumen data kependudukan. Dalam Pasal 95A terdapat sanksi penjara paling lama 2 tahun dan atau denda Rp25 juta. Pasal 96 memuat sanksi penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar.

“Harus ada upaya peningkatan kesadaran penyelenggara administrasi kependudukan untuk memastikan perlindungan data pribadi warga negara. Baik yang digital maupun non-elektronik,” ujar Wahyudi.

Regulasi Masih Lemah

Meskipun UU Adminduk memiliki klausul perlindungan data pribadi berikut sanksi dan denda, tapi pemerhati kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Defny Holidin menilai hal tersebut masih belum optimal.

“Aspek cara perlindungan hingga mitigasi masalahnya masih menjadi pertanyaan bagi kita,” ujar Defny kepada reporter Tirto.

Untuk menyelesaikan karut marut persoalan dokumen data pribadi ini, menurut Defny, tak bisa dengan digitalisasi. Hal tersebut justru akan membawa Indonesia pada masalah lain yang lebih besar: kebocoran data pribadi dalam bentuk digital.

“Muasal masalahnya pada basis legal perlindungan data pribadi kita yang masih sangat lemah dan kerangka kelembagaan hingga taraf prosedural yang belum berpihak,” kata dia.

Dalam konteks ini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menjadi sangat penting untuk segera disahkan. Dengan adanya UU PDP, menurut Wahyudi, akan mendorong penyelenggara negara untuk lebih cepat memahami pemerosesan dokumen pribadi dengan menggunakan perspektif perlindungan data pribadi.

“UU PDP berlaku mengikat bagi institusi publik yang melakukan pemrosesan warga negara,” kata Wahyudi.

Pembahasan RUU PDP Mandek

Anggota Komisi I DPR-RI Fraksi Partai Golkar Christina Aryani menilai UU PDP akan menjadi solusi untuk persoalan kebocoran data, baik data elektronik atau non-elektronik. Tanpa RUU PDP kejadian semacam ini akan terus terjadi, kata Christina.

Namun hingga kini pembahasan RUU PDP di DPR mandek. “Mandeknya bukan oleh DPR. Bola ada di pemerintah yang tidak mau mencari solusi bersama kami,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (30/12/2021).

RUU PDP semula ditarget selesai pada 2020. Namun menjadi panjang karena pandemi Covid-19 dan tidak selarasnya hubungan DPR dengan pemerintah.

DPR dan pemerintah berbeda pendapat mengenai lembaga otoritas pengawas data pribadi. Kominfo, selaku representatif pemerintah, meminta agar lembaga pengawas berada di bawah mereka. Sementara DPR meminta lembaga itu di bawah presiden.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate pada 28 Desember 2021 menargetkan RUU PDP selesai pada 2022. Christina merespons baik pernyataan pemerintah tersebut. Ia berharap pemerintah benar-benar serius kali ini.

“Mungkin Menkominfo bisa memulai komunikasi dengan kami di masa sidang mendatang, jangan hanya statement di media. Pembentuk undang-undang itu DPR dan presiden,” tukas Christina.

Baca juga artikel terkait DATA KEPENDUDUKAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz