Menuju konten utama

Menyelisik Penyebab Harga Telur Ayam Melonjak Pesat Saat Nataru

Harga telur yang melonjak drastis tidak semata-mata karena permintaan yang melonjak, tapi tata kelola yang gagal diantisipasi pemerintah.

Menyelisik Penyebab Harga Telur Ayam Melonjak Pesat Saat Nataru
Peternak memanen telur ayam di salah satu peternakan di kawasan Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (16/11/2021). ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/Lmo/hp.

tirto.id - Harga telur ayam mengalami lonjakan tajam melampaui harga ecer tertinggi (HET) di tingkat konsumen sebesar Rp24.000 per kg berdasarkan Permendag Nomor 7 tahun 2020. [PDF] Lonjakan harga ini naik secara bertahap. Tiga hari sebelum Natal 2021, harga telur kisaran Rp29 ribu/kg di tingkat eceran. Selang dua hari usai Natal harganya melesat ke Rp33 ribu/kg. Bahkan di salah satu platform jual beli sayur online, telur ayam dijual dengan harga Rp49 ribu/kg.

Kenaikan harga telur yang cukup fantastis ini membuat konsumen protes. Yanti (34 tahun), warga Jakarta mengaku berbelanja di retail modern di daerah Grogol, Petamburan dengan harga telur di kisaran Rp30 ribu/kg. Padahal sebulan lalu ia masih bisa membeli satu kilo telur berisi 16 butir seharga Rp24 ribu.

“Mahalnya itu engga kerasa, tapi sadar kalau dengan nominal sama telur gak kebeli sekilo, kebelinya setengah kilo. Jadinya dengan nominal sama kita dapat barangnya lebih sedikit,” kata Yanti saat dihubungi reporter Tirto, Senin (27/12/2021).

Lonjakan harga telur di tingkat konsumen ini membuat para peternak ayam sedikit bernapas lega. Sebab, mereka bisa mendapatkan harga jual yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia (PPRN) Alvino Antonio menjelaskan, harga telur dari peternak sudah di kisaran Rp29 ribu/kg.

“Harga telur naik ini yang pasti karena demand naik ya, karena kan buat kue sudah mulai banyak, kemudian mal-mal juga sudah ramai, tempat wisata juga sudah ramai,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Senin (27/12/2021).

Alvino menjelaskan, selain tingginya permintaan telur selama Natal dan tahun baru, pemicu lain dari naiknya harga telur adalah banyaknya peternak yang mengurangi jumlah ayam induk. Pilihan untuk afkir dini sudah dilakukan secara bertahap oleh peternak sejak Juli 2021.

Kondisi tersebut dilakukan untuk menutup biaya produksi saat harga telur anjlok di peternak. Sementara saat itu harga jagung untuk pakan mahal dan pasokannya sulit, padahal jagung merupakan campuran pakan yang dibutuhkan untuk ayam.

“Populasi ayam dari peternak mandiri ini berkurang 50-60 persen akibat kerugian pada Juli 2021 itu, kan, harga telur selama 3 bulan itu jatuh kan. 3 bulan sampai 4 bulan jatuh jadi banyak peternak mandiri itu mengurangi jumlah ternaknya,” terang dia.

Ayam indukan banyak dijual karena harga daging ayam masih bernilai lebih dibanding telur. Alvino mengatakan, pada pertengahan tahun ini, harga telur di peternak ada di kisaran 13.500/kg, sementara pakan ayam sangat mahal sehingga biaya operasional tidak tertutup.

“Saat itu, kan, di peternak telur cuma Rp13.500/kg, ke konsumen nyampenya Rp17.000 kan sangat anjlok. Jagung juga mahal dan susah didapat, karena gak kuat kasih makan akhirnya indukannya dijual. Afkir dini di Oktober paling banyak. Dari situ produksi menurun,” terang dia.

Alvino mengatakan, lonjakan harga saat ini merupakan proses recover para peternak ayam setelah beberapa bulan mengalami kerugian akibat anjloknya harga telur.

Karena itu, ia berharap ke depan, pemerintah bisa lebih memetakan jadwal impor jagung agar bisa menutup kebutuhan para peternak ayam. Karena permasalahan dari fluktuasi harga telur yang selama ini terjadi bersumber dari langka dan mahalnya jagung untuk pakan ternak.

“Dengan harga saat ini, kan, mereka berusaha untuk menutup harga yang kemarin, memang belum kembali, tapi paling tidak lumayan lah ada napas. Masalahnya ini kan sudah beberapa kali, soal jagung mahal dan langka, misalnya di Agustus ke atas, September, Oktober sampai Desember. Mestinya antisipasinya pemerintah impor. Jadi impor itu jangan dibarengi dengan panen raya,” ungkap dia.

Alvino juga meminta pemerintah untuk mengamankan harga telur ayam agar bisa stabil. Pasalnya dengan skema yang saat ini terjadi para peternak pun kahawatir. Saat harga jatuh, pemerintah kesulitan untuk serap telur sehingga membuat peternak rugi, sementara saat produksinya terbatas dan tinggi peminat harga dari peternak naik, pemerintah malah melakukan sidak pasar.

“Kalau gini kami dari mana untungnya? Kami dengan jual harga segitu, kan, gak tenang kalau nanti ada sidak pasar, kan kita seperti dikejar-kejar, padahal dengan harga saat ini kami berusaha memperbaiki (bisnis). Pas harga jatuh kan gak ada yang nyerap telur. Kami harap harga telur ini bisa stabil di Rp20.000/kg dari peternak sehingga di konsumen bisa ada di kisaran Rp24.000/kg,” kata dia.

Sebaliknya, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah justru mengklaim produksi telur hingga akhir tahun ini dalam kondisi normal meski di tengah lonjakan harga di tingkat konsumen.

“Di hulu produksi cukup dan tidak ada pengurangan pasokan,” kata Nasrullah kepada wartawan, Senin (27/12/2021).

Berdasarkan data prognosis produksi telur ayam Kementan, produksi telur ayam hingga akhir tahun ini mencapai 5,15 juta ton, sementara total kebutuhan masyarakat mencapai 4,9 juta ton. Dengan kata lain terdapat surplus sekitar 241,4 ribu ton.

Nasrullah mengklaim, harga telur ayam ras di tingkat produsen secara rata-rata nasional seharga Rp21.489 per kg. Kemudian harga telur ayam ras di tingkat konsumen secara rata-rata nasional seharga Rp25.750 per kg.

Namun klaim Kementan justru bertolak belakang dengan realitas di lapangan maupun pengakuan Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia (PPRN) Alvino Antonio.

Perlu Pembenahan Ketahanan Pangan

Terlepas dari saling klaim di atas, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, perlu ada pembenahan dari ketahanan pangan di dalam negeri.

Harga pakan ternak yaitu jagug impor yang memicu produksi membengkak sehingga afkir dini menjadi pilihan peternak berimbas pada menurunnya produksi telur di momen Natal dan tahun Baru perlu diselesaikan. Terlebih masa pandemi membuat banyak negara mengamankan stok pangan untuk konsumsi di dalam negeri, kata Rusli.

“Semakin ke sini itu semakin tidak pasti. Kasus jagung ini mungkin awal, ada beberapa komoditas kan kita mayoritas impor, bawang putih, gandum, kedelai kita gak tahu nih, apalagi tahun depan kalau udah masuk ke musim semi, orang di utara sudah mulai aktivitas. Omicron ini terkendali, mereka tiba-tiba demand-nya tinggi dan mendahulukan kebutuhan dalam negerinya. Pemerintah ini harus memitigasi, terutama untuk komoditas impor ya,” kata Rusli kepada Tirto.

Mitigasi yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah mengamankan kontrak jangka panjang. Sehingga impor harus diselesaikan agar peternak Indonesia tidak mengalami kelangkaan. Serta mulai memperkuat dan meningkatkan produksi jagung untuk ternak di dalam negeri.

“Jangan sampai kita kelimpungan cari stok kan,” kata Rusli.

Rusli mengatakan, biaya produksi terbesar dari sektor peternakan adalah pakan. Maka dari itu permasalahan pakan ternak harus diselesaikan. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dalam kajian analisis harga pangan pokok pada November 2021 komoditas jagung dalam negeri naik sebesar 1,00% pada November 2021 menjadi Rp 8.339/kg dibandingkan bulan sebelumnya, dan naik 7,00% dibandingkan November 2020.

Meningkatnya harga jagung dikarenakan rendahnya stok jagung yang tersedia, yang disebabkan belum meratanya panen jagung di Indonesia, dan adanya ketimpangan antara peternak rakyat dengan perusahaan pabrik pakan ternak dalam hal pembelian jagung dari petani.

Jagung untuk pakan ternak yang mayoritas impor ini terkerek karena harga jagung di pasar internasional menurut Bursa Komoditas Amerika Serikat (CBOT) juga mengalami kenaikan dibanding bulan sebelumnya yaitu sebesar 5,92% dari USD 216 per ton menjadi USD 229 per ton.

Sementara itu, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan perlu ada bantuan berupa suntikan modal kepada para peternak ayam yang sudah bisa bertahan selama masa pandemi. Sebab, selama dua tahun terakhir banyak peternak yang memutuskan untuk mengurangi jumlah ternak bahkan gulung tikar karena harga pakan yang membebani biaya produksi, kondisi itu diperparah dengan tidak ada skema penyerapan saat hasil panen telur melimpah dan membuat harganya anjlok pada Agustus 2021.

“Ya pemerintah bisa memberikan subsidi ke indukan petelurnya, jadi bagi-bagi indukan petelurnya ke peternak rakyat. Nah itu mungkin salah satu cara juga untuk mendorong pasokan. Kemudian untuk peternak rakyat yang kemarin terpukul, pada waktu 2020 -2021 karena pandemic, nah itu diberikan pinjaman atau modal lunak untuk memulai lagi usahanya. Jadi itu menyelesaikan dari sisi pasokan,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto.

Lonjakan harga telur saat ini terjadi imbas dari tata kelola yang buruk dalam dua tahun terakhir. Karena itu, langkah yang perlu dilakukan pemerintah tidak sebatas operasi pasar, melainkan membenahi tata kelolanya.

“Nah sekarang yang terjadi, HET yang kemarin diset akhirnya pemerintah mencabut HET itu juga kan, kasusnya nanti seperti minyak goreng, HET gak berlaku. Karena memang gak segampang itu set harga. Harus ada konsekuensinya, masalahnya konsekuensi pemerintah itu yang gak clear. Kalau cuma penindakan, mah gampang, tapi kan gak realistis jadinya, gak jadi solusi,” kata Bhima.

Baca juga artikel terkait HARGA TELUR atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz