tirto.id - Densus 88 Antiteror pada 21 Desember 2021 menangkap tiga terduga teroris di Kalimantan Tengah yakni AZE, RT, dan MS. Berdasarkan penelusuran petugas, ketiganya berafiliasi dengan kelompok teror. Peringkusan itu merupakan pengembangan perkara dari penangkapan terduga teroris N alias R.
“(Mereka) merupakan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berada di Kabupaten Kotawaringin Timur,” ucap Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, di Mabes Polri, Kamis (23/12/2021).
N alias R berperan sebagai perekrut anggota JAD baru. Ia juga terhubung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso. N juga memelajari secara autodidak soal bahan peledak, dia pun tergabung dalam pendukung ISIS.
Selanjutnya, AZE diketahui ikut pelatihan fisik dan persenjataan bersama MS, ia juga menjadi admin dua grup WhatsApp. Sedangkan peran RT ialah admin satu media sosial. Terakhir, MS, berbeda dengan dua rekannya, ia dibekuk di Kota Palangka Raya dan berperan sebagai pendorong pembelian senjata dan menyatakan siap menjadi eksekutor teror.
“Dia juga melakukan pelatihan bersama AZE,” imbuh Ramadhan. Rangkaian penegakan hukum ini dilakukan guna mengantisipasi aksi teror di Tanah Air.
Mundur tiga tahun silam, polisi menuding rentetan teror bom di Surabaya didalangi kelompok JAD. Nama ini menggantikan dominasi Jamaah Islamiyah (JI) dalam pemberitaan mengenai teror di Indonesia. Puncaknya setelah terjadi rentetan bom bunuh diri di Surabaya kala itu. JAD terafiliasi dengan ISIS dan pola serangannya cenderung acak.
Serangan-serangan mereka, selain masih berskala kecil, dampaknya juga kurang terukur dan lebih cenderung menyasar publikasi sebagai efek. Sementara, untuk perekrutan anggota baru, JAD lebih luwes ketimbang JI. Siapa saja bisa bergabung dalam JAD asal mau jihad. Bila JI menyasar orang asing, JAD lebih menyasar sipil dan polisi.
Selain itu, JI tidak melibatkan perempuan dalam aksinya. Maka ketika teror di Surabaya terjadi, ternyata melibatkan perempuan dan anak-anak, mudah ditengarai digerakkan kelompok yang berafiliasi dengan ISIS.
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst Harits Abu Ulya berkata saat ini JAD mati suri, keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Penangkapan oleh Densus 88 kali ini hanya membersihkan sisa-sisa anggota JAD.
“Tiap akhir dan awal tahun penangkapan sudah seperti rutinitas, sebagai bentuk pencegahan. Ancaman JAD terhadap stabilitas keamanan NKRI sangat rendah,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (24/12/2021). Ancaman aktual, faktual dan sangat berbahaya, kata Harits, datang dari kelompok pro kemerdekaan Papua.
Sisa-sisa anggota JAD terkini, kata dia, bukan tidak mungkin melakukan teror. Jika berasaskan ‘dugaan’ tentu semua anggota JAD masuk dalam radar kemungkinan. Namun faktanya, dalam beberapa tahun terakhir personel yang tersisa juga tidak melakukan aksi di momentum tertentu.
“Sekalipun aksi, kualitasnya rendah sekali. Rasanya tidak perlu membuat imej atau narasi seekor ‘kucing’ dianggap seperti ‘singa’,” jelas Harits. Dalam konteks terkini, ia menilai JAD tidak mengagendakan serangan teror.
JAD Mulai Tercerai-berai
JAD kerap mengevaluasi setiap serangannya. Salah satunya adalah berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sekitar. Secara penampilan dan pola interaksi sosial, JAD susah dibedakan dengan masyarakat pada umumnya. Sebisa mungkin mereka berperilaku berkebalikan dengan kelompok radikal.
Direktur Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia, Stanislaus Riyanta menyatakan, secara organisasi JAD memang mulai tercerai berai, apalagi organisasi yang menjadi basis mereka yaitu ISIS sudah sangat terdesak di Timur Tengah.
Namun secara ideologis ini tidak akan hilang, sehingga para anggota dan simpatisan JAD yang sudah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia akan tetap berpikiran radikal, kata Riyanta. “Potensi untuk melakukan serangan oleh kelompok JAD di akhir tahun ini memang dimungkinkan, terutama oleh sel-sel kecil, (yakni) sel keluarga,” kata dia kepada Tirto, Jumat (24/12/2021).
Momentum Natal dan tahun baru menjadi salah satu waktu favorit bagi kelompok JAD dan kelompok teroris lainnya untuk menunjukkan eksistensi dan bukti perlawanan mereka terhadap pihak lain yang dianggap musuh. Selama ini sasaran dominan kelompok JAD ada dua, yaitu polisi dan tempat ibadah, (didominasi penyerangan gereja). Serangan oleh sel kecil seperti keluarga, bahkan pelaku tunggal ini yang sulit dideteksi. Beda jika pelakunya kelompok, akan lebih mungkin terdeteksi karena biasanya menggunakan komunikasi elektronik yang bisa disadap.
“Yang harus diwaspadai gerakan sel kecil keluarga dan pelaku tunggal, mereka sulit dideteksi. Apalagi jika sudah ada pemicu, misalnya penangkapan sebelumnya yang memungkinkan adanya tambahan motif balas dendam, dan sebagai suatu tindakan yang terdesak,” sambung dia.
Riyanta menilai jumlah anggota inti JAD dan simpatisan saat ini lebih dari 20 ribu orang, tapi tidak semua anggota tersebut mempunyai kemampuan dan keberanian untuk melakukan teror.
Eksistensi Pendukung
10 terduga teroris jaringan JAD yang ditangkap di Merauke pada 28 Mei 2021, berencana menyerang kantor polisi dan rumah ibadah di daerah setempat. Senjata tajam, senapan angin, panah, serta beberapa cairan kimia disita sebagai barang bukti.
Berdasar penelusuran polisi, mereka tergabung dalam kelompok WhatsApp dan Telegram yang membahas unsur radikalisme. Mereka yang dibekuk yakni AK, SB, ZR, UAT, DS, SD, WS, YK, AP, dan IK.
13 April 2020, Densus 88 pernah menangkap Achmad Husein Siampa, La Ode Muh. Isnain alias Jojo, Muhammad Fajar, dan Alen Kristian Ponoi Malaha, di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Mereka merupakan jaringan JAD Sulawesi Tenggara. Kemudian, 11 Maret, Polri meringkus DP alias AU di Kelurahan Tanjung Gadang, Sumatera Barat. DP diduga merupakan anggota JAD Pekanbaru.
Peristiwa-peristiwa tersebut mencerminkan eksistensi JAD hingga kini. Dosen Universitas Malikussaleh sekaligus analis terorisme Al Chaidar berkata penangkapan-penangkapan ini memperlihatkan masih ada pendukung JAD di Indonesia dan semakin menyebar ke banyak provinsi.
“Orang-orang masih saja mudah dipancing dengan isu-isu intoleransi dan anti terhadap agama lain,” kata Al Chaidar kepada Tirto, Jumat (24/12/2021). Menurutnya, kini terdapat kurang lebih 18 ribu anggota JAD di Bumi Pertiwi.
Al Chaidar meneruskan, JAD sangat mungkin beraksi saat hari keagamaan. “JAD biasa bergerak pada masa Natal, tahun baru dan Paskah. (Sedangkan) JI tidak melakukan serangan di Indonesia lagi, tapi di luar negeri.”
Terdapat perbedaan strategi antara JI dan JAD, yaitu JI tidak memakai sistem sel terbuka seperti JAD. Kelebihan dari sistem ini ialah bisa merekrut lebih banyak anggota untuk dijadikan teroris, tapi lebih riskan karena intelijen pun bisa masuk dalam rekrutmen.
Mantan anggota Polri yang pernah menjadi narapidana teroris, Sofyan Tsauri, menilai JAD jelas kalah besar dengan JI. Bukan berarti dampak serangan JAD bisa ditangani dengan enteng. Meski serangan-serangannya kecil, tapi JAD memperpanjang umur keresahan. “Jangan salah, kecil-kecil cabe rawit,” kata mantan anggota JI kelompok Dulmatin itu.
Dalam aksinya, JAD tidak ragu untuk melakukan serangan fisik. Serangan bom hanyalah alternatif lantaran serangan fisik mudah ditangkal oleh polisi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz