Menuju konten utama

Masalah di Balik Sanksi Pidana bagi Warga Tak Pakai PeduliLindungi

Rencana sanksi pidana bagi warga tak pakai PeduliLindungi menuai protes. Belum lagi masalah teknis yang tidak diperhitungkan pemerintah.

Masalah di Balik Sanksi Pidana bagi Warga Tak Pakai PeduliLindungi
Pegawai pemerintah memindai kode batang (QR Code) melalui aplikasi PeduliLindungi di Dinas Komunikasi dan Informatika, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (21/10/2021). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/foc.

tirto.id - Pemerintah mewajibkan masyarakat menggunakan aplikasi PeduliLindungi dan memberikan sanksi administratif kepada mereka yang tidak memakai aplikasi tersebut selama masa libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan minta pemerintah daerah mengeluarkan aturan yang memaksa semua pihak menggunakan aplikasi tersebut.

Pemerintah ingin penggunaan PeduliLindungi di masa Natal dan Tahun Baru menjadi momentum kesadaran publik. “Hari ini saya keluarkan surat edaran agar para gubernur membuat Peraturan Kepala Daerah. Itu sebentar saja dibuat dan isinya di antaranya adalah agar di ruang-ruang publik menerapkan aplikasi PeduliLindungi dan kemudian menegakkannya, berikut memberi sanksi administrasi,” kata Tito, Selasa (21/12/2021).

Tito mencontohkan sanksi administrasi yang diberikan, seperti pencabutan izin usaha pada waktu tertentu. Setelah masa Natal dan Tahun Baru berakhir, Kemendagri berencana mendorong Peraturan Kepala Daerah yang diterbitkan berubah menjadi Peraturan Daerah, maka pemerintah bisa menerapkan hukuman denda dan pidana.

“Sehingga bisa memberi sanksi denda bagi tempat-tempat usaha restoran, mal dan lain-lain yang tidak menerapkan aplikasi PeduliLindungi," kata dia.

Sementara Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berkata pendekatan keras (koersif) membuat masyarakat sadar untuk menggunakan aplikasi tersebut.

“Mudah-mudahan setelah ada pendekatan koersif yang nanti akan diatur oleh Surat Edaran Mendagri dan Peraturan Kepala Daerah masing-masing, pasca-Nataru masyarakat sudah tidak lagi perlu didekati dengan koersif, tapi dengan kesadaran betapa pentingnya aplikasi PeduliLindungi untuk kepentingan bersama,” kata dia.

Publik pun menyoroti rencana ancaman pidana itu. Nandaru, seorang karyawan swasta yang dihubungi reporter Tirto pada Kamis, 23 Desember 2021, menyatakan tanpa ada ancaman pidana pemerintah berlaku diskriminatif kepada rakyatnya. Terutama bagi mereka yang tidak memiliki ponsel pintar.

“Terlalu berlebihan kalau sampai ada sanksi pidana, seolah kurang kreatif kalau pemerintah selalu pakai pendekatan koersi,” tutur dia.

Nandaru berpendapat pemerintah tak perlu memberikan sanksi, tapi berikan ‘penghargaan’ bagi pengguna PeduliLindungi seperti setiap kali pengguna memindai kode bar, maka ia bisa mendapatkan poin. Poin-poin itu nanti bisa digunakan untuk diskon beli penganan atau belanja daring.

Perlu Ditimbang Ulang

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan ancaman sanksi pidana terlalu berlebihan. "Lebih baik pemerintah memperbaiki tata kelola pencegahan dan penanganan pandemi COVID-19 dibanding memberi ancaman yang menakut-nakuti warga yang dianggap tidak patuh," ucap dia kepada Tirto, Kamis (23/12/2021).

Tidak kalah pentingnya adalah kesetaraan layanan kepada seluruh warga negara. Tidak tebang pilih yang kemudian menyebabkan ketidakpercayaan dan antipati kepada inisiatif pemerintah, kata Beka.

Sementara itu, Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, berujar pemerintah harus menimbang masak-masak soal rencana penerapan sanksi. Bukan berarti aplikasi tersebut tidak bisa menelusuri penyebaran virus di publik, tapi aplikasi itu bukan mencegah penyebaran COVID-19.

"Intervensi pemerintah melalui kebijakan, bisa membantu. Tapi tidak menjadi alat utama untuk mencegah mobilitas," kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (23/12/2021). Alasannya, ada aplikasi PeduliLindungi maupun surat edaran pemerintah, dan sanksi, publik juga tahu bahwa ada aturan lain yang kerap berubah dan membingungkan masyarakat.

Di tengah kebingungan, ada atau tanpa PeduliLindungi, masyarakat bermobilisasi sesuai kepentingan masing-masing. "Itu pun tergantung ketegasan tempat-tempat yang didatangi. Ada juga tempat yang keberatan menggunakan hal (aplikasi) ini," sambung Adinda. Apalagi aplikasi tersebut hanya bisa diakses menggunakan ponsel pintar dan terhubung dengan jaringan internet.

Ada aspek teknis lain perihal penggunaan PeduliLindungi, seperti kemampuan literasi digital seseorang dan koneksi internet di sebuah tempat. Banyak instrumen kebijakan ihwal sanksi, namun yang penting adalah kesadaran masyarakat untuk taat protokol kesehatan.

Adinda berpendapat pemerintah cenderung menghukum rakyat ketimbang mencegah terjadinya perkara. "Kenapa negara seperti itu? Apakah karena masyarakat tidak disiplin? Atau tidak disiplin karena tahu peraturan yang berubah-ubah?" ujar dia.

Kalau hanya mengandalkan PeduliLindungi, kata dia, maka pemerintah perlu memikirkan juga bagaimana orang yang tidak memiliki ponsel, jaringan internet, maupun yang tidak bisa mengakses aplikasi itu.

Belum lagi soal petugas yang bisa saja kelelahan untuk memeriksa orang yang mengakses aplikasi itu sebelum masuk ke sebuah tempat. "Artinya, bisa jadi sebagian bisa mengikuti ketentuan itu, tapi sebagian lainnya memang tidak terdata," kata Adinda.

Namun Bodhiya Vimala, seorang warga lainnya, menilai aplikasi PeduliLindungi masih ada kekurangan yang berimbas merugikannya. Misalnya, ketika ia gagal memindai kode bar. Dia sempat mengira itu perkara sinyal, tapi ternyata tidak.

“Bukan masalah sinyal, tapi masalah di PeduliLindungi-nya. Perbaiki dahulu sistem PeduliLindungi. Percuma mewajibkan masyarakat, tapi mengancam,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (23/12/2021).

Dia menanyakan apa guna PeduliLindungi kalau hanya sebagai cara menunjukkan kartu vaksinasi? Padahal sertifikat vaksinasi itu bisa dicetak, artinya sistem manual masih bisa menunjang aktivitas yang berkaitan dengan PeduliLindungi. Berarti masyarakat bisa masuk ke mal tanpa perlu memerlihatkan kartu vaksinasi melalui PeduliLindungi. Sedangkan, Umi Setyawati, pekerja swasta, berpendapat pemerintah perlu menawarkan solusi masuk akal soal perkara ini.

“Ancaman pidana itu tak sebanding, tidak perlu. Bukan sanksi (yang harus diberikan pemerintah), tapi penghargaan (kepada rakyat) seperti vaksinasi booster atau ponsel baru,” kata dia.

Tuntutan bagi pemerintah memberikan vaksin booster ketimbang memenjarakan warga, turut diutarakan oleh Thea. “Zaman lagi susah. Masyarakat sekarang lagi bertahan hidup, kalau pemerintah mengesahkan aturan ini sama saja bunuh rakyat perlahan-lahan. Selama internet dan penggunaan ponsel pintar belum merata, sanksi ini tidak relevan. Kenapa tidak memperkuat imun warga dengan mulai kasih vaksin booster lebih cepat?” kata dia.

‘Promosi’ Hukuman

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan rencana ancaman merupakan kesalahan yang lagi-lagi dilakukan pemerintah yang terus mempromosikan penggunaan ancaman sanksi pidana untuk menjamin kepatuhan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19. Proposal untuk menggunakan sanksi pidana harus dipikirkan dengan matang, saksama dan proporsional.

Penggunaan sanksi pidana untuk penanggulangan COVID-19 telah menunjukkan kesemrawutan dan diskriminatif. Pemerintah pernah menerapkan sanksi pidana bagi pelanggar PPKM berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 2021. Instruksi ini menyampaikan bahwa pelanggar PPKM dapat dikenai sanksi pidana melalui berbagai macam instrumen hukum: Pasal 212-Pasal 218 KUHP, pasal pidana dalam UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pasal pidana dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain.

“Masing-masing aturan tersebut memuat ketentuan unsur tindak pidana yang spesifik, sedangkan dalam penerapannya tidak sesuai dengan unsur pidana yang dimaksud. Bahkan penggunaan Pasal 212, 218 KUHP tentang melanggar perintah petugas tidak tepat digunakan, memunculkan kesewenangan,” ujar peneliti ICJR Genoveva Alicia, Rabu (22/12/2021).

Berbagai macam upaya yang merendahkan dan bersifat menghukum, diterapkan tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan proporsionalitas antara pelanggaran dengan sanksi yang diberikan, kata Genoveva.

Disproporsional ditemukan terjadi kepada pedagang-pedagang skala menengah hingga kecil atau bahkan pedagang kaki lima apabila dibandingkan dengan pelaku usaha skala besar, ataupun antara masyarakat biasa dengan masyarakat dengan profil tertentu. Keberadaan sanksi pidana yang terus dipromosikan justru akan menimbulkan praktik-praktik diskriminasi dan tidak menyelesaikan masalah kepatuhan yang ingin diintervensi oleh pemerintah.

Pembahasan mengenai sanksi pidana di dalam penegakan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 tidak pernah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah, hal ini juga menandakan peringatan bagi dewan perwakilan rakyat tingkat pusat maupun daerah, karena penggunaan dan promosi sanksi pidana hanya dapat dibahas oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Sikap kritis terhadap proposal pemerintah belum cukup ditunjukkan oleh dewan perwakilan rakyat.

“Kami tekankan, pelanggaran atas protokol kesehatan adalah pelanggaran yang bersifat administrasi. Intervensi yang tepat dilakukan pemerintah terhadap masalah administrasi adalah membangun sistem yang jelas, termasuk pengawasannya. Pemerintah tidak dapat mendahulukan promosi penggunaan sanksi pidana tanpa upaya yang jelas untuk membangun sistem,” jelas Genoveva.

Dalam penggunaan aplikasi PeduliLindungi, kata dia, pemerintah harus terlebih dahulu memastikan kejelasan pihak yang harus menggunakan aplikasi, bagaimana melakukan pendaftaran dan harus ada evaluasi berkala, serta tidak dapat memberikan sanksi kepada masyarakat. Alih-alih menghukum dengan menggunakan sanksi pidana, pemerintah harus memikirkan peluang insentif yang dapat menstimulus kepatuhan masyarakat.

Tanpa perlu menyebarkan ancaman, sikap keras pemerintah yang terbukti menimbulkan kesewenangan kepada rakyat menengah ke bawah minim akses keadilan. “Jangan sampai penggunaan ancaman pidana diartikan sebagai bentuk frustasi dan ketidakmampuan pemerintah dalam menata masalah dalam masyarakat,” imbuh Genoveva.

Jangan Sembarangan Hukum Rakyat

Ultimum remedium merupakan istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas dalam penegakan hukum. Asas hukum pidana Indonesia memaktubkan bahwa hukum pidana dijadikan langkah terakhir dalam hal penegakan hukum. Maka, suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) dan upaya itu dapat ditempuh terlebih dahulu ketimbang pemenjaraan.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi berujar sanksi pidana merupakan ultimum remedium dan tidak bisa serta-merta diterapkan tanpa pemerintah memastikan aplikasi PeduliLindungi bekerja optimal. “Misalnya (masyarakat) tidak menggunakan karena aplikasinya eror, itu bagaimana pengaturannya? Lalu apa urgensi pemidanaan terhadap orang yang tidak menggunakan aplikasi itu?” ucap dia kepada reporter Tirto, Kamis (23/12/2021).

Masyarakat yang tidak menggunakan PeduliLindungi, otomatis tidak bisa masuk ke dalam sebuah ruangan yang mensyaratkan penggunaan aplikasi tersebut. Namun jika publik bisa masuk ke mal, misalnya, tanpa mengakses PeduliLindungi, maka yang bermasalah adalah si penyedia aplikasi itu.

“Yang perlu ditekankan, memastikan bahwa protokol kesehatan tetap dijalankan. Bukan soal aplikasinya. Aplikasi bisa apa pun, tapi protokol kesehatan bisa dipastikan di lapangan. Jangan sedikit-sedikit pidana,” lanjut Fachrizal.

Kalaupun ada Perda, kata dia, sebaiknya berisi tentang antisipasi COVID-19, bukan mempromosikan pidana kepada rakyat. Dampak dari sanksi pidana adalah pemenjaraan, sementara penjara di Indonesia sudah melebihi kapasitas. Pemenjaraan juga bertolak belakang dengan cara pemerintah yang membebaskan narapidana saat virus Corona merebak di awal tahun lalu. Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 jadi dasar pembebasan tersebut.

Perbedaan ‘keinginan’ pemerintah ini sulit diterima akal. Kemenkumham ingin membebaskan narapidana agar COVID-19 tak menular, sementara kementerian lain ingin pelanggar peraturan dipenjarakan. Jika Peraturan Daerah itu benar diketok palu, maka rakyat bisa menggugat.

“Bisa (ajukan) judicial review kepada Mahkamah Agung, kalau (berkaitan dengan) Perda. Kalau ada masyarakat yang dilanggar haknya, bisa melakukan praperadilan,” jelas Fachrizal.

Baca juga artikel terkait APLIKASI PEDULILINDUNGI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz