tirto.id - Densus 88 Antiteror Polri membekuk S, terduga teroris yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah pada 31 Oktober 2021, di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Berdasar penelusuran polisi, S merupakan Ketua Lembaga Amil Zakat Abdurrahman Bin Auf (LAZ-ABA). Sehari kemudian giliran SU yang ditangkap.
“Yang bersangkutan menjabat sebagai sebagai bendahara sebuah lembaga amil zakat. Yayasan ini mengumpulkan dana yang diperuntukkan aksi-aksi terorisme dan program jihad global,” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, di Mabes Polri, Rabu (3/11/2021). Lembaga yang dimaksud adalah Baitulmal Abdurrahman Bin Auf (BM-ABA).
SU menjadi anggota Jamaah Islamiyah sejak 1998. Sementara, program ‘jihad global’ merupakan upaya pengkaderan serta konsolidasi bagi anggota Jamaah Islamiyah. Bila dana telah terkumpul, maka para kader dikirim ke daerah-daerah Syria, Irak, dan Afghanistan. Kader-kader itu akan dilatih di lapangan untuk meningkatkan kemampuan militer para kader. Program ini juga bertujuan untuk membangun jaringan dengan kelompok radikal di negara konflik.
Pada 2 November, Densus 88 meringkus DRS di Lampung. Ia menjabat sebagai sekretaris BM-ABA dan pernah menjadi ketuanya pada periode 2018-2020. “Yang bersangkutan (DRS) mengetahui benar aliran dana yang dikumpulkan oleh yayasan tersebut,” sambung Ramadhan.
DRS diduga berprofesi sebagai kepala sekolah sebuah sekolah dasar di kawasan Pesawaran.
Penangkapan S, SU, dan DRS ini mengungkap aset yayasan seperti tanah dan bangunan di beberapa wilayah di Lampung. Melalui yayasan amil zakat tersebut, mereka menerima pendanaan hingga Rp20,3 miliar. BM-ABA diduga menyalurkan Rp1,2 miliar ke Jamaah Islamiyah, dana itu merupakan infak masyarakat yang diterima yayasan sebesar Rp104,8 miliar sejak 2014-2019.
Pengiriman uang itu ditransfer melalui rekening atas nama Fitria Senjaya dan Raden Bagaskara. Kini rekening tersebut telah dibekukan. Densus kembali mengembangkan perkara. Pada 3 November, polisi menyita 400 kotak amal, satu mobil, dan sejumlah dokumen dari yayasan Ishlahul Umat Lampung, yang diketahui sebagai cabang dari BM-ABA.
Ishlahul Umat Lampung adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial yang terletak di Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu. Saat ini tim Densus masih menyisir lokasi yang diduga menjadi tempat pengumpulan kotak amal.
Ubah Strategi, Pematangan Kader
Direktur Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia, Stanislaus Riyanta menyatakan, usai penangkapan Abu Bakar Ba'asyir, Jamaah Islamiyah mengubah strategi, tidak dengan kekerasan tapi dengan cara-cara lunak termasuk penggalangan, dakwah, dan pengumpulan dana. Tujuan Jamaah Islamiyah bukan jangka pendek melainkan jangka panjang. Setelah mereka besar termasuk anggota dan dana, maka mereka akan beraksi.
“Saat ini mereka memang sangat gencar melakukan dakwah, penggalangan, dan pengumpulan dana termasuk melalui kotak amal, punya bisnis seperti kebun sawit, dan lainnya. Bahkan mengirimkan kader-kader mudanya ke daerah konflik Timur Tengah untuk belajar dan membangun jaringan. Jamaah Islamiyah dalam jangka panjang sangat berbahaya,” kata Riyanta kepada reporter Tirto, Kamis (4/11/2021).
Alasan Jamaah Islamiyah mengubah strategi, kata dia, karena jika menggunakan kekerasan akan sangat merugikan, banyak penangkapan, sehingga mereka memilih konsolidasi dan menunggu momentum yang tepat. Riyanta berpendapat untuk saat ini, dalam jangka pendek, Jamaah Islamiyah tidak bergerak untuk aksi teror, kecuali sempalan yang tidak taat regulasi organisasi.
Upaya pemantauan seperti aliran dana melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pemetaan jaringan, harus terus dilakukan untuk mencegah aksi yang lebih besar, kata dia.
“Ini tidak bisa hanya dilakukan pemerintah, perlu kolaborasi dengan masyarakat karena Jamaah Islamiyah ini hidup dan beraktivitas di masyarakat seperti biasa,” terang dia. Namun tak semua orang sadar bahwa Jamaah Islamiyah berkedok baru, maka perlu peran pemerintah untuk memberi pembekalan kepada publik terkait radikalisasi ini.
Selain itu, kelompok teroris saat ini juga kerap memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dalam melakukan aktivitasnya. Petrus Reinhard Golose dalam buku Invasi Terorisme ke Cyberspace menyebut, internet tidak hanya digunakan sebagai media propaganda, tapi juga pendanaan.
Salah satu pemanfaatan internet dalam pendanaan terorisme di Indonesia dengan jalan mengeksploitasi sistem pembayaran online adalah peretasan situs komersil. Misalnya, jaringan teroris Rizky Gunawan berhasil mengeruk Rp5.000.937.000.000 dari 2010-2012 dengan meretas situs speedline.com. Dana itu ditampung di rekening bank milik Cahya Fitrianta dan istrinya, Nurul Azmi Tibyani. Rp667 juta digunakan untuk biaya latihan paramiliter di Poso pada 2011, pembelian rumah, mobil, dan motor (Invasi Terorisme ke Cyberspace, 2015:115).
Pasti akan ada dampak terhadap organisasi, jika Densus kerap menangkap personel Jamaah Islamiyah, tapi mereka juga waspada karena penggalangan dan perekrutan juga terus dilakukan.
Namun, apakah mungkin Jamaah Islamiyah kini menerapkan pola peretasan dalam perjuangannya? Riyanta berkata “untuk menggalang dana dengan peretasan masih kecil kemungkinan karena mereka perlu bergerak dalam situasi ‘aman’, sehingga memilih cara-cara yang wajar.”
Kotak Amal Abal-Abal
2013 menjadi tahun dimulainya Jamaah Islamiyah ‘menggerakkan kotak amal’ yang disebar melalui beberapa organisasi kemanusiaan yang dibentuknya. Kurang lebih 24 ribu kotak amal tersebar di 18 provinsi. Seperti kasus di Lampung, BM-ABA menjadi wadah untuk menampung infak-infak publik.
“Di Lampung ada sekitar 1.200-an kotak amal, dari situ mereka mendapatkan dana, kurang lebih per bulan, hampir Rp1 miliar,” kata dosen Universitas Malikussaleh sekaligus analis terorisme Al Chaidar, kepada reporter Tirto, Kamis (4/11/2021).
Jumlah itu ia sebut sangat spektakuler. Menurut Al Chaidar, Jamaah Islamiyah tidak menggunakannya untuk operasi terorisme di Indonesia.
Sejak delapan tahun silam, Jamaah Islamiyah memutuskan tidak lagi meneror di Bumi Pertiwi. Sebab mereka anggap negara ini sebagai tempat untuk mengumpulkan uang saja, Jamaah Islamiyah cenderung membuat lembaga-lembaga humanitarian seperti BM-ABA, Syam Organizer, dan Hilal Ahmar Society Indonesia. Uang itu digunakan untuk mengirimkan bantuan kepada negara konflik.
“Jamaah Islamiyah tiga kali berubah, dari organisasi jihadis menjadi organisasi dakwah. Kemudian menjadi organisasi humanitarian. Bukan lagi sebagai organisasi teroris, jadi harus ada ‘delisting’ dari beberapa negara terhadap mereka karena bukan lagi beroperasi sebagai organisasi teroris,” jelas Chaidar.
Namun di Indonesia masih menggunakan perspektif lama yang menyimpulkan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi teroris, akibatnya pemerintah masih berupaya melenyapkan mereka, kata Al Chaidar.
Sembari mengirimkan bantuan ke Suriah, Irak, Bangladesh, Afghanistan, Libya, Myanmar, dan Palestina, kata dia, Jamaah Islamiyah juga mengirimkan para kadernya. Tujuannya agar para kader dapat terlibat langsung dengan konflik di daerah tersebut. Umpama, ke Suriah, para kader itu akan berjejaring dengan Harakat Ahrar al-Sham al-Islamiyya dan Jabhat al-Nusra.
Persatuan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat menganggap dua organisasi itu sebagai organisasi teroris, para organisasi yang menjalin hubungan dengan keduanya bakal disebut sebagai kelompok teroris. Bukan tak mungkin Jamaah Islamiyah berkelindan dengan kelompok radikal di negara lain, meski hubungan mereka dan Al-Qaeda telah putus di medio 2002-2003, usai Bom Bali. Al-Qaeda tidak lagi merespons komunikasi dan permintaan bantuan Jamaah Islamiyah.
Alasannya karena Al-Qaeda menganggap permintaan Jamaah Islamiyah terlalu kekanak-kanakkan. Salah satunya, meminta dana untuk menyerang persidangan para pelaku Bom Bali. Menurut Al-Qaeda itu adalah risiko perjuangan yang harus dipahami dan tidak diadukan sebagai sebuah keluhan. Kemudian, langkah Jamaah Islamiyah bisa terkendala lantaran banyak tokoh kunci ditangkap.
Meski banyak aktor sentral yang dilumpuhkan, sel-sel tidur Jamaah Islamiyah kini masih ada di 18 provinsi dan aktif menggalang dana. Artinya, bukan tidak mungkin mereka kembali melakukan teror di Indonesia, tapi tergantung si pemimpin organisasi, kata dia.
Menurut Al Chaidar, saat ini Jamaah Islamiyah tak menganut paham takfiri, artinya mereka boleh bekerja layaknya manusia normal. Misalnya sebagai pegawai negeri sipil. Dikaitkan dengan penangkapan terduga teroris di Lampung, DRS memang merupakan kepala sekolah sengan status PNS.
Jamaah Islamiyah tak hanya berselimut di balik organisasi humanitarian, selain mengumpulkan cuan mereka juga aktif menghubungi dan menarik dana dari beberapa donatur tetap atau potensial. Program bantuan ke daerah konflik sebagai sebuah kontribusi jihad dalam bentuk sumbangan uang.
Tak semua orang sadar tengah dikelabui oleh Jamaah Islamiyah. “Apalagi mereka yang mengumpulkan uang melalui kotak amal,” ujar Chaidar.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz