tirto.id - Aturan tes polymerase chain reaction (PCR) sebagai syarat melakukan perjalanan yang berubah-ubah menimbulkan kebingungan dan pertanyaan publik. Perubahan yang cepat itu dianggap telah mengindikasikan kebijakan dibuat atas adanya pengaruh kepentingan kelompok demi mendapatkan keuntungan.
Kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat yang hendak ke daerah PPKM level 3 dan 4 berlaku mulai 24 Oktober 2021. Hal itu diberlakukan setelah dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 52 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3, Level 2 dan Level 1 COVID-19 di Wilayah Jawa Bali tertanggal 23 Oktober 2021.
Aturan bahwa penumpang pesawat wajib menunjukkan hasil tes PCR maksimal dua hari atau 2X24 jam sebelum pemberangkatan itu juga tertuang dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dengan Transportasi Udara Pada Masa Pandemi COVID-19.
Aturan itu kemudian mendapatkan kritik keras dari publik termasuk dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Tingginya harga PCR saat itu yang yang mencapai Rp495 ribu di Jawa Bali dan Rp525 ribu di daerah lain dinilai sangat memberatkan bagi masyarakat.
Pada 27 Oktober 2021, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan kemudian menurunkan batas harga tertinggi tes PCR menjadi Rp275 ribu di Jawa Bali dan Rp300 ribu di daerah lain. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir saat itu mengatakan penurunan harga ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi sejumlah komponen biaya PCR telah mengalami penurunan.
Pada 28 Oktober 2021, Mendagri Muhammad Tito Karnavian mengeluarkan Perubahan Instruksi terkait perubahan aturan masa berlaku tes PCR menjadi 3x24 jam untuk syarat penumpang pesawat. Perubahan aturan itu tertuang dalam Inmendagri Nomor 55 Tahun 2021 tentang Perubahan Inmendagri Nomor 53 Tahun 2021 tentang PPKM Level 3, 2 dan 1 di Wilayah Jawa dan Bali.
Inmendagri itu diikuti dengan keluarnya SE Nomor SE 90 Tahun 2021 mengenai Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 86 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Darat Pada Masa Pandemi COVID-19. Dalam aturan itu pelaku perjalanan jarak jauh selain menggunakan pesawat udara juga diwajibkan menunjukkan tes PCR atau antigen.
“Melalui SE 90/2021 ini kami di ingin menyampaikan bahwa para pelaku perjalanan jauh dengan moda transportasi darat dan penyeberangan dengan ketentuan jarak minimal 250 km atau waktu perjalanan 4 jam dari dan ke Pulau Jawa dan Bali wajib menunjukkan kartu vaksin minimal dosis pertama dan surat keterangan hasil RT-PCR maksimal 3x24 jam atau antigen maksimal 1x24 jam sebelum perjalanan,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi dalam keterangan resmi, Minggu (31/10/2021).
Selang tiga hari setelahnya, pada 1 November 2021 aturan kembali berganti. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyatakan ada perubahan aturan mengenai syarat pelaku perjalanan moda transportasi pesawat udara di Jawa-Bali. Penumpang tak lagi diwajibkan menunjukkan hasil tes negatif tes PCR.
“Cukup menggunakan tes antigen sama dengan yang sudah diberlakukan untuk wilayah luar Jawa-Bali,” kata Muhadjir saat jumpa pers virtual, Senin (1/11/2021).
Perubahan aturan itu tertuang dalam Inmendagri Nomor 57 Tahun 2021 tentang Perubahan Inmendagri Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3, 2 dan 1 di Wilayah Jawa dan Bali yang berlaku mulai 2-15 November 2021
Bunyi perubahan aturan itu di antaranya adalah bahwa penumpang pesawat yang masuk dan keluar atau antara wilayah Jawa Bali harus menunjukkan tes antigen hasil tes antigen yang dilakukan satu hari sebelumnya jika sudah melakukan dua kali vaksinasi. Sementara yang baru mendapatkan vaksinasi dosis pertama harus menunjukkan hasil tes PCR negatif yang diambil maksimal tiga dari sebelum keberangkatan.
Dalih Pemerintah Aturan PCR Berubah-ubah
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal mengatakan perubahan aturan termasuk soal syarat perjalanan menggunakan tes PCR ini merupakan hasil dari evaluasi mingguan.
“[Perubahan aturan] ini kan basis evaluasi per minggu. Jika keadaan terus membaik dan tidak ada perkembangan penularan kasus antar daerah, maka akan dipertahankan. Jika keadaan kembali memburuk maka kebijakan bisa dievaluasi kembali,” kata Safrizal kepada reporter Tirto, Selasa (2/11/2021).
Sementara itu, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa penerapan wajib tes antigen atau PCR terhadap pelaku perjalanan merupakan bentuk kehati-hatian yang dilakukan pemerintah.
“Syarat testing PCR atau antigen adalah bentuk kehati-hatian pemerintah mengingat adanya peluang tidak semua kasus positif dapat terdeteksi dengan baik oleh alat diagnostik,” kata Wiku dalam konferensi pers virtual, Selasa (2/11/2021).
Wiku bilang perubahan syarat testing COVID-19 yang terjadi dalam waktu belakangan sebagai suatu dinamika yang wajar.
“Dinamika syarat testing khususnya yang bersifat diagnostik adalah hal yang amat wajar mengingat pertimbangan untuk pemilihan metode testing tersebut sangat dinamis. Pemerintah berupaya keras menjadikan setiap metode testing yang dipersyaratkan dapat terakses dengan baik oleh masyarakat sesuai dengan ketersediaan fasilitas maupun keterjangkauan biaya,” kata Wiku.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai kebijakan yang berubah-ubah dengan cepat ini membingungkan masyarakat dan aneh. “Situasi ini cukup membingungkan seolah-olah pemerintah tidak punya evidence based atau fakta dan data dalam pengambilan keputusan,” kata Hermawan kepada Tirto, Selasa (2/11/2021).
Ketika pemerintah memberlakukan wajib PCR untuk penumpang pesawat udara sementara transportasi umum lainnya tidak, itu menurutnya aneh. Sebab jika paradigmanya untuk melakukan upaya pengendalian COVID-19 saat penularan menurun yang harus diwanti-wanti dan dijaga adalah protokol kesehatan yakni menjaga jarak, memakai masker, dan menjauhi kerumunan (3M).
“Itu tidak bisa ditawar, tapi itu kemudian menjadi excuse, karena bagaimana mungkin menjaga jarak saat volume penumpang pesawat 100 persen, mal juga dibuka dengan kapasitas yang besar, dan tempat pariwisata dibuka,” ujarnya.
Namun demikian, menurutnya skrining tes memang tetap perlu dilakukan dengan catatan harus dapat dijangkau masyarakat. Kalau memang diharuskan menggunakan PCR, maka idealnya menurut Hermawan biayanya digratiskan.
Epidemiolog Universitas Airlangga Surabaya Windhu Purnomo juga menilai skrining perjalanan memang masih sangat diperlukan sebab berdasarkan data antara kasus aktif dan jumlah orang yang dirawat rasionya sangat tinggi, artinya kata dia masih ada kasus yang ada di luar dan tidak ditemukan sehingga perlu dilakukan skrining.
Oleh karena itu skrining menggunakan tes PCR yang merupakan gold standar itu harus tetap dilakukan dan tidak usah merubah aturan.
“Aturan berubah ini mungkin karena adanya desakan banyak orang karena ada isu mafia tes PCR, ada isu pejabat yang main bisnis PCR test. Itu yang diselesaikan, bukan tes PCR yang dikorbankan tidak kita lakukan,” kata Windhu kepada reporter Tirto, Selasa (2/11/2021).
Dugaan Kepentingan Bisnis Wajib Tes PCR
Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah mengatakan kebijakan yang berubah-ubah dengan cepat itu telah menunjukkan bahwa pemerintah kurang percaya diri dan tidak yakin terhadap kebijakan yang dikeluarkan.
“Ini menunjukkan bahwa kebijakan itu merupakan usulan atau produk dari kelompok-kelompok tertentu. Paling tidak ada penguasa, politisi dan pengusaha mempengaruhi kebijakan. Artinya dia mempunyai akses terhadap kebijakan sehingga kemudian ada kepentingan entah bisnis, entah cuan yang kita lihat berkedok kebijakan. Jadi kebijakan ini dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi,” kata Trubus kepada reporter Tirto.
Dalam teori kebijakan publik, kata Trubus, pola semacam ini memang terjadi, bahwa kebijakan dikeluarkan karena adanya usulan atau tekanan dari kelompok tertentu demi kepentingan mereka. Dan itulah yang menurutnya terjadi saat ini mengenai kebijakan syarat tes PCR yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kemudian berubah-ubahnya aturan yang terjadi ini menurut Trubus juga disebabkan faktor dari substansi kebijakan yang membebani masyarakat. Kebijakan bersifat dari atas ke bawah sehingga dipaksakan kepada masyarakat.
Tekanan dari masyarakat yang melakukan protes dan penolakan itu yang kemudian juga menyebabkan aturan berubah. Sebab selain membebani masyarakat, aturan wajib PCR pelaku perjalanan tidak ada urgensinya sebab PCR merupakan tes diagnosis bukan skrining untuk perjalanan.
“Tapi yang jelas kebijakan yang cepat berubah itu mengindikasikan pemerintah itu tidak transparan soal kebijakan PCR. Yang kedua pemerintah memang berbisnis pada rakyatnya. Sebenarnya itu tidak boleh, berdasarkan konstitusi UUD 1945 menyatakan tidak boleh negara berbisnis pada rakyatnya. Ini berbisnis, jadi kepentingannya kepentingan bisnis,” ujarnya.
Menurut Trubus, dengan aturan yang berubah dengan cepat ini mengindikasikan bahwa apa yang dipertanyakan oleh publik, apa yang dicurigai public, itu memang benar adanya. Apa yang dipertanyakan oleh publik menguatkan bahwa pemerintah ini tidak jujur dan keberpihakannya tidak ada pada rakyat.
Kecurigaan adanya kepentingan bisnis di atas kebijakan wajib tes PCR diungkapkan dalam laporan Majalah Tempo. Bahwa ada beberapa pejabat yang diduga memiliki kepentingan bisnis atas kebijakan tersebut, salah satunya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) sekaligus Koordinator PPKM Jawa Bali Luhut Binsar Pandjaitan.
Namun hal itu dibantah oleh Juru Bicara Menko Marves Luhut Panjaitan, Jodi Mahardi. Terkait keterlibatan Luhut dalam bisnis PCR COVID-19, Jodi menjelaskan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang disebut ada afiliasi dengan Luhut tidak pernah bekerja sama dengan BUMN dan pemerintah.
“Terkait GSI, jadi pada waktu itu, Pak Luhut diajak oleh teman-teman dari Grup Indika, Adaro, Northstar, yang memiliki inisiatif untuk membantu menyediakan test COVID dengan kapasitas test yang besar. Karena hal ini dulu menjadi kendala pada masa-masa awal pandemi. Jadi total kalau tidak salah ada 9 pemegang saham disitu. Yayasan dari Indika dan Adaro adalah pemegang saham mayoritas di GSI ini,” jelas dia dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Selasa (2/11/2021).
Ia menjelaskan, pada awal mewabahnya COVID-19 di Indonesia beberapa orang kesulitan untuk mendapatkan fasilitas testing untuk tetap bermobilitas. Akhirnya pada waktu itu PT GSI menjadi salah satu perusahaan yang memberikan fasilitas testing gratis pada masa awal pandemi.
“Itu kan mereka grup besar yang bisnisnya sudah well established dan sangat kuat di bidang energi, jadi GSI ini tujuannya bukan untuk mencari profit bagi para pemegang saham. Sesuai namanya GSI ini Genomik Solidaritas Indonesia, memang ini adalah kewirausahaan sosial. Malah di awal-awal GSI ini gedungnya diberikan secara gratis oleh salah satu pemegang sahamnya, agar bisa cepat beroperasi pada periode awal dan membantu untuk melakukan testing Covid-19,” terang dia.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz